•• Happy reading ••
Plak!
Satu tamparan melayang dahsyat di pipi Andara tanpa aba-aba. Belum sampai kakinya menginjak unit apartemen pribadinya sendiri, dia sudah lebih dulu dihadang oleh Indira, kakak kandungnya.
Andara memegangi pipinya yang memerah panas dan terasa perih menyengat. Dia bingung, kenapa Indira terlihat sangat marah pada Andara?
"Kakak kenapa? Kenapa nampar aku kaya gini?" Nada bicara Andara masih dalam keadaan soft. Dia mengontrol emosinya agar tidak meledak seperti Indira.
"Masih pura-pura enggak tahu, kamu? Masih mau ngehindar? Sengaja buat aku kaya gini? Aku tahu maksud kamu apa? Emang selama ini kamu pengen ngedapetin apa yang jadi milik aku, kan? Kamu udah dapatin Vante, sekarang kamu mau rebut Jaren dari aku?" Indira memajukan tubuhnya dan mengapit dagu adiknya dengan kukunya yang tajam tersebut. "Munafik banget wanita ini, buang wajah polosmu itu!"
Saat Indira hendak menampar Andara lagi, Andara mengelak dan menahan lengan Indira. "Kakak waras ngomong kaya gitu ke aku? Nyesel udah buang mas Vante? Kakak lupa, aku yang dipaksa oleh kalian semua buat nikah sama mas Vante. Kenapa sekarang jadi playing victim?" Andara menepis tangan Indira dengan kasar, dia sudah lelah disalahkan terus atas kejadian yang sebenarnya bukan tanggung jawab dirinya.
Mata Indira tampak memerah melihat adiknya yang melawan seperti ini. "Kau semenjak menikah dengannya, menjadi lebih berani seperti ini, ya?"
Andara memejamkan matanya dan menahan nafas yang sangat sesak di d**a, ia sempat menjilat bibir bawahnya sebelum berkata lagi. "Kalau ini masalah Mas Jaren yang menciumku, aku tidak akan berkomentar apa-apa, itu bukan urusanku. Jika dia menyukaiku, itu berarti bukan kemauanku," ucap Andara dan hendak melangkahkan kakinya meninggalkan Indira dari sana, basement unit apartemen pribadi Andara.
"Yak!" Indira menjambak rambut Andara dengan tangan kanannya. "Kau pembawa sial Andara! Kau mengambil Jaren dariku! Kau memang jahat sedari awal, kau selalu mengambil apa yang aku miliki dari kecil!"
Srat! Sret!
Andara terjengkang jatuh ke belakang, tulang bokongnya terbentur lantai dengan cukup keras. Bahkan, Indira tidak segan menyeretnya seperti binatang.
"Akh! Sakit! T-tolong!" Andara berteriak meminta bantuan. Tangannya juga berusaha menahan tangan Indira yang terus menjambaki rambutnya.
"Sakit ini belum apa-apa untuk membalas perlakuanmu sejak kita masih kecil. Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau dariku, Andara! Kau bisa merebut Vante dariku, tapi tidak dengan Jaren!" ucap Indira dengan penuh penekanan. Dia membeberkan keluhannya sejak kecil yang tidak mendapatkan keadilan menjadi anak sulung.
"AKKKKHH! AKU TIDAK PERNAH MEREBUT MAS VANTE DARIMU, INDIRA! KAU SENDIRI YANG MELEPASKAN LAKI-LAKI ITU DAN MEMBUATKU MENANGGUNGNYA! LEPAS!" Andara mencakar pergelangan tangan Indira, hingga gadis itu meringis perih, memperhatikan lengannya yang tergores dengan noda darah. Andara tanpa ampun mencakarnya dengan ganas.
"Indira, apa yang kau lakukan pada adikmu?" Jaren yang tiba-tiba muncul membuat suasana di basement pagi ini semakin tegang. Andara meringkukkan tubuhnya dengan bahu yang bergemetaran. Jujur, trauma masa lalu itu datang kembali.
"A-aku-"
"Andara." Jaren mengangkat tubuh Andara untuk duduk dengan sempurna, laki-laki itu melepaskan jasnya dan dipasangkan ke tubuh Andara yang bergemetaran. Wanita itu tampak pucat dan berkeringat dingin.
"Eugh- kau jangan pura-pura, Andara… kau juga melukai pergelangan tanganku," tutur Indira dengan gugup. Dia memperlihatkan pergelangan tangannya yang tergores merah pada Jaren. "Jaren, Andara-"
"Stop," potong Jaren, dia tidak ingin mendengarkan pembelaan Indira dahulu. Dia lebih khawatir pada Andara sekarang. "Cukup diam. Aku tahu sifatmu, tapi ini adikmu, Indira. Tidak bisakah kau menyayangi adikmu ini?" Jaren menatap dingin pada Indira yang masih berdiri disana dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak sengaja," ujar Indira lagi mencari pembelaan.
"S-sakit, eughhh, ughhh… s-sakit," rintih Andara kembali, dia menenggelamkan kepalanya pada perpotongan kakinya. Bahunya naik turun tidak berhenti, bayang-bayang masa lalu kembali membuatnya trauma.
Dahulu, saat Andara masih kecil, dia sering diperlakukan jahat oleh teman-temannya, dia sering dipukuli dan dijambak dan Indira sebagai tidak pernah bertindak apapun. Dan sekarang? Indira yang melakukan tindakan jahat itu pada adiknya sendiri.
"Mana yang sakit?" Jaren berusaha menyentuh bahu Andara dan membawa wanita mungil itu ke pelukannya. "Tenang ya, Andara. Ada Mas disini, jangan biarkan Andara kecil menguasai tubuhmu lagi. Itu hanya masa lalu."
Andara kecil? Itu semacam trauma masa lalu. Di saat Andara tersakiti, maka bayang masa lalunya selalu dikuasai oleh Andara kecil. Apa seperti alter? Tidak juga, ini terjadi sangat jarang sekali. Biasanya, Andara mampu mengatasi.
"J-jaren, a-aku juga terluka," ucap Indira lagi. Dia tidak ingin Jaren membencinya juga. Kenapa Andara melah semakin terlihat berusaha memojokkan Indira dengan merintih seperti itu? Oh, Indira… adikmu tidak seperti itu, traumanya memang benar-benar kau gali sendiri saat ini.
Jaren menatap iba pada Indira, pertengkaran dua kakak adik ini pastilah dia penyebabnya. "Pergilah dari hadapan Andara," titah Jaren dengan nada bicaranya yang sopan tanpa ada maksud marah sedikitpun.
"T-tapi…."
"Ku mohon. Pergilah, adikmu terluka, Indira," pinta Jaren lagi, bahkan matanya ikut berkaca-kaca. Ia merasakan telapak tangan Andara yang membeku bagai es, dingin yang tidak normal.
Karena Indira yang tidak mengindahkan perintah Jaren, maka Jaren yang mengambil tindakan lebih dulu untuk mengatasi masalah ini. Dia nekat menggendong Andara dan membawanya pergi dari hadapan Indira.
Indira? Wanita itu meneteskan air matanya saat punggung Jaren terlihat semakin jauh dari pandangan matanya. Kini, dia semakin membenci Andara dan tidak ingin adiknya terus-terus berbahagia dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Dari dulu, Indira tidak pernah meminta Andara untuk dilahirkan, dia tidak mengharapkan itu sama sekali sewaktu kecil.
Jaren terus melangkah dengan Andara yang terus merintih sakit pada kulit kepalanya dan tulang ekor yang cukup sakit saat terbentur dengan lantai keras tersebut.
"Berapa nomornya?"
"Turunkan aku, turunkan s-saja…." Andara mencoba sedikit memberontak dan minta diturunkan dari gendongan Jaren.
"Menurut saja, atau mau aku cium seperti kemarin, huh? Keras kepala sekali kau ini," lontar Jaren dengan matanya yang tidak pernah lepas memandang wanita yang tengah bersandar di d**a bidangnya itu.
"Aku saja yang menekannya," kilah Andara lada akhirnya, membuat Jaren memajukan langkahnya sedikit lebih dekat dengan pintu unit Andara.
Andara menekan passwordnya dan membiarkan Jaren membawanya masuk ke dalam. Laki-laki itu merebahkan Andara di atas kasur.
"Ini bantal gulingmu." Jaren memberikan bantal guling dan Andara memeluk bantal itu dengan erat. "Lain kali jangan mau diperlakukan seperti itu oleh Indira," tukasnya lembut. Jaren berjongkok dan melepas tali sepatu milik Andara, tersisa kaos kaki bermotif jeruk yang melekat di kaki Andara.
"Terima kasih dan maaf telah merepotkan, tutup saja pintunya, aku akan tidur saja hari ini."
Tidak ada yang berubah, Jaren masih tetap pada posisinya yang berdiri sambil memperhatikan Andara yang memunggunginya. Andai saja dia lebih berani waktu itu, mungkin sekarang dia yang ada di memeluk punggung kecil nan sempit tersebut.
"Pergilah. Aku tidak apa-apa," ucap Andara lagi dengan tenang. Agak aneh berduaan bersama pria yang bukan suaminya, Andara merasa bersalah pada Vante.
"Aku akan menemanimu, aku takut kau nekat melakukan hal aneh seperti dulu," balas Jaren dan memilih duduk di pinggiran kasur Andara.
"Aku tidak butuh kasihan darimu, terima kasih sudah perhatian," sarkas Andara, dia malas terlalu lama mengobrol bersama Jaren.
"Apa selama ini kau menganggap diriku hanya kasihan padamu?"
Tentu, Andara mengangguk. Kini, ia menenggelamkan kepalanya lebih dalam di bawah bantal guling, dia menangis tertahan di bawah sana.
"Andara." Jaren dengan berani memeluk bahu Andara, hatinya teriris jika rintihan itu terus keluar dari bilah bibir wanita itu. "Aku tidak seperti itu, aku khawatir padamu, perasaanku tulus. Aku menyukaimu, Andara."
Andara menggeleng-geleng kuat, dia sudah bersuami. "Mas…."
