Merasa menang karena berhasil menguasai ranjang empuk yang kini ia tiduri, Elang merebah sembari memejamkan mata. Rasanya sungguh berat sekali cobaan yang ia hadapi akhir-akhir ini. Dipaksa menikah dengan wanita yang bahkan baru dia kenal. Untung cantik. Kalau tidak ... entahlah mungkin Elang memilih untuk merelakan harta warisannya jatuh di tangan orang lain karena ancaman sang papa waktu itu tidaklah main-main. Menolak menikah, maka ia harus siap dicoret dari daftar keluarga.
Dan sekarang, lihat saja bagaimana mamanya yang justru ikut-ikutan mengusirnya dari rumah agar Elang mau tinggal bersama Kirana. Alasan klise dan sangat tidak masuk akal bagi Elang kala mamanya berkata, "Yang namanya suami istri itu harus tinggal satu rumah. Lagipula kamu juga harus tanggung jawab untuk menjaga istrimu."
Bulshit! Semua seolah berkerjasama mengerjainya sampai di titik ini. Koper besar yang sudah mamanya siapkan sempat Elang bawa ke rumah temannya karena tidak mungkin juga dia membawa koper dengan mengendarai motor sport miliknya. Namun, sialnya lagi-lagi si teman yang bernama Dima tidak tahu diri sekali karena menolak menampungnya. Alasannya pun karena dikira Elang sedang kabur dari rumah dengan membawa koper besar segala. Tidak mau berurusan dengan papanya Elang yang akan berujung masalah besar. Dan well, dengan diantar oleh salah satu temannya pada akhirnya Elang mengalah untuk menuju rumah Kiran. Ya, di sinilah tempatnya saat ini sampai entah kapan nanti.
Huft ... mendesah lelah dan memilih memejamkan mata daripada memikirkan kerumitan hidupnya. Namun, belum juga matanya memejam ia mencium aroma khas pizza, dan kedua matanya langsung terbuka seketika. Jika mengingat akan makanan maka perut pun seolah mendapat sinyal karena langsung keroncongan. Sial bukan. Ah, mengesampingkan rasa malu. Yang penting perutnya mendapat ganjalan malam ini karena seingat Elang, ia terakhir makan adalah tadi pagi. Gegas bangkit dari berbaringnya dan berjalan keluar kamar. Benar saja karena netranya yang masih tajam mendapati Kiran tengah sibuk sendiri menikmati satu box Pizza. Tentu Elang tidak terima. Bisa-bisanya wanita itu makan tak memberikan ia tawaran. Sangat disayangkan. Cantik-cantik tapi tak punya hati. Menyumpahi Kiran dalam hati lalu ia berdehem dengan tujuan agar Kiran menyadari akan keberadaannya.
"Kau sedang menikmati makanan tanpa mau repot-repot menawariku?" Elang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan bersadekap di dadaa.
Kiran mendongak menatapnya tanpa ekspresi hingga decak sebal keluar dari sela bibir Elang.
"Kukira kamu sudah tidur. Mana aku tahu kalau kamu belum makan," jawab Kiran dengan entengnya.
Elang yang sudah meneguk ludah saat melihat Kiran menggigit satu slice pizza, membuat perutnya semakin keroncongan dan tanpa diminta pemuda itu sudah duduk di sebelah Kiran, mencomot satu slice pizza dan ikut menikmati makanan tersebut hingga tandas tak bersisa.
"Banyak juga makanmu. Bahkan aku hanya memakan 3 potong dan sisanya kamu semua yang menghabiskan," protes Kiran tidak terima. Elang yang notabene adalah lelaki dengan kecepatan maksimal mengambil slice demi slice hingga tak memberikan celah bagi Kiran untuk menikmati lebih banyak lagi makanan yang dia beli.
"Kau ini perhitungan sekali, Kiran."
Kiran berdecak sebal lalu meninggalkan Elang masuk ke dalam dapur. Tak lama, dia datang kembali dengan membawa air dingin dalam botol. Diserahkannya pada Elang dan dengan senyuman Elang menerimanya penuh suka cita. Ternyata Kiran perhatian juga. Segera Elang meneguk isinya hingga separoh botol. Merasa perutnya kenyang sekarang.
Namun, tatapan tajam Kiran membuat Elang harus menautkan kedua alisnya bingung. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Sekarang coba katakan. Apa yang membuatmu bisa nyasar ke tempatku?" tanya wanita itu setelah Elang meletakkan botol air minum di atas meja. Kiran menelisik wajah Elang berusaha mencari kejujuran dari jawaban yang akan bocah itu berikan.
"Kalau bukan karena Mama, tak mungkin juga aku mau diminta tinggal di sini bersamamu."
Jawaban jujur Elang justru membuat Kiran melotot karena terkejutnya. "Apa? Kamu mau tinggal di sini. Oh, tidak ... tidak ... tidak bisa."
"Kau protes saja pada Mama. Jangan padaku karena sekarang aku sudah mengantuk. Ingin TIDUR." Elang menekan kata tidur pada kalimat yang ia utarakan. Selanjutnya bocah itu sudah berdiri dan hendak masuk ke dalam kamar, tapi Kiran buru-buru mencegahnya.
"Elang ... kamarmu bukan di situ," ucap Kiran, tapi Elang tak peduli dan tetap melenggang pergi hingga pemuda itu tersentak kaget saat baru memasuki kamar, tapi Kiran sudah menarik lengannya dan menyeret keluar untuk masuk ke kamar sebelah.
"Ini kamarmu. Dan kamu akan tidur di situ. Awas! jangan berani kamu masuk ke dalam kamarku." Dengan jati telunjuknya Kiran menuding di depan wajah Elang dan tentunya disertai dengan tatapan tajam nan mematikan. Elang ingin protes tapi tak ia lakukan. Mengalah sedikit saja pada wanita itu tak jadi soal. Ini sudah malam. Tak baik juga jika bertengkar hanya karena berebut kamar.
Tak berselang lama, Kiran kembali menghampiri Elang dengan menyerahkan bantal yang ada di tangan. Elang menerima bantal tersebut dengan wajah memelas. Pasalnya kamar sebelah yang sekarang ia masuki ukurannya lebih kecil. Tak ada ranjang dan hanya terdapat kasur lipat. Memang Kiran hanya memberikan ranjang di kamar utama yang ia huni. Sementara kamar yang ditempati oleh Elang hanya disediakan kasur lipat untuk jaga-jaga saja jika ada saudara atau keluarganya yang datang dan ingin menginap.
"Hei ... Kiran! Kau tega sekali meyuruhku tidur di kamar sempit ini. Bahkan ranjangnya pun tak ada. Dan ... ah, apa iya aku harus tidur di lantai," protes Elang pada wanita yang telah sah menjadi istrinya.
"Sudahlah, Elang. Jangan banyak protes. Adanya hanya ini, ya, kamu terima saja." Mengatakan itu sembari berlalu keluar kamar meninggalkan Elang yang masih tidak percaya akan tragisnya nasib yang dia derita hari ini.
Elang memperhatikan sekeliling kamar sempit ini. Hanya ada sebuah kasur busa yang digelar di atas lantai. Sial, kenapa nasibnya semakin memburuk karena kehadiran Kiran. u*****n Elang yang hanya bisa ia suarakan untuk dirinya sendiri.
Mencoba berdamai dengan keadaan. Melempar bantal di atas kasur dan ia pun mulai mencoba merebah di sana. Sangat buruk memang. Namun, apa yang bisa ia perbuat sekarang. Tidak ada juga, kan, selain menerima ini semua.
***
Elang tergagap karena suara gedoran pintu. Matanya mengerjab berkali-kali berusaha untuk mengumpulkan separoh nyawa yang belum kembali. Masih terdengar gedoran di pintu dengan suara nyaring Kiran yang memanggil namanya. Ingin rasanya Elang menyumpal telinganya agar tak mendengar suara bising itu. Tak tahukah orang di luar sana jika dia batu bisa tertidur subuh tadi akibat tidak nyamannya kasur yang ia tiduri sehingga membuat badannya pegal di sana sini. Alhasil semalaman Elang hanya bisa membolak balikkan badan tanpa bisa memejamkan mata.
Dengan penuh keterpaksaan akhirnya Elang bangun juga. Berjalan gontai membuka pintu dengan kekesalan.
" Kau ini kenapa mengganggu tidurku saja," sembur Elang begitu daun pintu terbuka. Mendapati sosok Kiran yang sedang berdiri di depan kamarnya.
Harum parfum yang Kiran pakai langsung menusuk indera penciuman bocah itu dan untuk sesaat Elang terpana menatap Kiran yang sudah tampil rapi dan cantik dengan setelan baju kerjanya.
Kiran menyodorkan sesuatu pada suami berondongnya. "Ini kunci cadangan rumah ini."
Dengan ragu dan masih berusaha mencerna semua kata yang Kiran utarakan, Elang mengulurkan tangannya untuk menerima benda kecil itu dari tangan Kiran.
"Kau mau ke mana?" Pertanyaan asal dan hanya basa basi saja dari Elang untuk Kiran. Padahal bocah itu tahu betul jika Kiran adalah seorang pekerja.
"Kerja, lah."
"Lalu aku bagaimana?"
Kiran tampak mengernyit. "Bagaimana apanya?" tanyanya balik.
"Aku harus ke kampus. Dan bagaimana caranya aku pergi. Motorku masih di rumah Mama." Yup, memang Elang tidak ada kendaraan dan ia pasti akan kebingungan jika ingin bepergian. Terbiasa ke mana-mana dengan ditemani motor sportnya dan kini Elang bagai orang bodohh yang tidak dapat berpikir apa pun juga.
Kiran berdecak. "Dasar bocah tengil. Bukankah semalam kamu datang dengan taksi online. Ya, kamu ke kampus bisa naik ojek atau taksi lagi. Dasar," ucap Kiran sarkas sebelum melenggang pergi meninggalkan Elang dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.
"Hei ... Kiran! Aku lapar!" Elang berteriak hanya karena ingin mencuri perhatian wanita itu.
"Urus sendiri perutmu. Aku sudah telat." Kiran pun menjawab dengan teriakan.
Astaga, istri macam apa dia. Tega-teganya menelantarkan suaminya seperti ini. Gerutuan Elang yang langsung disadari olehnya. Ya, istri ... suami. Elang menggelengkan kepalanya tak ingin mengingat akan pernikahan yang telah ia jalani bersama Kiran. Belum yakin apakah dia sudah bisa menerima pernikahan itu.
Sibuk berpikir dan melamun sampai ia lupa jika ada kelas jam sembilan pagi ini. Elang harus memperbaiki semua nilai agar dia bisa melanjutkan skripsi lalu ikut wisuda tahun depan. Jika tidak ... maka siap-siap saja Arman akan memecatnya sebagai anak tunggal.
Gegas berjalan cepat menuju kamar mandi karena dia sudah tak lagi memiliki banyak waktu. Sangat buru-buru sekali yang penting tubuhnya terguyur oleh air. Selesai mandi, dengan handuk kecil Elang mengeringkan rambutnya yang basah. Di dalam kamar yang sempit ini tidak terdapat kamar mandi. Jadi Elang terpaksa harus mandi di kamar mandi kecil yang ada di sebelah dapur. Tanpa sengaja ekor matanya melirik meja mini bar yang terdapat sebuah piring di atasnya.
Elang mendekat lalu membuka penutupnya dan mata itu langsung berbinar melihatnya. Dua potong sandwich dan segelas jus jambu. Tanpa banyak kata, pemuda itu menarik kursi dan duduk menikmati sandwich yang dia yakin memang disiapkan Kiran untuknya. Padahal tadi Elang sempat mengira jika di rumah ini dia akan kelaparan karena Kiran tidak mengurusnya dengan baik. Ternyata pikiran Elang salah. Semoga saja Kiran masih mau menyiapkan makan dan minum setiap hari selama dia tinggal di rumah ini. Begitu doa Elang dalam hati masih dengan mengunyah sandwich lalu meneguk jus jambu.
***
Kiran tak habis pikir dengan mama mertuanya. Kenapa juga harus menyuruh Elang untuk tinggal serumah dengannya. Kiran memang belum menelepon beliau, tapi saat baru saja tiba di kantor tadi pagi, Mama Rania yang justru meneleponnya lebih dulu. Menanyakan tentang anak lelaki satu-satunya yang dikirimkan untuk menjaganya. Padahal selama ini Kiran sudah terbiasa hidup sendiri tanpa dijaga siapa pun juga. Mama Rania ini memang terlalu berlebihan. Kiran sudah menolak keinginan beliau dan meminta agar Elang kembali ke rumah saja. Namun, tetap saja dia yang kalah jika harus berdebat dengan mama mertuanya. Hanya bisa pasrah menerima kehadiran bocah tengil itu. Entah akan seperti apa hari-harinya harus tinggal seatap dengan Elang.
"Kiran!" Suara panggilan membuatnya tersentak.
"Ya," jawabnya singkat. Kiran melihat Hans sudah berdiri depan meja kerjanya.
"Mau makan siang?" tawarnya.
Sudah jam makan siang rupanya dan Kiran tidak merasa sama sekali. Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan dan pikirannya juga sedang kacau. Jadi sedari tadi dia sampai tak memperhatikan waktu.
"Boleh." Kiran mengangguk.
Hans tersenyum sumringah menyambut wanita yang sudah berdiri menghampirinya.
Mereka berdua berjalanan bersisihan keluar ruangan. Hans, lelaki itu begitu baik dan selalu perhatian dengannya. Lihatlah, beberapa karyawan yang sedang berpapasan pasti mengarah pada mereka. Kiran tahu mereka pasti bertanya-tanya kenapa sosok Hans harus selalu menempel pada Kiran. Namun, wanita itu tak mau ambil pusing. Ingin menyuruh Hans menjauh darinya juga tidak mungkin ia lakukan. Gunjingan dari beberapa rekan kerja yang sering tak sengaja Kiran dengar terkadang juga membuat telinga sakit. Tapi kembali lagi, dia masa bodohh dengan semua itu. Hidupnya bukan orang lain yang menentukan.
"Kiran, mau makan di mana?" Hans bertanya dan Kiran mulai berpikir ingin makan apa kali ini. Semalam ia hanya makan pizza dan pagi tadi juga hanya sandwich yang masuk ke dalam perutnya. Siang ini Kiran harus makan nasi.
"Bagaimana jika kita makan di kantin saja." Usulnya dan Hans mengangguk setuju.
"Baiklah Tuan Putri."
Kiran terkekeh mendengarnya. Hans ini ada-ada saja. Selalu bisa membuatnya tertawa.
Memasuki kantin kantor yang tampak ramai di jam istirahat, seperti biasa mereka berdua selalu menjadi pusat perhatian. Lebih tepatnya mungkin Hans yang menyedot perhatian beberapa perempuan penghuni kantor. Usia Hans yang cukup matang sebagai lelaki memiliki pesona yang semakin meresahkan saja.
"Mau makan apa?" kembali Hans menawari Kiran.
"Eum ... samakan saja dengan pesananmu."
"Kamu ini. Selalu saja tak punya pendirian." Setelah mengatakan itu Hans terkekeh. Kiran sendiri selalu kebingungan menentukan menu makannya. Akan lebih mudah jika dia menyamakan dengan pesanan orang lain.
Kiran duduk di salah satu bangku kosong, tak berselang lama Hans pun menghampiri dengan dua piring berada di tangan pria itu. Satu piring dia sodorkan dihadapan Kiran. Setelahnya Hans ikut duduk.
"Terima kasih."
"Makan yang banyak, Kiran. Lihatlah badanmu kurus sekali."
"Apa begitu terlihat."
"Tentu saja. Seperti tak ada daging yang melekat di tubuhmu. Hanya tulang saja yang kulihat."
"Benarkah segitu kurusnya aku. Bahkan aku tak merasa. Kamu ini ada-ada saja, Hans!"
"Menikahlah denganku, maka aku akan membuatmu lebih gemoy dan berisi."
Kiran tersedak makanannya demi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Hans. Wanita itu masih terbatuk-batuk saat Hans menyodorkan botol air mineral yang memang disediakan di setiap meja kantin. Diterima dan dibuka penutup botolnya oleh Kiran. Setelahnya ia meneguknya dengan tergesa karena tenggorokan yang terasa panas.
"Hati-hati kalau makan." Hans mengucapkan itu dan meraih botol air dari tangan Kiran. Menutupnya kembali sebelum meletakkan di atas meja.
"Maaf jika ucapanku mengagetkanmu. Tapi apa yang kukatakan itu tulus dari hatiku, Kiran." Hans merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Kiran barusan. Namun, permintaannya tadi memang bukan sebuah permainan. Ini sudah kali sekian Hans melamar Kiran. Hanya saja dia belum ada rejeki berhasil membawa wanita itu ke pelaminan. Godaan Tuan Hiro terkadang yang membuatnya terus semangat pantang menyerah mengejar cinta Kirana Larasati.
"Hans, please! Bisakah jika kita tak membahas masalah ini."
Hans menghela napas lalu mengangguk. Kiran tersenyum meski sejatinya dalam hati ia merasa sangat bersalah. Mengabaikan pria sebaik Hans. Berawal dari sebuah ketakutan menjalin sebuah hubungan pernikahan dan berakhir dia yang justru menikah karena dijodohkan
Kiran memilih kembali melanjutkan makannya. Kiran tahu jika Hans masih memperhatikannya, membuat wanita itu tidak berani mendongak demi menghindari bersitatap dengan Hans.
***
Hari ini Kiran pulang telat, hampir jam delapan malam saat mobilnya berhenti di carport depan rumah. Kiran mengernyit mendapati motor sport merah yang terparkir dengan gagahnya di halaman depan. Itu motor milik Elang. Dan artinya bocah tengil itu sudah ada di dalam rumah. Begitu Kiran menduga.
Kiran masuk begitu saja karena pintu rumah tidak terkunci. Mendapati Elang yang tertidur di atas sofa. Wanita itu melenggang pergi tanpa menghiraukan keberadaan suaminya. Tapi begitu Kiran membuka pintu kamarnya, wanita itu sudah dikejutkan dengan teriakan bocah tengil bernama Airlangga.
"Kiran! Aku lapar."
Kiran menoleh melewati bahu agar bisa menatap Elang. Bahkan bocah itu masih dengan posisinya semula dengan mata terpejam. Pura-pura tidur rupanya. Kiran berdecak tak berniat menyahut ucapan bocah itu. Dan lebih memilih masuk ke dalam kamar. Tubuhnya sangat lelah jika hanya meladeni bocah tengil yang kelakuannya hanya membuat sakit kepala.
Bahkan dia ini hidup di jaman serba canggih. Kalau dia lapar, tinggal order makanan online saja. Kenapa harus repot-repot merengek seperti tadi. Memang dasar bocah.