•• Happy reading ••
"Ada apa? Tumben sekali ingin mengobrol berdua bersamaku? Kenapa tidak minta antarkan istrimu saja ke kafe? Wajahmu juga kelihatan tidak berseri seperti biasanya."
"Pertanyaanmu banyak sekali, bagaimana aku akan menjawabnya? Dengarkan aku dulu, ada yang ingin aku bicarakan," jawab Vante. Kepalanya menggeleng-geleng karena Dhika sejak sampai tadi di sebuah kedai unik, tidak henti-hentinya menanyai Vante.
"Hm, ada apa? Apa kau sedang merahasiakan sesuatu?" Dhika menyesap es krim yang ada di dalam mangkuk pesanannya.
"Itu. Kau pasti menyadarinya, tingkah istriku. Aku menikahi Indira kan waktu itu?" Terdengar volume suaranya mengecil agar tidak didengar oleh orang lain kecuali sahabatnya itu.
Dhika hampir berdecak saat pertanyaan itu terlontar, mood memakan es krim itu juga seperti menghilang begitu saja. Sudah ditebak, Vante itu terlalu pintar untuk dibodohi?
Dengan segala akalnya, Dhika berusaha melabui Vante agar tetap percaya bahwa itu Indira, bukan wanita lain.
"Maksudmu apa? Itu istrimu, Vante," ucap Dhika dengan penuh penekanan, seolah-olah dia marah karena Vante meragukan istrinya sendiri.
"A-aku bingung, Dhik. Aku bingung, Indira tidak seperti itu, aku hafal…," tukas Vante lagi dengan jujur. "Sampai saat ini, pikiranku tertuju pada Andara, bahkan adik iparku saja tidak pernah lagi muncul, dia hilang tanpa bisa ditemui. A-aku merasa-"
Dhika menarik satu alisnya, sudah tertebak, Vante merasakan itu adalah Andara.
"Jadi, kau sedang merasa yang kau nikahi itu Andara?"
Vante meremas garpu yang ada di tangannya. Benar, dia merasa telah menikahi Andara, bukan Indira.
"Aku, a-ak-"
"Kau menikahi Indira Jeo Vante, bukan Andara Jeo," tegas Dhika sekali lagi untuk meyakinkan sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, Dhika tidak ingin mengingkari janjinya pada ibu Vante. Dia akan terus merahasiakan sampai Vante bisa melihat lagi dengan normal.
Vante menutup matanya dengan kepala yang tertunduk lesu, entah kenapa rasanya belum lega. Hatinya masih ragu, masih banyak hal yang ia ingin cari tahu lagi setelah ini.
"Apa yang kau harapkan? Kenapa tidak dari dulu kau memilih Andara? Kalau sudah begini, baru terasa merasa menyesal, kan?" Dhika menyandarkan punggungnya di daun kursi, kepalanya menoleh ke samping, kedua matanya yang sedikit sipit memperhatikan objek di luar kafe tersebut.
"Kenapa kau berkata begitu? Andara sudah aku anggap adikku sendiri, Dhik. Tidak pantas kau berkata begitu padaku. Aku mencintai Indira saja sampai saat ini," kecam Vante karena perkataan Dhika yang sudah kelewat batas.
"Harusnya hari itu kau tidak pengecut. Hanya karena dia ramah dengan semua orang, bukan berarti dia tidak melirikmu. Kau saja yang payah dan berakhir bersyukur bisa mendapatkan kakaknya. Syukurlah, Andara tidak berakhir dengan orang sepertimu, Vante Adinan," sarkas Dhika yang membuat Vante merasa direndahkan jika begini.
"Aku pengecut?" Vante menyesap tehnya dengan sekali teguk dan sedikit kasar saat menaruh gelasnya kembali di atas meja. "Ya, aku pengecut. Laki-laki biasa saja sepertiku sangat malu berharap lebih pada wanita secerdas dirinya. Aku akui, aku sangat pecundang dan berakhir menaruh perasaan pada Indira yang supel."
"Cih!" Dhika bahkan terkekeh geli mendengarnya. "Supel dari mana? Hanya karena kau tampan dan penyabar, dia mau denganmu. Apa kau sengaja melupakan sifat buruk Indira yang berlagak jadi wanita pintar yang punya segalanya?"
"Kenapa kau menjelek-jelekkan istriku sih? Kemarin saja kau sangat ramah dan dekat dengannya. Kenapa sekarang mengungkit masa lalunya? Dia istriku!" Vante tampak menggeram dan seperti ingin mengamuk tinjuan pada Dhika.
Dhika meneguk ludahnya kasar, istrimu Andara, Vante, wajar saja Dhika terlihat ramah. "Ya itu karena dia istrimu, makanya aku ramah. Sudahlah, tidak usah membahasnya lagi." Dhika memajukan tubuhnya lebih dekat dengan Vante. "Biar aku kasih tahu padamu suatu hal, ini salah satu kunci untuk menyelesaikan permasalahanmu di masa depan."
"Apa maksudmu?"
