PPW 1 – Prolog (1)
Namaku Badrun Subadrun. Kini aku merasa ada seseorang yang mengejarku. Dunia ini benar-benar menakutkan bagi manusia-manusia seperti diriku yang tidak pernah bisa melawan ketidakadilan.
Bagi seorang siswa yang tidak popular, tidak tampan, tidak berotot, dan tidak popular dikalangan gadis-gadis seperti diriku, hidup adalah musibah. Hidup hanya mematikan seluruh pengharapanku yang selama ini coba kubangun dengan susah payah. Hidup itu mematahkan, mematahkan apa yang tidak seharusnya dipatahkan.
Semua orang egois, semua orang apatis, dan semua orang benar-benar hanga menginginkan kebahagiaannya sendiri tanpa mau melihat kesusahan orang lain.
"Mau kemana kau, Gentong Air?" seru seseorang yang tiba-tiba ada di hadapanku.
Lihatlah, lihatlah bagaimana semesta membenci laki-laki sepertiku yang tak pernah diberikan kesempatan untuk mencecap keberuntungan.
Aku membetulkan kacamataku yang mulai berembun, mataku rasanya panas, namun aku laki-laki. Semua orang menganggap laki-laki sejati tidka boleh menitikkan air mata. Ntah dari mana teori itu berasal, meski aku tidak setuju karena laki-laki juga dikaruniai air mata oleh Tuhan, namun aku tetap mengikuti paradigma tersebut agar menjadi bagian dari keesensian manusia.
"M-mau apa kau ke sini?" tanyaku dengan gugup.
Aku mencoba memandangnya, di depanku sudah berdiri sosok wanita cantik yang berhati lebih kejam dari iblis, Davina. Setiap berurusan dengan dirinya aku seakan ingin bertanya kepada Tuhan mengapa Dia harus menciptakan wanita iblis seperti Davina.
Aku sangat membencinya, aku sangat membenci semua perempuan yang ada di sekolah ini. Mereka hanyalah iblis berkedok manusia yang kerjaannya hanya menindas, menindas, dan menindas. Dan sialnya, untuk kesekian kalinya, yang menjadi bahan tindasan mereka adalah aku.
Mengingat bahwa aku yang merupakan anak laki-laki dengan mudah ditindas oleh gadis sepertinya membuat hatiku berdenyut nyeri. Aku tentulah laki-laki normal. Aku bahkan sering ingin membalas perbuatan Davina namun dia adalah seorang perempuan. Kata ibuku, sangat pantang bagi laki-laki melawan perempuan. Jadi, rasanya tidak etis bila aku harus berkelahi dengan seorang perempuan. Terlebih, dia selalu membawa masa, side kick-nya banyak. Hal ini membuat aku tidak berani membalasnya.
Ini bukan kali pertama Davina menghadangku seperti ini.
Aku jelas tahu apa yang akan Davina lakukan setelah ini. Baginya menindasku adalah ladang hiburan yang bisa dia nikmati bersama teman-temannya.
"Gentong Air, bawakan tas-tas kami." kata Davina.
Sungguh, rasanya aku benar-benar ingin meneriakinya dan mengatakan kalau aku bukanlah 'Gentong Air' seperti yang dia katakan, ingin rasanya aku mengatakan bahwa namaku Badrun Subadrun dan aku bukan Gentong Air. Namun, nyali dan suaraku kini ntah hilang kemana.
Aku hanya bisa mengangguk. Melihat aku mengangguk, Davina dan 4 side kick-nya langsung tertawa.
"Nih, bawa dan antarkan ke kelasku!" kata Davina sambil melemparkan tas kepadaku dengan tidak sopan.
Rasanya aku ingin protes namun aku tidak melakukannya karena aku berpikir kalau apa yang terjadi hari ini tidak separah sebelum-sebelumnya. Bahkan, permintaan Davina membawakan tas miliknya dan 4 orang temannya termasuk hal yang normal.
"Jangan lupa punya kita juga!" kata Syerly, dan disusul tiga orang lainnya yang aku bahkan tidak sudi untuk menghafal nama-nama mereka.
Aku hanya tahu Davina dan Syerly karena merekalah yang selalu menindasku dengan kejam.
Mereka mengalungkan tas mereka di kepalaku. Ntah sengaja atau tidak tas yang mereka berikan kepadaku sangatlah berat. s**l, aku yakin mereka pasti sengaja melakukannya agar aku lebih menderita lagi.
Lalu, dengan brat hati dan pasrah, aku pun membawa tas-tas iblis itu ke kelas mereka.
