Andara sedang menyusun pakaian Vante ke dalam tas yang dibawakan oleh Hanaya. Hari ini, Vante sudah boleh pulang dan akan terjadwal menjalani terapi mata kedepannya.
"Indira?"
"hem," jawab Andara yang sedang memasukkan pakaian dalam Vante ke tempat pouch kecil di dalam tas tersebut.
"Sedang apa? Aku pikir kau diam-diam keluar dan meninggalkanku."
"Tidak lah, aku sedang menyusun pakaianmu."
Hanaya hanya memerhatikan keduanya secara bergantian. Anak semata wayangnya benar-benar mencintai Indira tanpa kurang sedikitpun. Kini, Hanaya merasa bersalah dan iba terhadap Andara, anak gadis yang tidak bersalah dan dijadikan korban atas semua yang terjadi.
"Calon istrimu tidak kemana-mana, nak. Dia kelelahan menyusuni bajumu yang sangat banyak ini."
"Tidak kok Ibu, tidak lelah, hehe," jawab Andara sambil tersenyum tulus dan menampilkan deretan giginya yang rapi pada Hanaya.
Wanita paruh baya itu menyentuh dagu Andara. "Anak manis dan paling baik hati, orang tuamu sangat beruntung memilikimu, sayang."
Mendengar ucapan Hanaya, Vante sedikit kaget. Dia jelas tahu, Ibunya tidak cukup akrab untuk memuji Indira seperti ini, seperti bukan Ibu saja.
"Andara mana? Dia belum menjengukku?" tanya Vante spontan yang membuat Andara dan Hanaya saling tatap dengan keterkejutan.
Lambat laun, Hanaya mencoba memohon pada Andara untuk mencari alasan yang pas. Sungguh, Andara juga kebingungan.
"A-ah itu.... adikku, adikku sedang ada acara seminar penulis di Bandung."
Vante tampak mengangguk-nganggukkan kepalanya paham. "Jadi, adik iparku belum menjenguk nih?"
"K-kemarin dia menjengukmu saat kau koma. waktu kau sadar juga dia kan yang ada disana." Itu, suara Hanaya yang menjawab.
Vante ber-oh ria. "Tapi, kenapa suara Ibu dan Indira tampak seperti orang gugup dan seperti ada yang disembunyikan?"
Andara dan Hanaya saling tatap kembali. "Tidak, kok. Hanya saja kami kaget kenapa kau tiba-tiba mencari Andara," jawab Andara datar.
"Astaga, apa calon istriku cemburu, sekarang? Cemburu karena aku mencari adiknya. Aku hanya mencintai Indira. Bagaimanapun, Andara hanya adik kecil yang manis dan ceria."
Andara tampak menghela napas sesak. Jujur, hatinya sakit. Dia tidak mencintai Vante, tapi kenapa hatinya sakit mendengar ucapan Vante yang mengatakan hanya mencintai Indira.
Hanaya juga sama sesaknya, coba saja dulu Vante lebih sabar sedikit, pasti dia akan memilih Andara sebagai pasangan hidupnya. Indira tidak jahat, hanya saja Indira terlalu menggap remeh orang yang ada dibawahnya karena dia kaya. Keluarga Hanaya tidak kaya, itu yang membuat Indira bebas mengatur Vante sesuka hati. Berbeda dengan Andara, dilihat dari cara berpenampilan, gadis itu lebih mencerminkan sikap perempuan yang berpendidikan dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Ibu, aku akan menaruh ini dulu di bagasi mobil Ayah," ucap Andara sambil mengangkat tas baju Vante yang cukup besar.
"Biar Ibu saja, nak. itu berat," balas Hanaya dan berjalan ke arah Andara.
"Loh, justru berat makanya biar Indira aja, Bu."
Hanaya tersenyum teduh. "Ya sudah, pelan-pelan saja bawanya, nak."
"Iya, Bu." Andara menoleh pada Vante sebelum melangkahkan kakinya untuk keluar ruangan. "Tae-tae sayang, Indira pergi mau antar ini dulu, ya. Jangan menangis meraung-raung pada Ibu," kilah Andara sambil menggoda Vante.
"Eh," respon Vante karena reflek atas ucapan calon isitrinya. Dia tahu betul, kata Tae-tae hanya dia dapatkan jika Andara yang memanggil, seperti 'Mas Tae-tae.' Tapi, tiba-tiba saja Indira menyebut panggilan itu kepadanya. Dari sinilah, Vante agak sedikit gundah, hati terdalamnya seperti tahu sesuatu.
Ketika Andara sudah pergi dari hadapannya, Hanaya mendekati Vante. Wanita paruh bayah itu mengusap kepala sang anak dengan kasih sayang. "Anakku, dia yang terbaik dari sisi manapun."
"M-maksud Ibu?"
"Calon istrimu adalah yang terbaik yang pernah kau dapatkan."
"T-tentu," kilah Vante dengan sedikit gerogi. "Indira sepertinya lebih perhatian dari sebelumnya dan aku beruntung Ibu."
"Ya, kau benar sekali," balas Hanaya berbohong. Jelas, yang terbaik baginya adalah Andara Jeo.
***
Beberapa hari berlalu semenjak kepulangan Vante dari rumah sakit. Tidak banyak yang berubah, Andara yang berperan sebagai Indira masih rutin mengunjungi Vante di rumahnya. Kadang mereka bercanda gurau menikmati momen-momen sebelum melepas masa lajang masing-masing.
"Pernikahanmu tertunda satu minggu, nak. cetakan undangan akan segera dibuat lagi dan hanya mengundang orang-orang terdekat saja. Bagaimana menurutmu, nak?" tanya Dean sambil mengusap punggung anaknya yang sore itu sedang menikmati angin sepoi-sepoi dari teras belakang rumah.
"Ehm, iya Ayah. Aku tidak apa-apa kok. Tidak perlu yang rame-rame seperti rencana sebelumnya," jawab Vante dengan nada pelan sekali. Sejujurnya, dia kecewa pada dirinya sendiri dan membuat Indira tidak bisa merasakan pesta pernikahan yang diimpikannya karena kecelakaan ini. Terlebih lagi, dirinya yang buta pasti akan merepotkan sang istri kelak.
"Apa kau begitu mencintai Indira, nak?"
"Maksud Ayah? Tentu, aku sangat mencintai Indira."
"Jika Indira waktu itu membatalkan pernikahan kalian, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mati saja, Ayah. Untuk apa melanjutkan hidup dengan kebutaan dan ditinggal oleh calon istri. Miris sekali..."
Dean membuang napas dengan sedikit panjang. Kecewa, laki-laki paruh baya itu kecewa dengan jawaban Vante.
"Kenapa Ayah bertanya seperti itu?"
"Jika itu Andara bagaimana?"
"Ayah?"
"Jika Indira meninggalkanmu, apa kau mau menikah dengan Andara?"
Mulut Vanta sedikit menganga dengan pertanyaan Ayahnya. Apa maksudnya? Sungguh Vante bingung sekarang.
"Ayo jawab," pinta Dean dengan sedikit mendesak Vante.
"Vante tidak mencintai Andara Ayah. Pilihanku hanya Indira. Aku tidak sudi jika perempuan lain yang menempati posisi itu sebagai istriku. Aku hanya ingin Indira," jawab Vante lantang dan terdengar sampai ke dalam rumah.
Tes!
Sebulir air mata Andara jatuh ke pipinya tanpa izin. Kata-kata Vante sangat menohok relung hatinya. Dia tahu, dia disini sebagai Indira dan menjalankan kepura-puraan yang tidak diinginkan oleh dirinya sendiri. Lantas, kenapa hatinya sakit? Sakit mendengar ucapan Vante yang hanya ingin bersanding dengan Indira.
Andara berbalik dan ingin menyusul Hanaya saja ke dapur. Namun, saat berbalik dia mendapati sosok Hanaya yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya menguping pembicaraan Dean dan Vante. Buru-buru Andara menghapus jejak air matanya dengan gerakan cepat.
"Eh, Ibu ada apa?"
Hanaya memandang Andara dengan teduh, dia merasa bersalah atas keegoisannya demi putra tunggalnya itu. "Bantu Ibu sayang untuk memasak makan malam. Andara makan malam disini saja, ya?"
"Ah, begitu," jawab Andara. Kepalanya mengangguk satu kali dan berkata, "baik, Bu. Andara akan membantu Ibu menyiapkan makan malam."
Berakhir Andara yang melupakan perkataan Vante dan membantu Hanaya menyiapkan makan malam. Setelahnya, mereka makan malam bersama sambil membicarakan persiapan-persiapan pernikahan yang telah selesai disiapkan.
Pukul 20.30. Andara duduk dipangkuan Vante sambil memandangi langit malam berbintang dari kaca jendela kamar Vante. Tentu, momen yang sangat laki-laki itu sukai saat memeluk sang calon istri dan bercerita bersama.
"Kau ingin anak berapa nanti, Ndi?" tanya Vante sambil hidungnya mengendus aroma Andara dari belakang leher. Akhir-akhir ini laki-laki itu semakin candu dengan aroma Andara yang sangat soft dan bercampur minyak telon.
"Lima."
"Loh, katanya satu aja udah cukup."
Andara sedikit tersentak, asal bicara tanpa berpikir panjang. "Ah, iya. Tiba-tiba aja kepikiran Lima, Tae."
"Kamu bahagia ga sih sama aku? Aku ngerasa bersalah bakal nyusahin kamu kedepannya."
Andara menunduk dan mengusap tangan Vante yang melingkar di perutnya. "Bahagia karena Jeon Vante adalah pria sempurna untukku." Andara membalikkan tubuhnya sedikit dan mencium bibir Vante lebih dulu. "Aku mencintaimu, Vante," bisik Andara yang terdengar seperti lirihan di depan wajah Vante.
Rona wajah Vante berubah drastis menjadi kemerahan karena manahan Euphoria. Dalam sekejap, laki-laki itu membalas ciuman Andara dengan sedikit ganas.
Mereka berciuman dan saling bertukar saliva dengan e****s. Bahkan saliva mereka meleber dari perimpitan bibir mereka sendiri. Tanpa sadar, tangan Vante sudah masuk ke dalam baju Andara dan menyentuh punggung gadis itu. Andara juga bermain-main dengan menjambak kecil rambut Vante. Alhasil, dengan lancangnya Vante telah sampai pada pengait bra Andara.
Sret!
Andara melepaskan pagutan ciuman mereka dan dengan sedikit kuat menepis tangan Vante dari kaitan bra-nya.
"B-belum sah, Tae. Sabar, ya..." kekeh Andara karena wajah Vante yang iba seperti kehilangan mainan baru.
"Ah, maaf... maafkan aku, Indira," ucap Vante dengan sedikit gerogi.
"Tidak apa, kok."
***
Andara telah tiba dikediamannya pada pukul 21.1 setelah dijemput oleh supir pribadi keluarganya ke rumah Vante. Dengan keaadaan lelah, Andara tidak sadar bahwa ada Jaren yang sedang duduk di ruang tv.
"Andara!" panggil Jaren, saat Andara menaiki anak tangga rumahnya.
"Loh, mas? ngapain disini? Kak Indira mana?
"Dia sudah tidur, aku sengaja nungguin kamu disini."
"Ada apa?" Andara melanjutkan kembali berjalan menaiki anak tangga rumahnya, diikuti oleh Jaren. Pria itu terus diam sampai mengikuti Andara ke dalam kamar.
Saat sudah masuk ke dalam kamar, Jaren menutup pintunya. "Kau benar akan menikah dengan Vante."
"Andara tidak punya pilihan, Mas," jawab Andara apa adanya.
"Kenapa harus Andara?"
"Karena yang mirip sama Kakak cuma aku."
Jaren menghela napas dan memijit batang hidungnya dengan pelan. "Maksudku, kenapa kau menerimanya? Kau menyukai Vante, kan? Makanya kau menerima pernikahan itu dan mendapatkan Vante dari Indira."
"Mas, kalo suka sama Kak Indira to the point aja bilang suka. Jangan sok-sok gitu nyari alibi peduli sama Kakak dan nuduh aku sengaja mau nikah sama Mas Vante." Andara meletakkan tasnya di gantungan tas. Dia berjalan ke meja rias dan mengambil kapas untuk membersihkan wajahnya.
"Bukan itu loh, Ra, maksudku."
"Terserah."
"Kalo kamu enggak siap, aku yang siap buat ajak kamu menghilang dari masalah ini. Kalo perlu aku yang bawa kamu ke luar negeri," kilah Jaren dengan sorot mata keseriusan memandangi wajah Andara dari pantulan cermin di depannya.
"Mas gila?"
To be continue.....