Andara dan Vante harmonis

1750 Words
•• Happy reading •• Jangan jadikan dia sebagai tumbalmu, cukup jalani hidup dan permasalahanmu sendiri mulai sekarang. "Ah, sial! Brengs*k!" Indira menendang punggung laki-laki yang tengah tertidur di sampingnya. Kepalanya terasa begitu sakit akibat pengaruh alkohol yang ia konsumsi sepanjang malam di club yang bahkan baru beberapa kali ia kunjungi. "Ah!" Laki-laki itu mengaduh sakit karena nyeri yang diterima di punggungnya. Dia berbalik dan menatap tajam pada Indira. Wanita tidak tahu diri dan sudah berani membuat punggungnya sakit. "Kenapa kau ada disini!" Indira memeluk erat selimut yang menutupi tubuhnya. Dia tidak ingat dengan kejadian semalam yang membuatnya bertingkah ceroboh. Berakhir, melakukan hubungan terlarang itu bersama laki-laki yang ada di hadapannya, Dimas. "Mana gue tau! Lo yang cium gue lebih dulu! Seenaknya lo nuduh gue!" Dimas memasang celana dalamnya dan seluruh pakaiannya dengan santai di depan Indira. "Najis! Najis! Najis!" teriak Indira sambil mengusap-ngusap bahunya karena merasa jij*k. "Najis! Najis!" katanya lagi, membuat Dimas menggeleng-geleng tak menyangka. "Belagu! Najis-najis, tapi paling doyan main! Cuih!" Dimas meludah tepat di depan Indira. "Lo pikir gue seneng sama tubuh lo? Amit-amit dah kalo kejadian lagi!" Dimas melempar gumpalan uang merah di atas kasur tersebut. "Lo kira gue jual diri? Gue ga butuh duit lo ya, b*****t!" maki Indira kembali dengan emosi yang menggebu-gebu ingin membunuh Dimas. "Halah, taik lo! Ga usah jual mahal, ambil aja," ucap Dimas. Laki-laki itu segera meninggalkan kamar hotel yang ia gunakan bersama Indira semalaman. Menganggap Indira murahan dan tentu senyum liciknya terlihat, pemain wanita. "Hah! Hah!" Indira menarik nafasnya dengan dalam dan dihembuskan dengan kasar, ia kaget pada dirinya sendiri yang telah nekat bertindak sejauh ini. Bagaimana jika dia hamil? Tapi, tidak mungkin, kan? Malam tadi Indira rasa hanya bermain satu kali. Setelah itu, Indira bangkit dari kasur dan segera menuju kamar mandi kamar mandi dengan selimut yang masih tergulung tebal di tubuhnya. Di dalam kamar mandi tersebut, ia bercermin memperhatikan tanda kemerahan yang penuh terukir di leher jenjangnya hingga turun sampai ke bagian dadanya. Hal itu, membuat wanita berparas cantik tersebut meremat pinggiran wastafel dengan jari-jarinya, hingga buku-buku tangannya tampak memutih pucat. "Andara!!!!!" pekiknya dengan geram, dia benci melihat senyum adiknya yang penuh kebahagiaan. Ingin sekali, Indira menoreh luka mendalam pada Andara seperti yang ia rasakan saat ini, terjerumus dalam lubang hitam yang gelap. "Lihat saja nanti, aku akan membuat Andara Jeo menderita lebih dari ini! Berani mengganggu milikku, makan siap-siap saja akan kubuat hidupmu berantakan! AGHHHHH!" Tanpa disadari, Indira telah melayangkan tinjuan pada cermin yang memantulkan penampilan tubuhnya, ia benci saat wajahnya harus mirip dengan Andara. Indira benci mempunyai adik seperti Andara. *** "Wajahmu sumringah sekali, Vante," tutur Andara pada suaminya yang sedang berposisi di atasnya. Tangan kurusnya bergerak menghapus peluh keringat suaminya yang menetes-netes tidak tertahan. Pagi ini sangat dingin, tapi entah kenapa ranjang mereka sangat hangat. Vante tampak mengambil nafas dan membuangnya terus menerus tanpa jeda. Tubuhnya masih bergemetaran karena baru saja melampiaskan sesuatu yang luar biasa untuk rahim istrinya. Sepintas ia sadar dan tersenyum mendengar pertanyaan istrinya itu. Oh, tentu mereka baru menyelesaikan hubungan e****s itu sejak dimulai dua jam yang lalu. Hormon laki-laki begitu meningkat saat fajar semakin menanti untuk datang. "Aku mencintaimu, istriku," bisik Vante di telinga Andara. Ia menjatuhkan tubuhnya yang lelah di samping Andara begitu saja. Terlihat choco chipsnya yang membuat Andara menggeram dan mencubitnya dengan kuat. "Choco chips!" "Awhh!" Vante mengaduh sakit karena choco chipsnya dicubit oleh Andara. "Choco chipsku, pasti memerah setelah ini." "Cih!" Andara menyandarkan kepalanya pada ketiak Vante. "Merahan choco