"Dengarkan saja. Ingat ini, untuk sekarang kau cukup percaya pada istrimu, jangan sia-siakan dia. Di masa depan, tolong-tolong jangan pernah melupakan kebaikan istrimu dari kau menikah dengannya hingga waktu itu tiba. Dan ingat selalu ketulusan hatinya yang merawatmu, jangan pernah hatimu tertutup hanya karena satu kesalahannya."
Vante menahan nafas sejak tadi, ucapan Dhika seperti sebuah peringatan besar untuk Vante. "Kau mengerikan Dhika. Kau seperti sedang meramal masa depanku."
Setelah itu, mata Dhika menemukan salah satu pemandangan Jaren dan Indira yang memasuki kafe yang sama seperti mereka singgahi sekarang. Terlihat, Indira nampak baik-baik saja dan tidak ada rasa rasa bersalah sedikitpun terhadap Vante.
"Itu, Indira," ceplos Dhika dengan reflek. Vante tampak terkejut dan mencoba menolehkan kepalanya walau tidak bisa melihat.
"Ada istriku, disini?"
"B-bukan. Maksudku, itu adik Indira."
"Hah!" Tampak raut wajah Vante berubah sedikit lebih bersemangat. "Andara? Adik iparku? Dhika, antarkan aku kesana, aku ingin menyapa Andara, sudah lama tidak bertemu dengan adikku itu." Semangat Vante membara-bara, membuat Dhika mengiyakan agar Indira setidaknya bisa melihat bagaimana mantan calon suaminya itu hidup berbahagia bersama Andara.
"Andara!" panggil Dhika, membuat Indira dan Jaren menoleh bersamaan ke panggilan Dhika.
Seketika, mata Indira membulat sempurna karena kaget akan kehadiran Vante yang sudah lama tidak ia temui sejak hari pernikahan waktu itu. Jaren? Dia tetap bersikap biasa saja.
"K-kau-"
"Andara! Kemana saja? Katamu akan sering-sering mengunjungiku dan Indira, kau pembohong dan mengingkari janjimu!" Potong Vante dengan sedikit merajuk pada wanita itu.
"Waw, antusias sekali kau bertemu dengan adik iparmu ini," celetuk Jaren tiba-tiba.
"Jaren? Kai disini? Wah, kau benar-benar menyukai Andara, ya? Kemarin kau mengganggu dan mencium istriku? Apa tindakanmu itu sopan! Sini kau aku hajar, berani sekali kau menyentuh istriku!"
Dhika menahan bahu Vante agar laki-laki itu tidak meledakkan amarahnya pada Jaren. "Sudah, itu hanya salah paham," ucap Dhika menengahi, walau tidak tahu apa masalah yang sebenarnya terjadi.
Indira sudah sejak tadi memandang Jaren dengan tidak biasa, menatap laki-laki yang selama ini dekat dengannya dengan tajam. Jadi, Jaren menyukai adiknya?
Sadar diperhatikan oleh Indira, Jaren bersikap biasa saja dan memajukan tubuhnya menyentuh bahu Vante. Dia sengaja ingin mengatakan sesuatu dengan nada besar, biar Indira juga mendengarnya.
"Vante Adinan? Kau salah paham padaku, aku tidak menyukai Indira Jeo, aku selama ini hanya menaruh perasaanku pada Andara Jeo. Paham?"
Vante tiba-tiba menarik kerah baju Jaren dengan kuat. "Kau mencium Indira hari itu dan Andara terlalu baik untuk laki-laki b***t sepertimu, b*****t!"
Jaren melepaskan tangan Vante dari kerah bajunya. "Vante? Semua pertanyaan itu akan terjawab suatu saat. Sekali lagi, aku hanya mencintai Andara Jeo," pertegasnya dengan lantang, lalu meninggalkan semua orang yang ada disitu, termasuk Indira.
Indira yang mendengar semuanya, hanya bisa mengepalkan kedua tangannya secara kuat. Dia menyadari, bahwa Jaren dan Vante sebenarnya ada dipihak Andara. Jaren mengakui perasaannya menyukai Andara dan Vante yang sejak tadi antusias ingin mengobrol dengannya karena laki-laki itu menganggap dirinya adalah Andara.
"Cih! Aku pergi!" ketus Indira. Namun, lengannya ditahan oleh Dhika. "Lepas!"
"Andara?" Vante mengernyitkan dahinya, kenapa Andara berkata seperti itu. Kasar?
"Jaga sikapmu sebentar," ucap Dhika.
"Minggir, aku sedang sibuk!" Indira menghempas tangan Dhika dengan tenaga yang ada, lalu pergi dari kafe itu untuk menyusul Jaren yang menunggu di parkiran.
"Dia banyak berubah, apa aku ada salah padanya?" gumam Vante dengan rasa penasaran yang membuncah dalam otaknya.
***
"Cha cha cha! Sudah gondrong sekali rambut ini, mari memotongnya ke salon, akan aku temankan kesana."
Vante yang diajak omong oleh istrinya, mendadak tidak fokus. Ingatannya kembali pada saat sore tadi, 'percaya saja pada istrimu,' dan Andara yang sedikit berubah dari biasanya, menjadi lebih sensitif.
"Hey," tegur Andara, dia menyentuh dagu suaminya dengan cubitan kecil. "Melamun? Ada apa?"
Vante mendongak sedikit, lalu memeluk pinggang istrinya dengan erat. "Aku takut, sayang."
"Takut apa?"
Vante diam saja, dia hanya ingin menyimpan kerisauan ini sendiri. Dia takut, istrinya kecewa karena dirinya yang tidak percaya pada hubungan pernikahan mereka. Lagipula, Vante mencintai Indira dan Indira sudah jauh berubah lebih baik dari sebelumnya. Jadi, untuk apa masih memikirkan adik iparnya itu?
"Diam saja? Ada apa? Ayo ceritakan padaku, Mas," bujuk Andara lagi dengan susah payah agar Vante mau terbuka sekarang.
"Tidak ada apa-apa," balasnya lagi. Kini, tangannya yang nakal menyingkap dress tidur istrinya yang kelewat mini, memainkan tangannya untuk mengusap paha mulus sang istri. Dan itu, adalah candu bagi Vante.
"Ya sudah. Besok potong rambut, ya? Ini sudah gondrong sekali, adek pun geram liatnya, Mas."
Vante mengangguk-ngangguk sebagai jawaban dari ajakan istrinya. "Baiklah, mari memotongnya agar istriku senang."
"Tentu, Mas Vante harus selalu membuatku senang, hahahah." Andara membawa kepala suaminya untuk lebih dekat dengan perutnya. Ternyata, dia sesayang itu pada suaminya.
Tidak perlu ambil pusing untuk esok hari, nikmatilah waktu yang ada sekarang untuk membuat memori indah. Bagi Andara, cintanya tulus pada Vante dan akan selalu mengenang memori indah ini untuk kurun waktu yang panjang. Jika mereka tidak berjodoh, maka setidaknya mereka pernah bersama.
"Tadi, aku bertemu Andara."
"Hah!" Respon Andara yang seperti itu menandakan keterkejutan yang luar biasa. Apa Vante tadi bertemu dengan kakaknya?
"Dia berubah banyak dan terlihat sibuk dengan Jaren. Jaren bilang dia menyukai Andara, tapi kenapa dia menciummu? Aku masih kesal dengan ini, jika tadi tidak ada Dhika, tongkatku sudah melayang membonyokkan bibir Jaren."
"Bagaimana kabar Andara, Mas? Aku juga merindukannya. Setiap kita kesana, dia selalu pergi keluar kota?"
"Nah, itu. Aku tidak sempat mengobrol dengannya, dia pergi menyusul Jaren. Apa Andara menyukai Jaren juga? Maksudku, kenapa harus Jaren? Bukankah adikmu pantas mendapatkan orang yang secerdas dirinya?"
Andara tersenyum mendengarnya, dia merasa tersanjung. Jadi, Mas Vantenya menganggap Andara adalah wanita cerdas? Ah, ingin terbang rasanya. Andara begitu diperhatikan oleh Vante.
"Entahlah, Mas. Andara mungkin akan bertemu jodohnya suatu saat, biarkan dia fokus pada tujuannya dahulu. Aku berharap kedepannya kehidupan Andara selalu dihiasi dengan kebaikan dan kebahagiaan," lontar Andara diiringi dengan do'a dan harapan untuk dirinya di masa depan.
"Ya, akupun begitu, semoga,' timpal Vante akhirnya. "Oh, iya, bagaimana urusan resignmu di kantormu? Sudah benar-benar beres?"
Andar menggeleng pelan. "Belum, masih ada beberapa dokumen yang harus diselesaikan dan beberapa pekerjaan yang masih menjadi tanggung jawabku, Mas. Jika aku kabur begitu saja, aku harus membayar penalti."
"Ah, begitu. Apa besok Mas temankan saja buat menyelesaikan pekerjaanmu itu?" Vante membawa Andara untuk duduk dipangkuannya. Wanita itu tidak menolak, tangannya menggantung di leher sang suami.
"Memangnya, Mas mau menemani?"
Vante mengangguk, iya. "Mau dong, biar kamu ada temennya."
"Uhhh utututu Mas ku ini, terima kasih, ya. Adek seneng banget diperhatiin gini," tutur Andara dengan tulus. Dia selalu benar, Vante memang definisi laki-laki baik di dunia ini.
"Tentu saja, Mas selalu perhatiin adek, jangan anggap sendirian lagi, ya, sayang?"
"Okiyyy," jawab Andara dengan gemas.
"Gemes banget?" Vante mencium pipi Andara, istrinya memang sangat menggemaskan.
"Iyalah kan adek lucu ga kaya Mas."
"Emang Mas kenapa?"
"Ganteng, terus sexy."
"Hahahahaha."
***
Sejatinya, pasangan yang sempurna bukan dilihat dari fisik, melainkan dari seberapa besarnya kepercayaan yang dibangun dari hal-hal kecil.
•• To be continue ••