"Iya, aku tahu. Maafkan aku…."
"Kak Indira menyukaimu dan dia marah jika kau terus seperti ini padaku. Berhentilah mendekatiku lagi, aku tidak ingin jadi samsak kemarahan kakakku lagi," pinta Andara dengan isak tangis yang membanjiri pipinya.
"Maaf," lontar Jaren dan mencoba duduk, dia mengusap pelan kepala Andara. "Mari, berhenti membicarakan kakakmu. Akan kupastikan masalah ini selesai dan dia tidak mendatangimu lagi."
"Terima kasih dan aku ingin tidur. Ngomong-ngomong ada apa Mas kemari? Apartemenmu bukan disini. Kau mengikutiku?" Andara terduduk dan menjauhkan dirinya dari Jaren. Ia memilih ke tepian ranjang yang berlawanan dengan sisi ranjang yang diduduki oleh Jaren.
"Aku memang mengikutimu, kata sekretarisku kan akan menyelesaikan pekerjaanmu disini. Untuk apa? Kau resign karena menghindariku, aku bisa mengalah untuk tidak datang ke kantor. Tapi, ini impianmu, bukan? Aku agak meyayangkan keputusanmu yang terburu-buru, Andara."
"Maaf…." lirih Andara, dia menatap ke bawah dan memainkan jari-jarinya yang lentik dan kurus.
"Hanya itu?"
Andara mengangguk, memang hanya itu yang bisa ia katakan. Memangnya, apa yang diharpakan oleh Jaren?
"Kau murni melakukannya hanya untuk Vante?"
Andara mendongakkan kepalanya. "Mas ingin mendengar jawaban apa? Sudah kubilang, aku terlalu lelah bekerja padat seperti ini, aku ingin mencoba menulis dengan gayaku sendiri."
"Baiklah jika itu keputusanmu, aku akan mencoba menerimanya." Jaren berdiri dan memperbaiki bajunya yang sedikit berantakan. "Aku akan kembali ke kantor kalau begitu."
"Jas mu," ucap Andara. Dia menyodorkan jas milik Jaren dengan tangan kanannya. "Terima kasih."
Jaren mengambilnya dan mengangguk. "Ya, jaga dirimu dan jangan pernah membuka pintu apartementmu jika ada orang yang tidak dikenal memanggil." Laki-laki itu melangkahkan kakinya keluar dan menutup rapat pintu apartemen Andara. Lebih baik dia berdamai dengan dirinya sendiri, kebahagiaan jauh lebih berharga dari memaksakan egonya sendiri.
***
"Andara ini sudah sore, pekerjaanmu belum selesai. Aku akan meminta Dhika mengantarku ke kantormu jika begitu," ucap Vante berbicara melalui sambungan telponnya pada sang istri.
"Hari ini, Mas di rumah ibu saja. Aku di apartement pribadiku. Jujur, aku sedang ingin sendiri untuk saat ini," jawab Andara memelas, suaranya bahkan tidak bertenaga sedikitpun.
"Ada apa? Perasaanmu sedang tidak enak? Mas akan tetap minta antarkan Dhika ke apartemenmu."
"Ya sudah, terserah Mas saja kalau begitu," balas Andara dengan pasrah. Percuma menolak, suaminya itu akan bersikeras untuk menemuinya.
"Ingin makan apa, sayang?"
"Aku tidak berselera, Mas…."
Vante menghela nafasnya saat mendengar jawaban istrinya. Sudah ditebak, pasti istrinya sedang tidak baik-baik saja, apa karena pekerjaan atau ada hal lain yang mengganggunya?
"Ya sudah, istirahatlah. Mas tutup telponnya, ya."
"Uhum," jawab Andara pelan. Lalu, sambungan telpon terputus, menyisakan Andara yang kembali meringkuk. Ingatan tadi pagi mulai menghantuinya lagi, Indira sangat tega berbuat kasar pada adiknya sendiri.
Hinga lebih dari 30 menit, Andara hampir tertidur. Suaminya telah sampai di antar oleh Dhika. Lalu, Dhika meninggalkannya.
"Sayang?" panggil Vante, dia mencoba berjalan hati-hati dengan tongkat yang selalu ia pakai untuk meraba jalan.
Tidak ada jawaban yang Vante dapatkan, tapi dia berusaha mencari keberadaan istrinya itu.
"Sayang? Ngambek sama Mas?"
Stap!
Vante terhenti begitu saja saat pelukan hangat menyentuh tubuhnya, itu istrinya. Andara menangis di d**a suaminya, perasaannya semakin lega karena merasa terlindungi oleh Vante.
"Sayang…," lirih Vante. Dirinya mengunci tubuh Andara dengan erat. "Tidak apa, menangislah… Mas ada disini melindungimu. Sangat melelahkan, ya?"
Andara mengangguk dan menangis sejadinya. Vante membiarkan saja, dia akan terus menunggu sampai Andara meredakan tangisannya.
Cinta memahami bagaimana perasaan itu terluka, tidak butuh omongan panjang. Tapi, sebuah dekapan akan sangat membantu.
•• To be continue ••