chipsku, semalaman di tarik-tarik kaya orang kesurupan." "Hehe," lengos Vante begitu saja. Benar, sejak tengah malam Vante candu bermain dengan choco chips Andara dan berakhir menggigitinya sampai wanita itu merasa perih. "Mas Vante?" "Euhm? Apa?" "Adek sayang banget sama Mas, mau terus-terus sama Mas sampai tua nanti, mau terus disayang sama Mas, mau dimanjain juga setiap hari, pokoknya adek tuh sayang banget banget banget sama Mas." Andara memeluk perut suaminya dengan erat. Vante pun merasakan debaran jantung yang luar biasa, perasaan itu seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya. Rasanya, kisah yang baru benar-benar akan dimulai. Entah apa yang terjadi besok, Vante hanya ingin melaluinya dengan sosok yang ada di sampingnya, tidak peduli siapa wanita itu. "Mas juga sayang banget sama Adek. Nanti, kalo Mas udah bisa liat lagi, adek bakal jadi orang yang pertama Mas lihat, ya?" Vante membalas pelukan istrinya, dia memberikan ciuman basah pada dahi istrinya, dilanjutkan ke pipi hingga berakhir di dagu. "Pasti, pasti bakal Mas manjain, Mas sayang-sayang terus kaya gini, ya?" Andara mengangguk-ngangguk senang. "Iya kaya gini, adek mau, Mas," balas Andara lagi. "Choco chipsnya juga boleh untuk adek, kan?" "Adek udah ada choco chips sendiri loh," kilah Vante diiringi kekehan kecil karena tidak tahan dengan kegemasan Andara yang kelewat batas. "Mau yang ini juga," pinta Andara, tangannya kembali mencubiti choco cips milik suaminya. "Uhmm, iya-iya, ambil aja buat istriku ini." "Hehehe." Selanjutnya, hanya tercipta candaan dan tawa di antara keduanya pagi itu. Melampiaskan rasa kasih sayang yang tiada dua dengan harapan hari esok mereka masih tetap bersama atau bahkan hingga rambut mereka mulai memutih hanya ada kebahagiaan yang menyelimuti kisah cinta mereka. Sebagaimana mestinya, sosok malaikat kecil tentu dinanti kehadirannya. Namun, Andara masih ragu untuk hal itu, karena semua hubungan ini diawali dengan kebohongan, dia tidak ingin sosok Vante kecil terlahir karena hubungan yang yang berlandaskan kebohongan. "Hari ini mau sarapan apa, nanti adek pesenin lewat kantin bawah?" "Choco chips," jawab Vante dengan kalimat candaannya. "Isss!" Andara mencubit perut Vante, tentu pelan. "Choco chipsnya belum boleh dimakan, mau nasi goreng, bubur ayam atau bubur sumsum?" "Makan bubur ayam aja, Dek. Adek hari ini mau ngapain rencananya?" Vante mengusap rambut Andara dengan lembut. "Mau nyelesain pekerjaan yang kemarin, jadi ga mau kemana-mana dulu. Gapapa kan, Mas? Atau Mas mau pergi?" Andara bangkit dan memasang branya, lalu memakai baju tidurnya kembali. "Ga, Mas disini nungguin adek aja." "Oke." Andara mengikat rambutnya dan turun dari ranjangnya, lalu memakai sandal bear coklatnya. "Adek pesen dulu makanannya, ya. Sekalian, mau isi bathup air hangat buat Mas mandi." "Siap, nyonya Adinan," balas Vante, dia mengeratkan selimut tebal itu ke tubuhnya, masih ingin rebahan dan menyelami dinginnya pagi ini. *** "Dari mana?" Suara itu terdengar nyaring di ruangan keluarga, membuat Indira memberhentikan langkah kakinya begitu saja. Sorot matanya mendapati keberadaan Sonata yang sedang berdiri sambil melipat tangan di d**a. "Mamah? "Dari mana?" Pertanyaan itu terus terlontar dari mulut Sonata sebelum putri sulungnya menjawab dengan jujur. "Aku nginep di apartemen, Mah," jawab Indira, kakinya hendak melangkah menaiki tangga rumah, tapi sepertinya tidak akan terjadi. "Apartment kamu ada berapa? Mamah baru saja dari apartementmu, kau tidak ada disana putriku." "Mamah ngapain ke apartemenku pagi-pagi. Aku menginap di apartemen temanku. Mah, aku mau masuk dulu ke kamar, aku capek banyak kerjaan," tutur Indira yang membuat Sonata sedikit kesal pada anak gadisnya itu. "Kenapa kau melukai adikmu, Indira?" Blak-blakan Sonata menanyakan alasan Andara dibantai oleh Indira, dia mengetahui kejadian tersebut dari Jaren. Sonata tidak habis pikir pada kelakuan Indira, padahal Andara adalah adik kandungnya, sangat sakit melihat keduanya bertengkar seperti itu. "Mama tau dari mana? Cih!" Indira tertawa sarkas dan mengepalkan kedua tangannya. "Anak pengadu. Dari dulu seperti itu, selalu mengadu, sampah!" Plak. Sonata menampar pipi Indira tanpa sengaja. "Apa yang barusan kau katakan? Sampah? Dia adikmu, Indira! Dia putriku." Mata Sonata yang tajam, jelas tersirat kemarahan yang mendalam pada Indira. Indira memegang pipinya yang merah panas, sedetik kemudian bulir air matanya meleleh begitu saja dihadapan Sonata. "Mamah nampar aku demi Andara? Aku juga anak Mamah loh…," lirihnya penuh ketakutan. "Mulutmu tidak bisa dijaga. Andara itu adikmu, apa kau tidak paham? Mamah tau dari Jaren kalau kau mencelakai Andara. Kau tidak mengerti artinya saudara? Dia adikmu, Indira!" Indira menggertakkan giginya dan berusaha menghapus air matanya sendiri. "Aku tidak pernah menginginkan kehadiran Andara, Mamah! Apa Mamah tidak mengerti juga? Aku tidak pernah meminta adik," ucapnya dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak pernah meminta itu, dia mengambil apa yang aku miliki sejak dulu! Aku terus yang mengalah untuk dia! Dan sekarang dia yang ambil semua kebahagiaanku! Vante dan Jaren!" Plak. Sonata kembali menampar pipi Indira dengan emosi yang membuncah. Tangannya menarik kerah baju Indira, hingga gadis itu sedikit tercekik. "Jangan sekali-sekali kau sebut putriku mengambil Vante darimu, atau aku yang akan merobek bibirmu itu, Indira Jeo!" ancam Indira dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya, membuat tangan Indira menjadi gemetaran. "Mamah… aku juga putri Mamah," bela Indira dengan tangisan yang tiada henti. "Jadi, ini alasan kau meninggalkan putri bungsuku 15 tahun yang lalu? Apa kau tahu bagaimana hidupku hancur, putri bungsuku hampir diperkosa gara-gara kau, Indira! Apa kau pernah membayangkan bagaimana Andara berjuang melawan trauma itu?" Sonata melepaskan tangannya dari kerah baju Indira dengan kasar. "Mamah, kejadian itu udah lewat, aku masih kecil, pikiranku hanya untuk menyelamatkan diriku sendiri saat itu," belanya lagi agar tidak dituduh oleh Sonata secara terus menerus. "Apa kau bilang? Tidak bisakah kau mengajaknya untuk ikut lari bersamamu? Kenapa kau menyuruhnya menunggu disana dengan mengikat tangannya pada sebuah pohon. Dia anak kecil yang polos Indira, dia percaya padamu waktu itu, tapi kau meninggalkannya. Aku gagal mendidikmu, aku gagal." Indira semakin menggertakkan giginya dengan kuat. Dia benci saat semua orang menyayangi Andara, terlebih Jaren. "Terserah Mamah! Aku tidak pernah bersalah akan hal itu!" Indira melangkahkan kakinya menaiki anak tangga rumahnya dan meninggalkan ibunya yang masih terdiam dengan pikiran 15 tahun yang lalu. Putri bungsunya yang hampir diperkosa kalau saja suaminya tidak datang lebih cepat saat itu. Dan dengan tidak berdosanya, putri sulungnya seolah-olah tidak merasa bersalah dengan alasan dia juga ketakutan. Dia memaklumi karena umur Indira yang masih kecil, tapi sekarang, Sonata mengerti…. Andara tidak pernah benar-benar diterima dengan baik oleh Indira. Sonata, Sonata merindukan putri kecilnya yang malang. Putri bungsu yang baik hati dan selalu menurut pada Sonata. Putri kecil yang kepo dan selalu ingin mengikuti apa yang Sonata lakukan. Sonata menyesal tidak benar-benar menjaga Andara di waktu kecil, dia terlambat menyadari jika putri bungsunya memang terlahir sebagai peri. Sonata mengambil ponselnya yang tergeletak di samping tv. Dia menelpon Andara begitu saja karena dia merindukannya. "Hallo, Mamah?" Hati Sonata menghangat mendengar suara jernih yang begitu lembut dari putri kesayangannya. Namun, sayup-sayup terdengar suara menantunya yang ada disana. "Sayang, kolor Mas belum di-" "Syut! Mas ada Mamah nelpon, iya nanti adek pakein." "Loh, Mamah nelpon?" Terdengar Vante berbisik di seberang sana. Sonata tersenyum mendengar obrolan mereka berdua. Andara sangat bahagia ternyata dan Sonata lega. "Mamah?" panggil Andara lagi karena Sonata yang tak kunjung berbicara. "Sayang? Anak Mamah? Mamah rindu pada Andara, Nak." Semua mengalir begitu saja, termasuk perasaan. •• To be continue ••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD