PPW 12 – Sebuah Pertemuan

1013 Words
Aku membawa Annaliese untuk menepi. Aku tidak mau kalau sampai kawanku ini ikut terkena busur panah.   "Astaga, ramai sekali. sebetulnya kita ada di mana?" tanya Annaliese.   Aku tidak langsung menjawab, aku memilih melihat ke sekeliling. Aku melihat banyak orang yang tengah berdiri dan bersorak-sora. Aku juga melihat ada tiga orang laki-laki gagah yang kini memegang busur panah. Aku pun langsung mengamati tempat aku dan Annaliese sebelumnya, Lalu, aku mendesah.   "Kita ada di tengah-tengah pertandingan panah. Lihatlah, sepertinya mereka sedang melakukan pertandingan ... Ah, kalau ku lihat dari siapa yang berdiri di sana, sepertinya ini adalah sayembara." kataku.     Upi Editor Kanaya 15.57 (5 jam yang lalu) kepada saya   Aku mulai meniti wajah semua orang yang ada di sekitar. Mereka seperti terus bergerak, gerakannya cepat, namun tidak secepat sebelumnya.   "Ini belum selesai berjalan, Badrun." kata Annaliese.   Aku membenarkan apa dia katakan, ini belum selesai dan aku tidak tahu kapan ini selesai.   "Dari pada kita hanya menonton saja, bagaimana kalau kita bermain tebak-tebakkan?" tanyaku.   "Mau, Badrun. Aku mau main." kata Annaliese.   "Kamu lihat banyak laki-laki di sana?" tanyaku.   Annaliese menganggukkan kepalanya.   "Menurutmu, siapa yang memenangkan sayembara?" tanyaku kepada Annaliese.   "Menurutku, laki-laki yng itu." katanya dengan sangat yakin.   "Kenapa kamu bisa begitu yakin?" tanyaku.   "Aku menghabiskan waktuku di perpustakaan, dan wajahnya sering muncul di buku-buku yang pernah aku baca." jawabnya.   Aku menatapnya dengan tatapan bingung, "Kau bisa membaca?" tanyaku.   "Tentu saja, apa kamu meragukan aku? Aku bahkan bisa membaca aksara itu kalau kamu lupa." kata Annaliese.   Aku terkekeh. Apa yang dikatakan oleh Annaliese benar. Sepertinya, akulah yang terlalu meremehkannya. Aku hanya tertawa dan tidak mau mendebatnya.   ***   Aku menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan di sekitar aku dan annaliese yang mulai berubah. Semua kisah yang kami saksikan adalah kisah seorang Sita yang biasa dipanggil Sinta. Seorang anak yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan oleh Kerajaan Wideha. Hal ini terbukti setelah Sang Raja dan Permaisuri mengangkat Sinta sebagai anak, kerajaan mereka kini menjadi makmur kembali. Kekeringan yang selama ini melanda langsung berhenti dan digantikan dengan kesuburan tanah hingga menghasilkan banyak sumber kehidupan.   "Loh, loh! Mereka mau ke mana, Badrun?" tanya Annaliese.   "Kita tidak bisa terus berada di sini, Annaliese. Kita harus cepat menghampiri Putri Sinta dan mendapatkan jawaban mengenai keberadaan kita di sini." kataku mencoba menjelaskan.   Aku tidak lagi segalak sebelumnya kepada Annaliese. Ntah mengapa aku takut dia pergi meninggalkan aku sendirian di dunia yang sulit aku sebutkan keasliannya.   "Tunggu aku!" kata Annaliese.   Kini Aku melihat Putri Sinta yang tengah sendiri bermain bunga.   Aku memang tidak tahu apa maksud dari kami yang masuk ke di mensi ini, namun ntah mengapa aku ingin menghampiri Putri Sinta dan mengatakan sesuatu.   "Salam, Putri Sinta." Sapaku. Aku tentu tidak bisa menyapanya dengan sapaan 'Hai' atau 'Hello' bukan?   Putri Sinta langsung menoleh pada kami dan dia langsung terkejut saat memandangi kami.   "B-Bagaimana kalian ada di sini? Siapa kalian?" tanya Putri Sinta.   "Perkenalkan, Putri, nama saya Badrun dan ini teman saya namanya Annaliese." Kataku.   "Siapa kalian? Berani sekali kalian bicara padaku tanpa merangkak dan menyebut namaku?" kata Putri Sinta.   "Mohon Maaf Tuan Putri. Kami adalah manusia yang datang dari tempat yang sangat jauh." kataku.   Putri Sinta memandang kami dengan tatapan curiga.   "Pertama, kami ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Tuan Putri dengan Pangeran Rama. Kami benar-benar sangat senang atas berita tersebut. Tapi, Tuan Putri sepertinya Tuan Putri tidak boleh ikut bersama Pangeran Rama untuk pergi dan tinggal di kerajaannya." kataku, ntah mengapa untuk saat ini aku merasa mulutku mengatakannya sendiri tanpa menunggu perinrtah dariku.   Padahal, sejujurnya, aku tidak ingin mengatakan itu. Apakah ini adalah salah satu petunjuk? Aku pun berharap demikian.   "Siapa kau berani memerintahku?" tanya Putri Sinta.   "Kami hanya rakyat biasa yang datang dari tempat yang jauh, Tuan Putri." kataku mengulangi.   "Pergilah sebelum aku murka, aku tidak mau melihat kalian di sini." kata Putri Sinta.   "Tidak, Tuan Putri. Kami harus berada di sisi anda agar anda bisa selamat dari bhaya yang akan terjadi." kataku.   Putri Sinta menggelengkan kepalanya, beliau tidak percaya dengan apa yang aku katakan.   "Pengawal! Pengawal?" seru Putri Sinta yang berteriak memanggil pengawalnya. Dia sepertinya takut pada kami. Sepertinya aku mendatanginya di waktu yang tidak tepat. Namun, akupun tidak tahu kapan yang terpat untuk menemui beliau.   "T-tunggu, Tuan Putri, kali tidak bermaksud jahat." kata Annaliese yang tak kalah panik dariku.   "Iya, Tuan Putri kami ..." belum sempat aku mengatakan banyak hal namun tiba-tiba aku merasakan tubuhku di seret dari belakang.   "Bawa mereka pergi!" seru Putri sinta kepada pengawalnya.   Lalu tak perlu mendengar aba-aba yang lebih dari satu kali, Pengawal itupun membawaku dan Annaliese keluar istana. Sekeluarnya kami dari istana, kami di masukkan ke dalam suatu kotak yang sudah siap membawa kami ntah ke mana menggunkaan dua kuda yang jalan beriringan.   "Tolong lepaskan kami!" seru Annaliese.   Aku hanya bisa menghela nafas, kasihan sekali nasib annaliese, dia baru saja merasakan kehidupan aslinya namun dia justru sudah mengalami hal seperti ini bersamaku.   "Iya, tolong lepaskan kami!" kataku.   Prajurit itu tidak mengucapkan satu katapun. Mereka hanya memasukkan kami ke dalam sebuah kotak, lalu kami merasakan tempat kami berada itu berjalan. Aku sadar kalau aku dan Annaliese sepertinya akan dibuang menggunakan kuda oleh prajurit.   Kami dianggap sebagai orang yang sudah mengusik ketentraman Tuan Putri yang tengah bersantai.   "Kita akan diajak ke mana, Badrun?" tanya Annaliese.   "Aku juga belum tau, tapi aku yakin kalau tidak akan terjadi hal yang buruk pada kita." kataku.   Aku sebenarnya hanya mengada-ada saja. Aku tentu tidak bisa meramal masa depan, aku bukanlah siapapun. Aku hanyalah seorang laki-laki yang mencoba dewasa agar perempuan di sampingku tidak panik.   “Kau serius, Badrun? Kita mau di bawa ke mana?” tanya Annaliese yang terlihat sangat panik hingga mengatakan hal yang berulang.   “Aku juga tidak tau.” Jawabku.   Kami pun merasa kalau kami terus berjalan. Perjalanan sangatlah panjang dan lama. Kami berdua bahkan sudah merasa ngantuk dan ketukan kantuk mulai kami buka hingga kami berdua terbang ke alam mimpi.   Tak lama kemudian, goyangan berhenti, itu menunjukkan kalau kereta kuda sudah berhenti. Aku yang merasakan hal tersebut langsung membuka mata dan kini aku menemukan Annaliese yang tengah tidur di sampingku sambil bersandar.   “Ann… Bangun. Sepertinya kita sudah sampai.” Kataku. Ntah apa yang akan menghampiri kami di luar sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD