Calon kakak ipar
"Kau tidak akan menikah setelah ini?"
"Menikahlah, Mas."
Vante melirik Andara melalui ujung ekor matanya, setelah itu fokus lagi pada kemudi setirnya. Dia bingung dan sedikit canggung pada calon adik iparnya, pasalnya suara dan postur tubuh gadis itu tidak ada bedanya dengan Indira, calon istrinya.
"Kapan?" tanyanya lagi dengan berbasa-basi agar atmosfer di dekat keduanya tidak terlalu dingin karena saling mendiami.
"Mas," ucap Andara sambil menyenderkan tubuhnya ke kursi yang ia duduki. Kepalanya menoleh ke samping menghadap sang calon kakak ipar, menatap wajah Vante yang sangat tampan bagai pahatan tanah liat tanpa cacat.
"Hm?" jawab Vante pelan, terdengar nada kikuk yang menggerogoti tenggorokannya.
"Makanya, kenalin ke aku dong teman-teman kantormu, mana tau ada yang nyangkut sama aku."
Vante memilih diam saja setelah mendengar penuturan dari Andara karena dia juga bingung harus menjawab apa. Masalahnya, teman-teman kantornya kebanyakan sudah pada menikah dan memiliki anak.
Melihat laki-laki yang ada di sampingnya diam saja, Andara jadi takut dan merasa bersalah. "E-eh, aku salah ucap ya, Mas?" Andara memperbaiki posisi duduknya dan berusaha untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Gadis ini menjadi tidak enak pada Vante.
"Bingung, Ra. Kamu cantik dan cerdas, pasti banyak yang ngantri buat bersanding dengan kamu."
Andara menggigiti bibir bawahnya, dia berandai atas ucapan Vante yang memuji dirinya. Berandai bahwa dia bisa seberuntung Indira memiliki calon suami yang sabar dan pengertiannya tanpa batas.
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Vante pun emberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Andara.
"Mas, Enggak mampir dulu? kayanya Kak Indira ada di rumah."
"Titip salam aja, ya. Aku habis ini mau ke percetakan undangan."
"Ah, begitu." Andara mengambil bawaan yang dia letakkan di kursi belakang, bahan hantaran untuk disusun menjadi parsel. Selanjutnya, dia membuka pintu mobil dengan hati-hati sebelum Vante menahan lengannya.
"Ada apa, Mas?" Andara menoleh pada Vante.
"A-aku sedikit takut. Menurutmu, apa aku pantas untuk menjadi suami Indira? Aku takut dia tidak bahagia bersamaku."
Andara tersenyum tipis melihat ekspresi Vante yang khawatir dan sedikit panik. "Enggak pantasnya di bagian mana, Mas? Baik, penyabar dan pengertiannya aja menggebu-gebu begitu, gimana Kak Indira bisa tidak bahagia? Mas itu ga perlu khawatir, Kak Indira yang beruntung banget dapetin hatinya Mas."
Andara menurunkan kakinya menginjak tanah. "Makasih ya, Mas, tumpangannya. Hati-hati bawa mobilnya. Pikirannya jangan kemana-mana lagi, fokus nyetir dan jangan lupa ingat sama Tuhan."
"Aku loh yang makasih, Ra."
Andara membalas lagi dengan seulas senyum dan menutup pintu mobil Vante. Gadis itu berjalan dan membuka pintu pagarnya serta melambaikan tangannya saat Vante menurunkan kaca mobilnya.
Vante juga sama, memberikan senyuman terbaiknya dan membunyikan klakson. Mobil Maserati itu pergi begitu saja dari pandangan Andara. Setelahnya, si gadis mengayunkan kakinya menuju rumah dengan perasaan sedikit gundah. Ada apa dengannya?
***
Andara telah mengganti bajunya dengan pakaian rumah sederhana, yaitu kaos biasa dan celana pendek di atas lutut. Dia duduk di depan tv sambil menyusun parsel Hantaran untuk pernikahan kakaknya.
Andara juga sesekali memakan jelly yang ada dalam toples di sampingnya dan sesekali mengecek handphone untuk melihat contoh desain parsel hantaran yang diingingkan oleh Vante.
"Itu, hantaranku ya, Ra?"
"Iya, Kak. Tadi, Mas Vante titip salam buat Kakak, dia enggak sempat mau mampir kayanya."
"hm," jawab Indira. Gadis itu memegang remot tv dan menukar ke siaran lain. menurutnya tontonan Andara terlalu kekanankan dan tidak ada manfaatnya. Tapi, bagi Andara menonton Upin dan Ipin adalah sesuatu refreshing otak yang sehat.
"Kak, tiga minggu lagi, loh."
"Terus?"
"Kapan Kakak akan menyudahinya?"
"Kenapa? Aku tidak berselingkuh."
Andara menghela napas jengah, sungguh dia merasa lelah dengan sikap Indira yang seperti ini. "Kak, Mas Vante tuh sayang banget loh sama Kakak, jangan gitu dong."
"Lah kenapa? Apa salahku? Aku dan Jaren hanya berteman," jawab Indira yang menatap sinis adiknya. Dia juga sama muaknya dengan Andara. Menurutnya, Andara juga terlalu mencampuri kehidupannya.
"Andara paham, Kak. Tapi, Kakak enggak ngasih tau Mas Te, kalo dia tau sendiri, bagaimana? Dia juga orangnya mudah down."
"Kau suka dengan Jaren?"
Andara menggelengkan kepalanya. "Mas Jaren juga udah kaya kakak Andara sendiri."
Indira membanting remotnya ke atas karpet dan memposisikan tubuhnya menjadi duduk. "Bilang saja kau iri terhadapku. Vante menyukaiku dan Jaren hanya perhatian padaku."
Mendengar penuturan Indira, Andara menjadi terdiam. Dia bertanya-tanya, apakah dia iri terhadap Indira? Oh, tentu. Andara iri karena Indira lebih mudah bergaul dengan orang lain.
***
Waktu berlalu begitu saja, bunyi detak jarum terdengar di telinga Andara. gadis itu menoleh ke arah jam dinding, tertera disana pukul 21.15 WIB. Sesekali bibir mungilnya bersenandung halus menyanyikan lagu-lagu masa kecil, matanya menatap ke arah kamar gelap yang ada di depannya. Ya, Andara sedang duduk di balkon kamarnya dengan santai menikmati pemandangan gelap dari rumah yang sudah hampir tujuh tahun tidak berpenghuni.
"Mas Kun lagi apa, ya?" gumamnya yang terdengar seperti lirihan sendu.
Prang!
Terdengar bunyi nampan beling yang jatuh dari luar kamar Andara, dirinya juga sempat tersentak kaget dan langsung turun dari pinggiran pembatas balkon kamarnya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya sambil mengambil dan memakai luaran baju tidurnya. Andara buru-buru keluar dan menuruni anak tangga rumahnya.
"Kak, Mah?" reflek Andara saat melihat Indira terduduk dengan tatapan kosong.
Sonata sontak menoleh ke si anak bungsu. "Sayang, Vante mengalami kecelakaan parah dan sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit."
"Hah! B-bagaimana bisa, Mah?"
"Remnya blong dan menabrak pengendara yang lain, cepat siap-siap dan ambilkan jaket rajut kakakmu, kita akan kesana!" titah Brama- Ayah Andara dan Indira. Brama menggendong Indira untuk dibawa ke mobil dan Andara berlari menuju kamar kakaknya untuk mengambil jaket rajut.
Selama perjalanan Indira terus meracaukan nama Vante, dia terus meraung-meraung dan tidak terima dengan musibah yang terjadi hari ini.
"Kakak...." ucap Andara sambil membawa Indira kepelukannya.
***
"V-vante," lirih Indira saat tubuh Vante di dorong dengan brankar untuk dimasukkan ke ruangan ICU.
Andara menghapus jejak air matanya dengan susah payah. Rasanya, baru tadi dia mengobrol dengan calon kakak iparmya, kini laki-laki itu mengalami koma dan patah tulang.
Seorang dokter menyampaikan kabar tidak mengenakkan di depan keluarga Vante dan Andara. Sesuatu yang merusak mental sang calon istri dan keterpurukan yang nantinya akan dialami oleh Vante.
"Untuk saat ini kami hanya bisa memberi hasil medis bahwasanya kedua mata putra anda mengalami kebutaan. Saat ini, pendonoran mata juga tidak bisa dilakukan karena berakibat fatal untuk sistem saraf yang terletak di area mata," ujar sang dokter pada Dean, Ayah Vante.
"T-tidak! tidak mungkin! Vante tidak akan buta!" pekik Indira tidak terima, dirinya langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri.