8. Kebaikan Mertua

1802 Words
Pagi ini Kiran sudah berencana untuk berbicara pada mama dan papa mertuanya. Tidak mungkin rasanya jika dia harus tetap tinggal di rumah mereka. Selain jauh dari kantor, Kiran juga tidak ingin hidup dan tidur sekamar dengan bocah sableng itu. Baru dua malam dia ada di rumah ini, tapi harus sabar menerima kenyataan di mana Kiran harus tidur di sofa sempit. Badannya pegal semua tiap kali bangun tidur. Tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di rumah ini. Saat turun ke ruang makan, mama dan papa mertuanya, serta bocah tengil itu sudah berada di sana. "Kiran. Ayo sarapan dulu," ucap Rania. "Baik, Ma." Kiran duduk di samping Elang. Tak berniat juga memperhatikan bocah itu. Dan lebih memilih menikmati sarapannya. "Eum ... Ma, Pa. Ada yang ingin Kiran sampaikan," ujar Kiran begitu dia selesai menyantap sarapannya. Mengalihkan perhatian juga fokus Rania serta Arman pada anak menantunya. "Apa ada hal penting yang ingin Kiran sampaikan?" tanya Arman menatap serius pada Kiran. Wanita itu mengangguk. "Iya, Pa. Kiran ingin meminta ijin pada Papa dan Mama. Mulai hari ini, Kiran akan kembali tinggal di rumah sewa." Enggan dan juga sungkan sebenarnya Kiran berkata. Namun, dia harus memberanikan diri untuk jujur. "Kenapa begitu? Kiran tidak betah tinggal di sini?" tanya Rania khawatir andai Kiran memang tidak mau tinggal di rumah mereka. "Bukan seperti itu, Ma. Kiran betah, kok, tinggal di sini." Kiran menjawab, sedikit berbohong. Mana mungkin Kiran bisa betah tinggal di rumah ini jika putra mereka saja berlaku tak adil padanya. Tetap saja Kiran akan merasa nyaman tinggal di rumah sewanya sendiri daripada harus seatap bersama bocah tengil bernama Elang. "Lalu? Kenapa Kiran mau pindah?" Kini giliran Arman yang bertanya karena penasaran. "Kiran hanya merasa kejauhan jika pulang ke rumah ini, Pa. Lagipula sayang sekali rumah yang sudah disewa jika tidak ditempati." Kiran memberikan alasan yang sangat tepat. Alasan yang sudah ia pikirkan sejak semalam. Dan alasan masuk akal yang ia berikan. "Tapi Kiran ... di sana nanti kamu akan sendirian. Kalau di sini masih ada kami yang bisa menjagamu, Kiran." Dengan lembut Rania mengungkap keberatannya. "Mama jangan khawatir. Kiran pasti bisa menjaga diri. Lagipula sudah satu tahun juga Kiran tinggal sendiri di sana dan syukurlah tidak pernah terjadi apapun pada Kiran, Ma." Kiran berusaha meyakinkan mama mertuanya agar tidak khawatir berlebihan karena memang selama ini Kiran sudah terbiasa tinggal seorang diri. "Kiran ... Papa sudah berjanji pada almarhum ayahmu yang akan menjagamu. Jadi sekarang Kiran adalah tanggung jawab kami," ucap Arman membuat Kiran harus kembali teringat akan ayah yang telah tiada. "Pa ... maafkan Kiran. Tapi Kiran janji tiap weekend, Kiran akan pulang ke rumah ini. Bagaimana? Papa dan Mama mengizinkan Kiran?" Arman dan Rania saling tatap, berbicara melalui pandangan mata keduanya. "Ya, sudah jika itu sudah menjadi keputusan Kiran. Papa dan mama mengizinkan. Jaga diri Kiran baik-baik. Jika butuh apa-apa jangan sungkan bicara sama kami. Kami ini adalah keluarga Kiran sekarang." Kiran menyunggingkan senyuman merasa lega karena permintaannya dikabulkan. "Terima kasih, Pa ... Ma. Jika begitu ... Kiran berangkat dulu. Sudah siang, takut telat." Wanita itu beranjak berdiri dan berpamitan pada Arman juga Rania dengan mencium punggung tangan keduanya. Hanya Elang yang Kiran abaikan, karena bocah itu pun sejak tadi sama sekali tak menimpali obrolan mereka dan masih saja sibuk dengan makanan. "Biar diantar Elang," ucap Rania membuat Elang menatap mamanya tidak terima. "Kenapa aku lagi? Tidak bisa, Ma. Aku ada kuliah pagi." Protes yang Elang lontarkan diikuti dengan tubuh yang juga beranjak berdiri sembari berkata, "Aku pergi dulu." Bocah tengil itu segera menyambar tas dan berlalu meninggalkan meja makan. Kiran yang melihatnya hanya bisa bersungut-sungut juga mengumpati Elang dalam hati 'Hei ... apa dia pikir aku senang diantar olehnya. Sampai segitunya dia berlaku padaku.' Tak berselang lama terdengar suara motornya yang meraung meninggalkan rumah. Membuat Arman dan Rania berbarengan menghela napas. "Kiran ... maafkan Elang, ya?" Ucapan lembut Rania yang dijawab Kiran dengan senyum yang dipaksakan karena hati Kiran masih dongkol saja mengingat perilaku tidak sopan suami berondongnya. "Tidak apa-apa, Ma. Kiran bisa naik ojek online nanti. Mana jangan khawatir." Kiran menuju sofa untuk mengambil tas miliknya yang tadi dia letakkan di sana. Lalu membuka tas tersebut dan mengeluarkan ponsel dari dalamnya. Tujuannya adalah membuka aplikasi ojek online yang sudah menjadi langganannya. "Jangan naik ojek, bahaya. Biar Mama saja yang antar," tawar Rania yang tentu saja tidak akan membiarkan menantu kesayangannya menaiki sebuah ojek. "Tidak perlu, Ma. Kiran sudah biasa naik ojek." Apa yang dikatakan Kiran itu memang benar. Dia sudah terbiasa menaiki sebuah ojek online jika bepergian untuk urusan pribadi, diluar dari masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Misal pergi ke mall atau hang out bareng teman-temannya. Mobil perusahaan yang dipinjamkan padanya hanya akan Kiran pergunakan sebagai mana mestinya. "Mama free, kok, hari ini. Jadi bisa antar Kiran pergi kantor." Rania masih terus saja berusaha memaksa. "Kiran serius, Ma. Tidak apa. Lagipula kantor Kiran jauh. Kiran naik ojek saja. Mama jangan khawatir, oke." Tidak enak didengar mendapati perdebatan istri dan menantunya, pada akhirnya Arman angkat bicara sebagai penengah dan memberikan solusi bagi keduanya yang sama-sama keukeh dengan keinginan masing-masing. "Ma ... biarkan Kiran bareng Papa saja." Rania menolehkan kepala pada suaminya. Wajahnya berbinar dengan senyuman lebar menemukan sebuah solusi yang tepat. Namun, lain halnya dengan Kiran. Tentu saja wanita itu merasa tidak enak hati karena merepotkan papa mertuanya. Kiran rasa, memang keberadaannya di rumah ini kurang tepat. Yang ada hanya merepotkan semua orang saja. "Tapi, Pa ...." Kiran mengajukan protesnya. "Jangan merasa sungkan begitu. Sudah, ayo Kiran ikut papa. Nanti Papa antar sampai kantor Kiran." Seolah tahu yang menjadi ganjalan hati Kiran, Arman kembali meyakinkan jika dia berbuat hal ini tidak ada keterpaksaan. Benar-benar tidak ada masalah jika dia harus mengantar Kiran terlebih dahulu ke kantor wanita itu. Dengan ragu Kiran mengikuti papa mertuanya keluar rumah. Tak lupa berpamitan kembali pada Rania sebelum dia berangkat. "Jadi, malam ini Kiran tidak pulang ke rumah ini?" tanya Rania setelah Kiram mencium pipi wanita itu. Kiran mengangguk. "Iya, Ma. Kiran janji, weekend nanti akan pulang ke rumah ini." Lalu Rania memeluk menantunya. Selama ini Rania ingin sekali memiliki seorang putri yang dapat menggantikan sosok almarhum Anya. Namun, rupanya takdir berkata lain karena dirinya tak diijinkan hamil lagi sehingga harus berpuas diri hanya memiliki Elang seorang. Kini begitu Rania mendapati kembali Kiran telah menjadi menantunya, luar biasa bahagia hatinya. Sayangnya Kiran tidak mau tinggal bersamanya. Membuat Rania sedikit merasa kecewa. Meski pun demikian wanita itu tetap berusaha berlapang dadaa mengerti akan kesulitan Kirana. *** Arman mengantarkan Kira sampai di depan lobi kantor tempat sang menantu bekerja. Padahal sejak tadi Kiran sudah meminta agar menurunkannya di jalan dan Kiran berencana naik taksi menuju kantor. Namun, mana Arman tega. Dia sudah berjanji akan mengantarkan Kirana. Tanggung jawab Arman yang begitu besar demi untuk mengambil alih tanggung jawab Rafli menjaga seorang Kirana Larasati. "Pa, terima kasih sudah mengantar Kiran." Dengan seulas senyuman baru juga bahagia, tak lupa mengucap terima kasih atas kebaikan papa mertuanya. "Sama-sama. Kiran ini sudah Oapa anggap seperti anak kandung sendiri. Andaikan Anya masih hidup, mungkin sekarang sudah sebesar Kiran. Ah, ya sudah, masuklah. Papa ke kantor dulu." Kiran mengangguk, mencium punggung tangan Arman sebelum keluar dari dalam mobil. Melambaikan tangan ketika Arman kembali melajukan kendaraan meninggalkannya yang masih berdiri dalam diam sampai mobil Arman tak terlihat lagi. Jujur, melihat papa mertuanya yang begitu perhatian padanya seperti ini membuat Kiran kembali teringat almarhum ayahnya. Mengusap buliran bening yang tiba-tiba saja menetes di pipi. Kiran tak boleh seperti ini. Harus ikhlas dengan kepergian ayahnya. Beliau sudah tenang di Surga. Dengan langkah gontai Kiran masuk ke dalam kantor dan langsung menuju lift yang akan membawanya pada tempat di mana ruangannya berada. "Kiran!" seruan Hans saat Kiran masih berdiri menunggu pintu lift terbuka. Wanita itu menoleh ke belakang mendapati Hans yang tengah menghampirinya. "Are you okay? Matamu merah." Kata tanya yang begitu saja Hans lontarkan karena mendapati kesedihan yang nampak di wajah cantik Kiran. "Aku nggak apa-apa. Aku baik." Pintu lift terbuka mendorong Kiran segera masuk ke dalamnya hingga memutus pembicaraannya bersama Hans. Kiran tidak ingin Hans khawatir padanya karena dia tidak berhak mendapat perhatian lebih dari lelaki sebaik Hans. Kiran memilih diam ketika Hans juga ikut masuk ke dalamnya. Beruntungnya lagi mereka tidak hanya berdua karena beberapa karyawan juga ikut bersama mereka. Tak lagi ada obrolan spesial karena keduanya memilih bungkam dalam keheningan di dalam lift. Sampai pintu lift yang kembali terbuka di lantai yang Kiran tuju, wanita itu dengan diikuti oleh Hans keluar. "Aku ke ruanganku dulu," pamit Kiran berlalu meninggalkan Hans menuju kubikelnya. Tidak ingin Hans mencercanya dengan berbagai pertanyaan yang penuh kekhawatiran. Lelaki itu paling tahu dan selalu tahu suasana hati Kiran. Buktinya tiba-tiba saja satu cup coffe sudah terulur di depan wajah Kiran yang tengah fokus menyalakan komputer. Wanita itu mendongak mendapati Hans adalah pelakunya. "Kamu pasti butuh ini. Agar suasana hatimu kembali membaik." Hans tersenyum masih dengan menyodorkan kopi untuk Kiran. "Thanks, Hans." "You are welcome. Ah, ya. Nanti siang kita lunch bareng." Ajakan Hans yang tak mungkin Kiran tolak dan anggukan kepala adalah sebagai jawabannya. *** Hans membawa Kiran makan siang di sebuah resto tak jauh dari kantor. Resto yang sangat terkenal dengan aneka makanan yang menggugah selera. Di jam makan siang seperti ini resto selalu tampak ramai. Tak hanya hari ini saja Hans membawa Kiran ke tempat ini, tapi sudah seringkali pria itu membawanya makan di tempat ini. Yang Kiran tahu, owner restauran ini juga kenal dengan Hans dan Tuan Hiro. Sempat dua atau tiga kali Kiran bertemu dengan owner resto ini karena lelaki itu seringkali berada di meja kasir khususnya jika malam hari. "Hai, Pak Hans!" sapa ramah seorang lelaki yang sedang berdiri di sebelah meja counter. Lelaki itulah pemilik resto ini. Tumben sekali di jam makan siang lelaki itu ada di sini. "Hai Pak Dito." Mereka berdua saling sapa dan Kiran hanya senyum-senyum saja. Lelaki bernama Dito menoleh pada Kiran dan satu senyuman di tujukan kepadanya. "Hai Kiran. Apa kabar?" Rupanya Dito pun juga menyapa Kiran. Hubungan baik Dito dengan istri Tuan Hiro, mengantarkan mereka menjadi saling kenal. "Kabar baik, Mas Dito." "Kalian pasti sudah lapar, ayo silahkan pesan makanannya." "Baiklah. Kami ke sana dulu." Hans menunjuk meja paling pojok yang kebetulan kosong. Kiran hanya mengikuti Hans, lelaki itu menarik kursi untuknya. Setelah Kiran duduk, barulah Hans ikut duduk di hadapan wanitanya. Selalu seperti itu. Hans selalu memperlakukan Kiran dengan sangat baik. Dan hal itu selalu membuat wanita itu terharu. "Mau makan apa?" Hans bertanya. "Apa saja. Samakan saja dengan pesananmu," jawab Kiran sekenanya. Sejak kepergian ayahnya, nafsu makan Kiran turun drastis. Seenak apapun makanannya, Kiran tak berselera. Jika saja Kiran tak berpikir aktifitasnya yang banyak dan membutuhkan asupan energi, mungkin saja Kiran memilih untuk tidak makan. Tapi kembali lagi, dia tetap harus makan meskipun selalu susah saat menelan makanan. Kiran masih sangat terpukul dengan meninggalnya sang ayah, dan tak dapat dipungkiri jika kesedihannya ini masih belum bisa dienyahkan begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD