1. Om Arman
Gundukan tanah dengan bertabur bunga yang masih segar, tak kuasa rasanya Kiran meninggalkan tempat ini. Tempat di mana jasad orang yang dia sayangi telah disemayamkan.
"Kiran ...." Sebuah tepukan dibahu membuat Kiran mendongak. Wanita lima puluh lima tahun itu dengan wajah sendunya berdiri disamping Kiran.
"Ayo kita pulang," ajak wanita itu lagi.
"Tapi, Bun ... Kiran masih ingin di sini bersama Ayah." Kiran kembali terisak. Bagaimana tidak sedih jika ayah yang sangat ia cintai telah tiada dan meninggalkan dia untuk selama-lamanya.
"Mendung, Nduk. Mau hujan. Ayo, kita pulang." Wanita yang dipanggil Bunda oleh Kiran masih berusaha membujuk putrinya.
Kiran menatap langit, tampak awan hitam bergelung, sebentar lagi pasti akan turun hujan. Kiran berdiri, sekali lagi melihat pusara sang ayah. Air mata kembali membasahi pipi mulusnya. Bunda merangkul bahu Kiran dan membawanya meninggalkan pusara sang suami.
***
Tak terasa tujuh hari sudah lelaki yang Kiran sebut Ayah meninggalkan mereka semua. Rasanya seperti mimpi, lelaki yang selalu ada untuk keluarganya sekarang telah pergi untuk selama-lamanya. Andai saja waktu bisa diputar kembali pasti Kiran akan menjaga ayahnya dan tidak akan memilih untuk meninggalkan lelaki yang ia cinta demi sebuah karir. Kiran baru tahu jika ayahnya menderita paru-paru kronis sekitar empat bulan lalu. Pantas saja selama ini ayahnya selalu meminta padanya agar tak pergi ke Ibukota. Tapi Kiran dengan segala keegoisannya lebih memilih karir ketimbang keluarga.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Kiran tak bisa lagi mengembalikan Ayahnya ke dunia ini. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mendoakan agar ayahnya tenang di surga.
"Nduk ... sejak tadi Bunda perhatikan kamu melamun terus.” Kiran segera mengusap air mata yang entah kenapa tiada habisnya. Sejak seminggu yang lalu air mata itu tak henti mengalir. Terlalu sedih dan seolah tak bisa menerima kenyataan hidup.
"Bunda ... Kiran rindu Ayah," ucapnya kembali terisak di pelukan Bunda.
Bunda ikut menangis bersama sang putri tercinta.
"Nduk, ikhlaskan kepergian ayahmu. Beliau sudah tenang di surga-Nya."
Kiran salut dengan Bunda, meski ia juga tahu jika beliau sangat bersedih dan merasa kehilangan sosok pendamping hidup, tapi beliau mampu tegar menghadapi cobaan terberat dalam hidup mereka.
"Iya, Bun. Kiran berusaha ikhlas. Kiran sadar hidup dan mati di tangan Allah. Bunda ... Kiran sayang Ayah dan Bunda. Maafkan Kiran karena selama ini belum mampu membahagiakan kalian."
"Hush, tidak boleh berkata begitu. Kamu itu kebahagiaan Ayah dan Bunda.
Kiran kembali memeluk Bunda.
"Nduk, ayo kita ke luar." Kiran mendongak menatap Bunda.
Lalu Bunda melanjutkan berbicara, "Ada yang ingin bertemu dengan kamu." Kali ini Kiran mengernyit.
"Bertemu Kiran? Siapa, Bun?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Ayo kita ke luar dulu. Nanti kamu pasti tahu."
Kiran menuruti Bunda. Berjalan keluar dari kamar. Tiba di ruang tamu tampak sepasang suami istri yang Kiran perkirakan usianya tak jauh beda dari Bunda dan almarhum ayahnya. Kiran ingat pernah bertemu mereka. Tepatnya saat acara tahlil tiga hari meninggalnya sang ayah. Waktu itu Kiran tak sempat berbincang banyak. Hanya sekedar menyapa mereka. Kala itu Bunda mengatakan jika mereka berdua adalah sahabat mediang ayahnya.
"Kiran! Ayo duduklah."
Kiran yang sedari tadi berdiri tersenyum kikuk ke arah mereka, setelahnya ia ikut duduk di samping Bunda.
"Kiran masih ingat kan dengan om Arman dan tante Rania?" Ucapan Bunda yang ia tanggapi dengan seulas senyuman. Oh, jadi namanya Om Arman dan Tante Rania, batin Kiran dalam hati.
"Iya, Bun. Kiran masih ingat."
"Kiran ...." Suara berat lelaki paruh baya itu menarik perhatian Kiran. Dia menatap lelaki bernama Arman yang tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.
"Dulu saya dan mendiang ayahmu adalah teman satu office. Mungkin kamu sudah lupa pada kami berdua karena usiamu saat itu kalau tidak salah baru sekitar ... eum... satu tahun kalau tak salah. Benar begitu Mbak Risma?" Arman menatap Risma yang tak lain adalah nama dari bundanya Kiran, meminta pembenaran atas ucapannya. Risma mengangguk.
"Iya, benar sekali Mas Arman. Kala itu Kiran baru satu tahun saat Mas Arman dan Mbak Rania pindah."
"Kiran ... kami dulu suka sekali membawamu ke rumah kami. Apalagi jika Bundamu sedang bepergian pasti Tante dengan senang hati akan menjemputmu." Rania tersenyum mungkin sedang mengingat masa lampau.
"Kiran tidak ingat. Maaf ," jawab Kiran yang memang benar-benar tak ingat kejadian masa kecilnya dulu.
"Wajar jika Kiran tidak ingat. Satu tahun itu kan masih kecil sekali. Tante tak menyangka jika sekarang Kiran tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Seandainya Anya masih hidup pasti sekarang sama cantiknya dengan Kiran." Wajah Rania berubah sendu. Kiran bertanya dalam hati, siapa Anya itu.
"Kiran .... " Kiran menoleh kembali pada Arman.
"Dulu kami punya anak perempuan. Namanya Anya. Usianya lebih tua satu tahun dari kamu. Tapi Tuhan lebih sayang pada anak perempuan kami. Karena tepat saat usia Anya satu tahun, Tuhan memanggilnya."
Kiran terkejut mendengar penuturan Arman. Risma mengelus pundak putrinya. Kiran meolehkan kepala ke samping, tampak wajah sendu bundanya. Pasti saat itu Arman sangat sedih. Sama seperti apa yang Kiran rasakan saat ini. Kehilangan orang yang sangat kita cintai.
"Anya terkena demam berdarah. Kami sebagai orangtuanya dan dokter sebagai tenaga medis sudah berusaha, tapi nyawa Anya tidak dapat tertolong. Anya meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tepat satu bulan pasca meninggalnya Anya, bundamu melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Dulunya kami ini tinggal bersebelahan. Seolah Tuhan tahu jika kami sangat kehilangan Anya. Pada akhirnya Tuhan mengirimkan seorang Kirana Larasati. Gadis kecil yang sangat cantik tidak hanya sebagai kebahagian bagi keluarga Mas Rafli dan Mbak Risma, tapi juga sebagai kebahagian kami berdua." Arman tampak berkaca-kaca saat menceritakan masa lalunya. Tangannya menggenggam erat tangan Rania, sang istri tercita.
"Dengan kehadiranmu mampu menghilangkan sedikit kesedihan kami karena ditinggalkan oleh Anya. Namun, ternyata hanya satu tahun kami diberi kesempatan untuk berbahagia dengan kehadiranmu. Saat itu Om mendapat tugas pindah keluar pulau. Om tak dapat mengelak dan harus menerima. Akhirnya kami berdua pindah meninggalkanmu dan kedua orangtuamu. Pada awal awal kepindahan, kami masih sering berkirim kabar lewat surat. Maklumlah jaman dahulu belum ada handphone seperti sekarang." Arman terkekeh.
"Tapi lama kelamaan hubungan kita merenggang karena kesibukan masing-masing. Apalagi sejak Om memutuskan resign dari pekerjaan dan memilih untuk memulai bisnis sendiri, Om sudah tak sempat berkirim kabar dengan keluargamu karena Om terlalu sibuk mengurus bisnis baru. Hingga tak terasa sudah dua puluh enam tahun kami tak pernah lagi bertemu. Namun, ada satu hal yang masih menjadi ganjalan bagi kami." Setelah mengatakan itu Arman menoleh pada istrinya sebelum melanjutkan apa yang ingin beliau sampaikan.
"Dulu kami sempat berjanji pada Ayah dan bundamu, jika Om mempunyai anak lelaki maka Om akan menjodohkannya denganmu Kiran."
Kiran terdiam berusaha mencerna perkataan Arman. ‘Tunggu! Apa yang Om Arman tadi katakan. Perjodohan.’ Tanya dalam benak Kiran.
"Doa Tante dan Om terkabul. Pada akhirnya kami mempunyai seorang anak lelaki." Kini Kiran melihat pada Rania. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum kepadanya.
"Kiran ... Om pernah sekali datang ke rumah lama Om yang dulu bersebelahan dengan rumah kalian. Tapi hasilnya nihil. Ternyata kalian sudah pindah juga.”
"Mas Arman, maafkan kami dulu tak sempat memberitahu kalian tentang kepindahan kami. Waktu itu mas Rafli di mutasi ke daerah. Jadi rumah lama itu kami jual," ucap Risma pada Arman dan Rania.
"Risma, mungkin ini sudah takdir kita untuk dipertemukan kembali. Jika saja aku tak berada di kota ini untuk mengantar klien-ku yang terkena serangan jantung, mungkin saat ini kita belum bertemu kembali."
"Iya, Mas Arman benar sekali. Semua ini karena kuasa-Nya. Setelah sekian lama akhirnya kita dapat dipertemukan kembali." Risma menimpali.
"Kiran!"
"Iya, Om."
"Kamu bersedia mengabulkan semua janji Om pada almarhum ayahmu?"
Kiran tergagap. Apa yang harus ia jawab. Menikah? Memang umur Kiran sudah dua puluh tujuh tahun dan sudah saatnya ia untuk menikah. Namun, entahlah hingga detik ini belum ada keinginan Kiran ke arah sana. Bukan dia tidak laku, saat ini Kiran memang enggan dekat dengan seorang lelaki. Juga belum terbersit di benaknya untuk menjalin hubungan yang lebih serius ke jenjang pernikahan. Kiran masih ingin berkarir. Targetnya menikah paling tidak diusia dua puluh sembilan tahun atau selambatnya tiga puluh tahun. Itu pun jika hatinya bisa berdamai dengan keadaan. Namun, sekarang apa? Dia akan dijodohkan dengan anak lelaki Arman. Dan ini melibatkan janji Arman pada ayahnya.Kiran pusing. Ia pun juga bingung. Bagaimana Kiran bisa menolaknya.
‘Ayah ... apa yang harus Kiran lakukan sekarang?’ batin Kiran berteriak.