Hari pernikahan

2048 Words
••• Happy reading ••• "Maaf sayang…," lirih Hanaya, bahkan suaranya hampir tidak terdengar oleh Andara. Tangan nan mulai keriput itu mencoba menyentuh pipi mulus milik calon menantunya yang sebentar lagi akan menjadi bagian keluarganya. "Ibu…." Andara menyentuh punggung tangan Hanaya yang bergetar dan dibawa untuk bebas menyentuh wajah Andara. "Ibu tidak perlu minta maaf. Mas V-vante… Mas Vante juga kakak Andara." Hanaya meneteskan air matanya dan dengan gerakan cepat membawa Andara untuk didekap erat. "Terima kasih. Terima kasih sudah mau menerima Vante…. Ibu akan selalu berdo'a agar kau berjodoh dengan calon suamimu saat ini." Tidak ada perkataan yang mampu Andara utarakan, layaknya air mengalir yang ia biarkan begitu saja melewati dirinya. Apa benar ini adalah takdir Tuhan yang disengaja? Jika Andara bisa mencintai Vante, apa Vante juga bisa menaruh hati pada dirinya? Di saat momen sendu itu terjadi, Sonata mendorong gagang pintu sehingga tercipta bunyi decitan halus yang membuat Andara dan Hanaya saling melepaskan pelukan hangat. "Sayang, upacaranya akan dimulai dalam 15 menit lagi," tutur Sonata dengan lembut. Matanya terpana akan kecantikan putri bungsunya bak bunga mekar yang merekah indah. Tepat hari ini, upacara pernikahan Vante dan Andara akan digelar dengan sederhana sesuai persetujuan dari dua keluarga besar mereka. Tamu undangan yang datang hanya berasal dari kerabat dekat dan teman-teman dekat Vante. Lalu, teman Andara? Dia tidak cukup baik dalam menjalin pertemanan, sehingga dia hanya memiliki dua sahabat yang berada di Amsterdam. Kabar yang mendadak ini, tentu kedua sahabat Andara tidak bisa menghadiri upacara pernikahan yang akan segera berlangsung. "Andara akan segera kesana, Mah," jawabnya merespon perkataan sang ibu. Lalu, gadis itu kembali bercermin dan memperhatikan riasan yang berseri dari wajahnya. Setelah upacara pernikahan akan benar-benar digelar, Andara berjalan diiringi oleh Sonata dan Hanaya. Dua wanita yang lebih tua itu mengantarkan si cantik untuk berdampingan dengan si tampan. Perlahan, Andara menyatukan telapak tangannya pada telapak tangan milik Vante yang sudah terbujur kaku dan dingin. "Vante, aku disini," bisiknya lembut yang membuat calon suaminya mengerjap kaget. "Indira," ucapnya berusaha mensejajarkan pandangannya pada si calon istri. "Ayo ke altar, sudah siap, kan?" Vante mengangguk mantap dengan wajah yang dihiasi ukiran senyum menawan kelewat bahagia di hari pernikahan yang dia idamkan bersama kekasihnya. Perlahan, mereka berjalan santai di depan banyak tamu undangan. Tidak peduli pada tatapan tidak enak yang terpasang dari orang-orang yang merasa kasihan pada Vante. Perasaannya yang kuat dan stabil tentu membuat dirinya selalu percaya diri. Tangan mungil itu bahkan menuntun lengan rajanya hingga sampai pada hadapan pendeta. Upacara pernikahan dilakukan dengan pengucapan janji suci dan janji pernikahan. Sesi itu berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan sedikitpun. Hingga, mereka saling memasang cincin di jari manis pasangan mereka. "Indira Jeo, aku mencintaimu. Terima kasih, sudah mau menjadi istriku dan berjanji akan selalu disampingku sampai maut memisahkan. Aku janji, aku akan berusaha sebaiknya untuk membahagiakanmu dan membangun keluarga kecil kita yang bahagia. Tentu, kita akan merawat Vante kecil di masa yang akan datang," bisik Vante di depan wajah Andara. Matanya berkaca-kaca menandakan begitu berterima kasihnya pada Tuhan karena disatukan dengan Indira yang ia cintai. Ada rasa sedikit sesak menimpa ulu hati wanita itu. Bagai bilah pisau membelah dadanya, dia tidak bisa mengesampingkan fakta, bahwa kata-kata yang diucapkan Vante hanya untuk Indira, bukan untuknya. "Terima kasih kembali, Vante Adinan. Aku juga akan berjanji pada Tuhan untuk selalu ada disampingmu dan menjadikan dirimu sebagai suami sempurna untukku. Mari merawat Vante kecil untuk tumbuh menjadi anak hebat seperti ayah dan ibunya. Aku juga mencintaimu," balasnya dan tersenyum lebar ke arah suaminya. Perlahan, kedua tangan Vante menangkup pipi mulus Andara. Kepala laki-laki itu sedikit miring dan menghapus jarak antara bibirnya dan juga bibir Andara. Di hadapan Tuhan mereka berciuman dengan penuh kasih. Jelas, ini takdir Tuhan sesungguhnya. "Kau akan menyesal kedepannya, Indira. Setelah ini, jangan pernah mencoba mendekati Vante dan Andara. Urusanmu sudah selesai dengan mereka berdua," ucap Sonata dengan nada dingin yang membuat Indira memutar malas kedua bola matanya. "Mah…." Brama menegur istrinya. "Sudahlah, ini hari bahagia putri kecil kita," sambungnya lagi. Dia tidak enak pada besannya yang duduk bersebrangan dengannya. "Iya, Mamah tahu. Tapi, Mamah tidak tahan, Yah. Menyesal sekali tidak bisa mendidik Indira dengan lebih baik. Terlalu memanjakannya, sehingga dia egois seperti ini," tukas Sonata yang menyesali perbuatannya di masa lampau, terlalu memanjakan putri sulungnya. Indira berdiri dari kursinya dan menyandang tas selempangnya. "Di dunia ini ga ada yang mau nikah sama orang buta kaya Vante kecuali anak kesayangan kalian yang b**o itu." Langkah kakinya begitu cepat meninggalkan meja yang ia tempati bersama kedua keluarga besar itu. "I-ind-" "Udah, Mah," sela Brama, tangannya menahan lengan Sonata agar tidak mengejar Indira atau bahkan meledakkan emosinya di depan para tamu undangan. Hanaya mendengarnya, dia membuang pandangan ke arah lain. Bahkan, air matanya tanpa sadar ikut turun membasahi pipinya. Melihat hal itu, Dean mengusap bahu sang istri untuk memberi penguatan. "Aku bersumpah, jika suatu saat Vante bisa melihat lagi, aku tidak sudi untuk menerima kehadiran Indira," gumamnya dengan bibir yang bergetar hebat. "Maaf, maafkan putriku…," lirih Sonata, berusaha menyentuh punggung tangan Hanaya. "Andara tidak seperti itu, dia jauh berbeda dari Indira." Hanaya membalas perlakuan Sonata. "Aku tahu. Berjanjilah padaku untuk memberikan Andara padaku sebagai putriku," ungkapnya dengan serius. "Hum?" Sonata menaikkan kedua alisnya bingung. Dia tidak paham maksud dari besannya tersebut. "Andara Jeo putriku, putri Hanaya," ucap Hanaya dengan seulas senyum lebarnya pada Sonata. "Ah, hahahaha, tentu saja," kekeh Sonata dengan hati yang lega. Dia jelas mengerti sekarang, bahwa Andara Jeo akan menjadi menantu paling kesayangan untuk Hanaya dan Dean. *** Vante berusaha membuka kancing bajunya sendiri sembari menunggu Andara masuk ke dalam kamar. Upacara pernikahan dan pesta pernikahan digelar serentak dalam satu waktu, membuat pasangan suami istri itu menjadi kelelahan dan ingin segera cepat beristirahat. Tuk. Pintu kamar Vante terbuka, menampilkan sosok Andara yang masih sempurna dengan gaun pengantinnya. Bedanya, riasan make-up sudah bersih dan rambutnya tergerai begitu saja. "Mau adek bantu, Mas?" "H-hah-" Andara mulai membantu Vante melepas kancing bajunya, dia lupa bahwa Vante tidak terbiasa dengan panggilan itu dengan Indira. Bukankah Vante merasa kalau dia sekarang bersama Andara. "Mas? Kenapa?" "M-mas i-itu, a-adek-" Andara terhenti dari aktivitasnya, matanya