Hans itu selalu tau apa yang Kiran mau, karena kini wanita itu melihat makanan yang terhidang di atas meja adalah soup asparagus, gurami bakar dengan orange juice sebagai minumannya. Karena Kiran tak ada nafsu makan akhir-akhir ini, dengan melihat gurami yang sangat menggiurkan dengan berbalut bumbu, Kiran yakin bisa sedikit membuatnya berselera. Ditambah soup asparagus yang masih mengepulkan asap dengan aroma wangi yang menusuk indera penciumannya. "Mari makan." Kiran mengangguk, mengambil mangkuk dan mulai mengaduk soup-nya. Baru satu suap yang masuk ke dalam mulutnya, panggilan si owner pemilik resto pada Hans membuat Kiran ikut mendongak. Lelaki itu merangkul pinggang wanita muda berperut buncit. Kiran langsung menebak jika wanita hamil itu istrinya. Mereka terlihat bahagia. Dan itu mampu membuat hati Kiran merasa tercubit. Mengingat saat ini statusnya adalah seorang istri. Akankah dia nanti bisa menjalani pernikahan yang bahagia dengan bocah tengil itu. Sendok yang Kiran pakai masih menggantung di sudut bibirnya karena tiba-tiba saja pikirannya terbang melayang ke mana-mana. "Kiran ...." Panggilan Hans harus menyadarkan Kiran dari lamunan. Pria itu sedang menatap Kiran penuh tanya. "Iya. Kenapa?" "Apa kamu ada masalah. Atau ada yang sedang kamu pikirkan?" Hans bertanya juga. Sejak mereka datang, sampai saat ini sedang menyantap makanan, seolah Kiran tidak fokus dan banyak melamun. Kiran buru-buru menggelengkan kepalanya tidak ingin Hans cemas juga khawatir padanya. "Tidak ada," jawabnya singkat. "Ya, sudah. Makanlah." Kiran kembali menunduk menekuri makanannya. Dan Hans pun melakukan hal yang sama tanpa bertanya apapun lagi pada Kiran. Membiarkan wanitanya menikmati makanan yang telah dia pesan. Dua minggu tidak berjumpa, Hans rada tubuh Kiran semakin kurus saja. *** Setelah acara makan siang bersama Kiran, Hans harus keluar kantor bertemu dengan klien hingga jam pulang kerja berakhir lelaki itu tidak kembali. Hanya satu pesan w******p yang Kiran terima darinya. "Take care. Maaf aku tidak bisa mengantar pulang." Kiran menghela napas, entahlah kenapa Hans selalu saja bersikap baik kepadanya. Kiran tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Menjauh dari Hans pun percuma. Sudah sering Kiran melakukannya. Namun, lagi-lagi Hans berhasil membuatnya nyaman. Meski pria itu pernah mengutarakan isi hatinya dan berakhir Kiran tolak, nyatanya Hans masih saja bersikap baik. Selalu sopan memperlakukannya. Hanya pada Hans pula Kiran bisa dekat dengan lawan jenis. Bagi Kiran, berdekatan dengan Hans ia merasa aman. Tak ada tampang mesumm juga mata yang jelalatan. Sesekali memang Hans bersentuhan fisik dengannya seperti menyentuh tangan atau pundaknya. Semua masih dalam batas wajar. Oleh sebab itulah kenapa Kiran masih bisa menjalin hubungan dekat dengannya. Jujur, sebenarnya Kiran tidak ingin menyakiti hati Hans. Kiran sadar jika sebenarnya ada sedikit rasa cinta untuk Hans. Siapa yang tak akan menyukai lelaki sebaik Hans. Namun, Kiran berusaha mengelak karena rasa ketakutan pada diri sendiri. Kiran terlalu takut karena ajakan menikah dari pria itu. Kiran takut menikah sejak dulu. Andai tak ada drama perjodohan dengan bocah tengil itu, mungkin sampai hari ini Kiran masih berstatus wanita lajang karena sama sekali tidak terlintas di benak Kiran keinginan untuk menikah. Semua juga karena masa lalu yang masih begitu membekas di dalam hati Kiran. Namun, sekarang, kondisi sudah berubah. Dia telah menikah saat ini. Dan bagaimana Kiran bisa menjelaskan semua ini pada Hans. Akankah Kiran nanti sanggup mengecewakan Hans untuk yang kesekian kali. Gegas Kiran membereskan barang-barang yang ada di atas meja kerjanya. Memasukkan ke dalam laci. Lalu dia ambil ponsel dan membuka aplikasi ojek online. Hari ini Kiran sedikit lega karena akan kembali ke rumah yang sudah dua minggu dia tinggalkan. Beranjak berdiri meninggalkan ruangan dan buru-buru menuju lobi karena ojek yang dia pesan akan menunggu di sana. Tak sampai tiga puluh menit lamanya, Kiran tiba juga di rumah yang sudah lama tak ia singgahi. Rasanya sangat rindu sekali. Selama satu tahun berada di kota ini, rumah adalah yang menjadi tempat ternyaman bagi Kiran. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia sempatkan menengok mobil yang masih aman terparkir di garasi. Senyum juga helaan napas keluar hampir bersamaan dari bibir Kiran. Sepertinya malam ini dia akan menghabiskan waktu untuk bersih-bersih karena rumah tampak kotor sekali. Benar saja dugaannya, lantai yang kini ia jejak sangat berdebu. Belum lagi perabot seperti sofa juga dalam kamar tidurnya yang harus ia sapu dan hilangkan kotorannya. Menyimpan tas dan mengganti bajunya. Kini, Kiran siap dengan semua alat tempurnya. Baru sekitar jam sembilan malam pada akhirnya Kiran selesai menyapu serta mengepel lantai. Rumah ini sebenarnya juga tidak terlalu besar. Jika tidak salah menebak, ini adalah rumah type 36. Terdapat dua kamar tidur yang saling berdampingan. Kamar tidur utama yang ukurannya lebih luas serta dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Dan kamar tamu yang ukurannya lebih kecil dari kamar utama. Satu ruang tamu yang menyatu dengan tempat menonton televisi. Di ruang ini Kiran hanya memberikan satu buah sofa bed yang multifungsi. Selain untuk tempat menerima tamu juga sebagai tempatnya bersantai sambil menonton televisi. Lalu ada satu dapur mungil yang bersebelahan dengan kamar mandi. Di dalam dapur minimalis ini juga dilengkapi dengan meja dan kursi mini bar yang bisa digunakan sebagai tempat makan. Rumah ini disewa oleh Kiran ketika dia awal tinggal di kota ini. Dan lokasinya pun di kawasan perumahan tak jauh dari kantor, sehingga memudahkan Kiran untuk pulang dan pergi bekerja. Saat ini Kiran yang kelelahan seusai membersihkan rumah, sudah mandi dan wangi sedang menunggu ojek online mengantar makan malamnya. Ya, delivery order sangat memudahkan pekerja seperti dirinya yang capek sepulang kerja atau malas memasak sendiri. Dan memesan makanan via online adalah solusi. Sambil menonton televisi dan berselonjor kaki, Kiran masih menanti makanannya datang dengan penuh kesabaran. Terdengar suara pintu pagar depan yang diketuk. Senyum wanita itu merekah karena sedari tadi perutnya sudah keroncongan minta segera di isi. Bergegas dia bangkit dari sofa empuk yang diduduki. Pintu rumah dia buka dan betapa terkejutnya tatkala bukan ojek online yang tiba. Melainkan bocah tengil itu yang sedang berdiri angkuh di depan pintu pagar. "Cepat buka pagarnya!" Perintah Elang yang tak ada sopan santunnya sama sekali pada Kiran yang notabene adalah pemilik rumah merangkap sebagai istrinya. Kiran yang melotot masih berdiri mematung di ambang pintu. Tentu saja dia terkejut karena tiba-tiba saja bocah tengil itu sudah ada di rumahnya. Bagaimana bisa? Batin Kiran berdecak juga berteriak tidak suka. Seorang Elang yang akan menyulitkan hidupnya. Padahal wanita itu merasa lega bisa jauh-jauh dari bocah yang selalu membuatnya tidak suka. "Malah bengong lagi." Elang sudah menggoyang pintu pagar hingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu pendengaran. Tidak ingin para tetangga terganggu, membuatnya buru-buru memakai sandal. "Iya, iya sebentar." Gegas Kiran menuju pagar. Sesaat setelah pintu pagar terbuka, Elang berlalu begitu saja melewati Kiran dengan menyeret kopernya. Mata wanita itu terbelalak mendapati apa yang bocah itu bawa. Dalam hati Kiran hanya bisa bertanya, apa tujuan Elang datang ke rumahnya malam-malam begini sembari membawa koper besar. Seperti orang mau pindahan saja. Kiran hanya melihat Elang yang sedang melepas sepatunya lalu menyimpan di rak yang ada di samping pintu. Setelahnya pemuda itu masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa mau menunggu atau meminta ijin pada si pemilik rumah. Dengan menahan perasaan dongkol dan kesal Kiran pun mengikuti Elang masuk ke dalam rumah. Elang sudah duduk dengan santainya di atas sofa. Memencet remot televisi dan mengganti chanel secara asal. Berasa sedang di rumah sendiri. Kiran yang masih berdiri di ambang pintu, berdecak sebal juga kesal mendapati tingkah laku pria itu. "Kamarku di mana?" tanya Elang angkuh tanpa mau menatap Kiran. Dengan tangan bersadekap di depan dadaa, Kiran menatap lurus pada Elang. Tidak mengerti dengan arah pertanyaan Elang yang tanpa basa basi. Tatapan tajam juga Kiran berikan. "Kamu ngapain ke mari dan bagaimana bisa ada di sini. Pakai tanya segala di mana letak kamar. Kamu sedang tidak bermimpi atau salah alamat, kan?" Elang hanya mengedikkan bahunya. Menjawab dengan entengnya. "Tanyakan saja pada Mama. Sudahlah, Kiran. Aku malas berdebat. Aku ngantuk, mau tidur. Di mana kamarku?" Jujur, Kiran masih kebingungan juga sedikit heran dengan kedatangan Elang yang tiba-tiba. Bahkan sedari tadi pun dia tak mendengar suara mobil atau sejenisnya. Lantas bocah itu datang dengan siapa dan menggunakan apa? Apalagi Elang juga berkata jika Mama yang menyuruhnya. Apa iya, Mama Rania yang meminta pada Elang untuk datang menemuinya. Tiba-tiba saja Kiran mengingat sesuatu. Tadi sore sebelum dia pulang kerja, Mama mertuanya sempat bertanya di mana alamat tempat tinggalnya. Kiran sama sekali tak menyangka jika pada akhirnya Mama Rania justru mengirim putranya untuk datang. Tidak mendapat jawaban dari Kiran karena justru wanita itu tengah melamun, membuat Elang yang tidak sabar memilih beranjak dari duduknya dan mencari sendiri letak kamar yang akan dia tiduri malam ini "Hei! Itu kamarku. Ngapain kamu masuk ke situ!" teriak Kiran melotot melihat Elang membuka pintu kamarnya dengan sesuka hati tanpa permisi. Kiran menyusul Elang yang sudah melenggang masuk ke dalam kamarnya. Dan dengan seenak hati juga bocah itu sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik Kiran. Baru saja Kiran akan mengomel dan mengusir pemuda yang juga suaminya itu, suara denting pagar kembali terdengar. Menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba mengontrol emosi yang sudah di ubun-ubun. Lebih baik Kiran keluar dan makan malam sebelum Elang yang dia makan habis-habisan. 'Dasar bocah tengil yang suka membuatku kesal,' gerutu Kiran keluar kamar menuju pintu depan. .