Dan pada saat aku berjalan, Aku melihat Kak Julian, Julian Kenzo, yang merupakan kakak kandungku yang jalan mendekat. Dalam hati aku bersorak karena aku yakin kalau Kak Julian akan mendatangiku dan membantuku membawakan tas-tas ini.
Aku membetulkan kacamataku.
"K-kak!" panggilku kepadanya.
Namun, harapan tinggalah harapan, saat melihat diriku yang kesusahan, alih-alih membantu atau memarahi perempuan-perempuan ibis itu, dia justru berbelok dan berpura-pura tidak melihat keberadaanku. Aku benar-benar kecewa.
Aku mengerasakan rahangku dan mengepalkan tanganku karena kesal. Hanya sebatas itu, tidak lebih. Aku benar-benar pengecundang! s**l!
***
Aku duduk di sebuah bangku kosong yang ada di pojok sekolah. Aku tidak mau bertemu dengan Davina dan kawan-kawan yang menyebalkan itu. Lebih baik, aku menyendiri dan menikmati bekal yang diberikan oleh ibuku. Setidaknya, walau ibuku kerap kali mejengkelkan karena selalu membanding-bandingan aku dengan Kak Julian namun ibu tetap membawakan bekal untukku.
Aroma nasi goreng itu begitu lezat, perutku yang roncongan karena belum sempat sarapan pun langsung membuka kotak tersebut dan menyuap makananku dengan perasaan panik.
Bagaimanapun, aku harus waspada karena Davina-Davina di sekolah ini kerap kali berkeliaran.
Sebetulnya, selain Davina dan para perempuan menyebalkan itu, yang menindasku juga ada dari kaum laki-laki hanya saja mereka lebih suka meminta uangku dari pada mengerjaiku abis-abisan.
Namun, aku rela kehilangan uang jatah jajanku untuk mereka, yang penting mereka tidak menggangguku. Aku banar-benar sudah kuwalahan menghadapi Davina dan teman-temannya.
Pada saat aku menyunyah makananku di suapan pertama ntah mengapa aku merasakan seperti ada angin yang berhembus melintas di hadapanku. Aku yang penasaran langsung mengedarkan pandanganku ke arah lain.
Aneh, benar-benar aneh. Aku bahkan tidak melihat satupun daun yang bergoyang. Itu tandanya tidak ada angin saat ini. Aku tidak peduli, lalu aku lanjut menyuapkan suapan kedua.
"Eh, ada Gentong Air.." seseorang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
Aku yang terkejut langsung tersedak. Semua yang ada dimulutku kini muncrat keluar.
"Uhuk-uhuk!" aku mulai terbatuk.
Aku mencoba mengggapai-gapai minumanku yang tak jauh dari tempat Davina berada. Namun, bukan iblis namanya bila dirinya mau memberikan minum kepada diriku.
"Uhuk-uhuk, k-kembalikan.." kataku.
"Hahahahaha. Ayo, kita pergi teman-teman." kata Davina yang langsung berdiri.
Aku buru-buru mencekalnya, tenggorokanku sakit, aku membutuhkan minum saat ini. Davina harus memberikan minuman itu.
"Kau mau minum?" tanya Davina. Pertanyaan bodoh. Benar-benar bodoh. Jelas saja aku menginginkannya, Apa dia tidak punya mata yang bisa melihat aku kesakitan?
Namun, apapun itu, aku mengangguk.
"Baiklah, terima ini! Pegangi dia teman-teman." kata Davina kepada empat side kick-nya.
Merekapun dengan patuh dan senang hati memegangiku. Lalu Davina mengguyurkan air minumku ke kepalaku hingga tubuhku kini basah semua. Aku merutuki Davina dan teman-temannya dalam hati.
Mereka semua tertawa melihat aku yang kebasahan. Akupun mencoba meronta-ronta namun lagi-lagi aku tidak memiliki kekuatan lebih dibanding empat kawan Davina yang juga tak ubahnya iblis berparas cantik.
Kini karena terus mendapatkan perlakuan menyakitkan dari mereka, akupun tahu bahwa semua wanita cantik pasti jahat. Aku pun bertekad tidak akan mau dekat-dekat dengan gadis berparas cantik.
Setelah puas membasahiku, mereka melepaskaan pegangan tangan mereka kepada tubuhku sambil tertawa terbahak-bahak. Suara mereka benar-benar suara paling memekakkan telingaku sepanjang hidupku.
Mereka pun berjalan menjauhiku, aku merasa sedikit lega. Namun, tak lama kemudian, Davina berbalik.
"Tunggu, ada yang kurang." kata Davina smabil berjalan mendekatiku lagi.
CUH!
Davina langsung meludahi nasi goreng milikku. Aku hanya bisa menatap nasi goreng itu dengan tatapan nanar.
Dasar iblis, benar-benar iblis!