membulat sempurna karena hampir ketahuan siapa dirinya yang sebenarnya. "A-anu itu, kata Ibu udah suami istri, panggil Mas adek gapapa kan, ya?" Brs! Darah segar berdesir dari bawah permukaan kulit tubuh milik Vante. Wajahnya memerah bak tomat rebus menahan gugup karena perkataan sang istri. Walau matanya tidak bisa melihat, dia yakin bahwa istrinya pasti sangat cantik dan menawan malam ini. "M-mas?" "Iya, b-boleh…" Andara tersenyum menanggapi dan membantu Vante kembali membuka bajunya. Hingga tersisa kaos putih yang juga ikut dilepaskan, menyisakan pandangan penakluk kaum hawa, roti sobek, bahu lebar dan lengan kekar. Andara bahkan menelan ludahnya sendiri. "Adek ndak buka baju? Gerah gak pake gaunnya?" Andara menjadi salah tingkah atas pertanyaan itu, apakah mereka akan menjurus ke hal yang lazim di kalangan suami istri? Apa benar harus malam ini? "Iya, ini adek mau bersih-bersih juga, Mas. Mas mau Adek bantu buat lap badannya?" "Boleh?" tanya Vante, alis kanannya terangkat sempurna. "Ya boleh dong, kan udah jadi istri Mas, gimana sih?" Andara menuntun Vante ke kamar mandi dan membantu suaminya untuk bersih-bersih karena tidak mungkin untuk mandi pada malam hari ini. Sebelumnya, wanita itu sudah lebih dulu melucuti gaun pengantinnya. "Oh, iya. Andara akhir-akhir ini jadi pendiam, kayanya menghindar dari aku, kenapa sih? Aku ada salah sama adekmu?" Andara kaget dan menormalisasikan pertanyaan Vante yang begitu penasaran. "Dia lagi ga baik-baik aja mungkin. Lagi banyak kerjaan juga." "Apa karna Mas buta?" "Hussss!" Andara mencubit lengan suaminya. "Engga gitu. Dia cuma lagi banyak pikiran aja Mas." "Oh, gitu…." "Mas, angkat kakinya, pelan-pelan naiknya." Andara menuntun kaki Vante untuk masuk ke dalam bathup yang tidak ada air. Tentunya, karena Andara hanya akan membersihkan tubuh Vante saja. "Sini naik juga," ajak Vante yang berusaha meraba tangan istrinya agar bergabung dengannya di dalam bathup. Demi kenyamanan bersama, Andara memilih ikut masuk dan duduk di paha suaminya. Lalu, mulai dengan tujuan awal tadi. Begitu lama berkutik disana, Vante memberhentikan dengan cara menyentuh lengan milik Andara. Rasanya kian memanas suhu tubuhnya karena gejolak hasrat yang membelendung, apalagi yang di hadapannya sudah sah menjadi istri. "Indira, aku mencintaimu…. Kau harus tahu itu. Aku tidak ingin kehilanganmu," ucapnya dengan suara rendah yang begitu membuat jantung Andara berdebar tidak karuan. "Aku tahu, Vante…. Aku tahu." Drap. Vante menyentuh tengkuk milik wanitanya dan dibawa mendekat ke dekat wajahnya. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, Indira Jeo!" ungkapnya dengan berulang kali, jelas senyum lebarnya terbentuk, hanya dengan itu hati Andara meluluh. Perlahan, Andara menggantungkan kedua tangannya untuk mengelilingi area leher Vante. Tanpa aba-aba, bibir tipis kecil itu menghujani kecupan bertubi-tubi di seluruh permukaan wajah suaminya. Cup! Cup! Kecupan kecil di kedua kelopak mata secara bergantian. "Aku mencintaimu, Vante Adinan." Cup! Kecupan hangat mendarat di dahi si lelaki, begitu lembut dan terasa nyaman dirasa. "Aku menyayangimu, Vante Adinan." Cup! Ciuman sekilas di batang hidung mancung milik Vante, membuat laki-laki itu terkekeh kecil dan ketagihan. "Indira jatuh cinta setiap hari padamu, Vante Adinan." Cup! Cup! Cup! Ciuman lagi mendarat di kedua pipi Vante dan berakhir di dagu tegas pria itu. "Vante Adinan yang paling tampan, hehe…." Setelahnya, Vante dengan wajah berbinar mengajak Andara untuk berciuman. Lagi, mereka berciuman dengan lembut tanpa ada paksaan. "Uhm," gumam Andara disela ciumannya, dia bahkan meremas bahu Vante untuk menetralisirkan perasaannya. Vante dengan gerakan cepat membawa tubuh kecil Andara untuk menempel pada d**a bidangya. Tangan kekarnya tidak lupa mengusap punggung mulus istrinya yang hanya tersandang bra yang menutupi. Tapi, di lubuk hati terdalam Vante, dia merasa telah kehilangan sosok Indira sekarang. Apa karena dirinya yang mengalami kecelakaan dan membuat Indira berubah 100% jadi lebih soft padanya. Entahlah, bahkan di hari pernikahannya tadi, fikirannya bekerja dan merasa ia menikahi wanita lain. Namun, selalu ditepis pemikiran tersebut karena Vante percaya sepenuhnya pada Indira. *** Pagi datang dengan cepat, pasangan suami istri masih terlelap di bawah selimut tebal yang menyejukkan. Posisi Vante yang memeluk Andara juga sudah menjelaskan bagaimana Vante yang sangat mencintai istrinya. Ketika Andara terbangun, dia hampir tersentak karena ada Vante yang memeluknya. "Hah! Astaga, aku sudah menikah. Tidak biasa bangun-bangun sudah ada orang yang nemenin tidur," gumamnya dengan suara serak bangun tidur. "Selamat pagi, Mas Vante. Nyenyak banget boboknya, hidungnya lucu ada t**i lalat." "Iyalah nyenyak karena bobo bareng istri," celetuk Vante dalam keadaan mata terpejam. Sukses kedua mata Andara membola sempurna. "Ih, dah bangun, curang!" "Udah dari tadi, cuma masih pengen peluk-peluk istri cantikku ini. Muah." Vante melayangkan ciuman selamat pagi di pipi istrinya. "Selamat pagi juga, nyonya Adinan." "Mas, hari ini ketemu keluarga besar aku, gapapa, kan?" Ada raut cemas yang tercipta dari wajah Andara. Pasalnya, keluarga besar Andara sebenarnya tidak menyetujui pernikahan Andara yang terkesan membohongi seperti ini. Apalagi ada yang terkesan julid karena Vante yang tidak sempurna pada indera penglihatan. Vante tersenyum menananggapi, tangannya mengusap bahu Andara dan dikecup sedikit. "Aku gapapa, kamu mau sama aku aja, aku udah bersyukur." "Jangan ditanggepi omongan keluargaku yang kadang suka kasar…. A-aku ngerasa bers-" "Bukan salah kamu, sayang. Mereka wajar benci aku, aku maklumi kok," potong Vante, meyakinkan istrinya untuk tidak khawatir. Andara menunduk dan menenggelamkan wajahnya di d**a bidang milik Vante. Aroma tubuh suami menyeruak memenuhi rongga hidungnya. Teringat kejadian semalam, aktivitas ciumannya terhenti karena sepupu Vante yang bernama Tian menggedor kamar mandi, mengingatkan untuk segera berkumpul di ruang tengah. Alhasil, ketika jam tidur tiba, mereka langsung terlelap tanpa melalukan ritual seperti pasangan suami istri di malam pertama sebagai pengantin. Tok. Tok. Tok. "Vante?" panggil Tian dari luar pintu kamar, berniat mengganggu sepupunya yang sedang asik berduaan. "Lo kena marah Bibi Hanaya loh. Dari tadi malam gangguin pengantin baru. Masih jam setengah tujuh juga," protes Dimas yang berdiri sambil membawa nampan sarapan. "Asik tau gangguin pengantin baru." "b**o sih lo." "Gausah ganggu please, masih pagi banget gue masih mau berduaan sama istri," teriak Vante yang membuat Andara memperhatikannya dan tersenyum manis. Ternyata, Vante Adinan sangatlah tampan dengan garis wajah yang tegas dan urat leher yang begitu jantan. *** Bermekaranlah euphoria yang ada disana, tidak peduli siapa yang dulu lebih mencintai. Bukankah Tuhan sudah menentukan garis takdirnya jauh lebih dulu sebelum kedua insan itu lahir? Kau tahu dan menyadari, sosok Indira akan hilang perlahan dari benakmu. ••• To be continue •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD