Momongan?

2075 Words
••• Happy reading ••• Sebelum waktu makan siang tiba, Andara dan Vante sudah berada di kediaman Brama untuk bersilutrahmi pada kerabat dekat ayah Andara. "Melihat kondisi kalian yang seperti ini, sepertinya tidak memungkinkan untuk memiliki anak," celetuk salah satu paman Andara yang merupakan adik dari ayah Andara, Brama. Uhk. Andara hampir tersedak saat meminum jus jeruk yang dibawakan oleh Sonata tadi. Kenapa pamannya suka berbicara sesuka hati? Bahkan, pernikahan Andara baru genap 24 jam. "Biarlah itu urusan mereka berdua sebagai sepasang suami istri. Kenapa kau yang ikut campur?" tukas Brama pada adiknya, Aril. Lalu, salah satu wanita datang yang merupakan istri dari Aril ikut menimpali. "Bagaimana bisa kau punya anak? Keadaan suamimu tidak memungkinkan, apa kau akan mengurus dua bayi nantinya?" "Bibi julid sekali," gumam Andara, lalu memeluk lengan suaminya dengan erat. Brama menjadi menghela nafas pasrah, kecewa karena keluarganya tidak menyambut kehadiran Vante dengan baik. Vante yang sejak tadi diam saja, hanya memberikan seulas senyum tipis pada Andara. Jari jemarinya menyentuh punggung tangan istrinya yang menggantung di lengannya. "Sudahlah, kenapa kalian yang mengurus dan mengatur putriku. Lebih baik urusi pekerjaan kalian yang tidak becus itu. Putriku dan menantuku tidak butuh opini dari mulut kosong kalian!" Sonata melempar bantal sofa ke arah Aril, menyuruh pasangan suami istri itu untuk mendiamkan mulut masing-masing. "Mah.…" "Sudah, tidak perlu dipikirkan omongan mereka. Kalian istirahatlah dulu, nanti akan mamah antarkan cemilan," potong Sonata dan menyuruh Andara untuk membawanya ke kamar. Andara mengangguk dan mengajak Vante untuk berdiri. "Ayo Mas, kita ke kamar aja." Vante mengiyakan dan mencari keberadaan tongkat penunjuk arah jalannya. Melihatnya kesusahan seperti itu, membuat Aril dan istrinya tertawa sinis. "Nyari tongkat aja susah, apalagi mau punya anak," celetuk Rere, istri Aril. "Apa sih, Bi? Pantesan Tuhan gamau kasih Bibi anak!" balas Andara dengan wajah memerah menahan amarah. Perkataan bibinya sungguh kelewat batas. "Sayang. Udah, Mas gapapa." Vante mencoba meraih bahu Andara dan dibawa memeluk tubuhnya. "Gausah dibales, biarin aja." Setelahnya, mereka berdua pergi dari ruang keluarga menuju anak tangga yang terhubung dengan kamar Andara. Menyisakan empat orang paru baya yang terlihat canggung satu sama lain. Srs! Sonata menyiram wajah Rere dengan jus yang tersisa di gelas Andara tadi, tidak peduli dengan reaksi marah yang dikeluarkan oleh Rere. "Jika anakku sudah berkata, maka itu adalah fakta. Coba berkaca, sifat kalian yang selalu merusuh dan ikut campur urusan rumah tangga orang lain akan membuat kalian celaka. Aku bersyukur tidak ada bayi yang terlahir dari rahimmu. Sebab, jika ada, aku akan kasihan karena bayi itu yang akan mendapat balasan dari perbuatan keji kalian ini. Jika saja kalian bukan bagian keluarga Brama, sudah melayang pisau dapurku untuk merobek mulut kalian berdua." "K-kakak ipar kau kasar sekali," ucap Aril dengan mata bergetar karena melihat amarah dari Sonata. "Apa? Kau pikir aku akan diam saja karena kalian berdua adalah keluarga suamiku? Aku tidak peduli siapa kalian, yang seharusnya kalian khawatirkan adalah kehidupan kalian yang berantakan, bukan mengurusi urusan anakku! Cih!" "Sonata," tegur Brama karena Sonata tidak bisa mengontrol emosi dengan baik. "Jangan bela adikmu. Ini menyangkut putriku, Brama!" Brama memijat batang hidungnya yang terasa sedikit berdenyut. "Andara putriku juga, Sonata." "Terserah!" Sonata bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Brama yang masih ingin membahas masalah yang terjadi hari ini. *** "Vante…" panggil Andara, langkah kakinya membawa untuk berdiri di samping Vante yang sedang termenung dengan tatapan kosong menatap ke arah luar jendela kamar. Jelas, pandangannya gelap. "Tunda, ya?" "Apa mau membahasnya, Vante?" Vante mengangguk yang berarti mengiyakan. "Kayanya buat punya Vante kecil lebih cepat harus ditunda dulu sampai aku bener-bener bisa liat isi dunia l-lagi…." "Kau ingin sekali punya Vante kecil?" Lagi, Vante mengangguk. Bedanya, diiringi dengan tundukan dalam dan uraian air mata yang turun membasahi pipinya. Dia ingin ada Vante junior ataupun Andara princess dalam keluarga kecilnya. "H-harusnya hari itu, a-aku dengerin k-kata-" ucapannya terpotong karena tak sanggup. "Harusnya hari itu, a-aku dengerin kata A-andara…." Andara menaikkan kedua alisnya karena kaget. "Mas…." Andara memutar posisi berdirinya menjadi di hadapan suaminya. Memeluk laki-laki itu dengan erat, seperti takut kehilangan. "A-aku janji buat ingat sama Tuhan, tapi pikiranku entah kemana. Andara b-bilang, dia mau p-punya keponakan yang lucu d-dan aku…. A-aku malah ngecewain harapan itu." "Sut… sut… sut…. Bukan salah kamu, Vante. Semua yang terjadi karena banyak variabel. Gapapa, mungkin belum dalam waktu dekat kita diberi tanggung jawab untuk merawat sosok malaikat kecil itu." Vante mengunci tubuh Andara dalam dekapannya. "Maaf… maaf, Indira." "Bukan salah kamu, Vante. Sekarang…." Andara melonggarkan pelukan mereka. Jari-jari tangannya bergerak menghapus jejak air mata sang suami. "Istirahat, ya?" Vante mengangguk dan menerima tawaran dari Andara untuk berbaring di atas kasur. Kepala laki-laki itu bersandar di d**a sang istri, menerima usapan lembut dari tangan indah milik Andara. "Mas." "Euhm?" "Kalau suatu saat kamu bisa liat lagi, apa yang terlintas pertama kali bakal kamu lakuin?" Andara memainkan rambut Vante sesuka hatinya. Dia menyukai aroma shampo dari rambut suaminya itu, lembut dan maskulin. "Mau liat istriku dulu lah," jawab Vante dengan jujur dan mantap. "Mau liat aku karena wajahnya atau mau liat aku karena sosoknya?" Andara, ada apa dengannya? "Ini … ini.…" Vante menepuk pelan perut Andara. "Aku mau liat wanita yang menjadi istriku ini," tambahnya lagi yang membuat jantung Andara berdebar kencang. Andai saja Vante tahu siapa dirinya sebenarnya? Mungkin, sekarang Vante akan jijik dan benci pada sosok Andara Jeo. "Aku, Indira Jeo." "Aku tahu." Vante memejamkan matanya dan mempererat lingkaran tangannya memeluk pinggang Andara. "Aku tahu, Indira Jeo…." *** "Jaren!" Jaren yang mendengar panggilan itu sudah hafal betul pemilik suara itu. Kalau bukan Andara pasti Indira. Tapi, hari ini dia jelas tahu jika Indira yang memanggil karena tidak ada kata sapaan seperti Kak atau Mas. "Aku sibuk," balas Jaren dengan raut wajah yang kelewat masam. "Kamu kenapa? Biasa selalu ada waktu jika aku berkunjung ke kantormu," lontar Indira dengan raut wajahnya yang mendadak datar. "Haruskah kau mengorbankan Andara untuk menggantikan posisi dirimu untuk menikah dengan Vante? Kau egois Indira dan aku tidak suka." "Aku tidak pernah memaksa Andara, Ren! Dia sendiri yang mau," bela Indira karena tidak ingin dituduh seperti ini oleh Jaren. "Itu calon suamimu, Indira. Kau menghianati Vante dan mengorbankan Andara!" teriak Jaren frustasi. Matanya memerah dan dia berusaha menjambak rambutnya ke belakang. "Kau menyukai Andara, hah?" "Kalau aku jawab iya, kenapa? Apa yang mau kau lakukan. Aku menyukai Andara, puas?" Mata Jaren yang membola sempurna membuat Indira terdiam dan tidak bisa berkutik. "T-tapi kau selalu me-" "Kau pikir aku suka padamu?" Jaren terkekeh dan hampir meledakkan tawanya. "Kau gadis angkuh dan sombong. Dulu, kau tidak punya teman sama sekali dan aku merasa kasihan padamu. Aku ingin berteman denganmu agar kau tidak merasa kesepian. Sekarang, kau punya banyak teman karena siapa? Karena aku, Indira! Jadi, stop berperilaku bahwa aku akan menuruti perkataanmu atau berhenti mengatur hidupku." "J-jaren…." Indira menyentuh tangan Jaren yang mengenakan kemeja dengan lengan terangkat setengah. Jaren menepisnya dengan kasar. "Kau sama Andara sama saja, tidak punya teman. Bedanya, kau terlalu angkuh dan sombong. Sedangkan Andara, dirinya terlalu tertutup dan tidak percaya diri." Indira menggelengkan kepalanya tidak setuju, dia bersikap angkuh pada orang yang pantas diangkuhkan. "Jaren!" Indira memeluk pria itu dan menangis terisak kencang. Alhasil, Jaren kembali menghela napas pasrah. "Ini yang membuatku tidak bisa mendekati Andara. Wanita itu selalu mengira kalau aku hanya menyukai kehadiranmu," tukas Jaren membeberkan fakta terkait hatinya. *** "Tup! Tup! Tup! Kecil sekali perut ini…. Tup! Tup! Tup!" Vante bertubi-tubi memberikan kecupan di perut Andara yang tidak beralas kain. Benar-benar terbuka karena ulah suaminya sendiri. "G-geli…. Ahahaha, geli tau ish!" sela Andara dalam tawanya. Kumis tipis Vante yang baru habis dicukur meninggalkan bekas tajam yang menggelitik. "Tup! Tup! Tup! Apa si kecil akan muat dalam perut mungil ini?" "Tentu saja." "Benarkah?" tanyanya diiringi alis terangkat satu. Bercanda dengan sang istri begitu menyenangkan bagi Vante. Kedepannya, hari-harinya akan lebih berwarna karena dihiasi candaan dan gelak tawa antara dirinya dengan sang istri. Tidak peduli sebanyak apapun luka menancap, yang terpenting bagaimana kepercayaan itu dibangun. "Tentu, karena aku ibunya hahaha…." "Euhm…. Cup! Cup! Cup!" "Haha geli loh." Mereka terus bercanda satu sama lain dan terlihat bahagia dengan dunia mereka sendiri. Bagi Vante, dia tidak ingin membuat suasana menjadi buruk dan lebih baik bersenang-senang bersama istrinya. Tiba-tiba pintu kamar milik Andara terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang berjalan masuk sambil membawa nampan yang berisi cemilan untuk diberikan pada Andara dan diri. Wanita itu tersenyum hangat melihat interaksi putri dan menantunya. Suatu saat, jika Vante mengetahui semua kebenarannya, Sonata berharap laki-laki itu tetap bertahan dan terus mencintai Andara selamanya. "Mamah," sapa Andara saat melihat Sonata berjalan ke arahnya. "Mah," sapa Vante juga mengikuti Andara. "Mamah bawa cemilan, Mamah mengganggu, kah?" tanya Sonata yang diselingi godaan pada pengantin baru tersebut. "Enggak kok, Mah," jawab Vante. Dia berusaha duduk dengan benar. Sonata meletakkan nampan berisi makanan itu ke atas meja kecil di dekat Andara. Lalu, memilih duduk di tepian ranjang untuk mengobrol bersama anak dan menantunya. "Perihal anak, Mamah tidak melarang kalian untuk memilikinya, jika ingin segera maka tak apa," ungkap Sonata dengan suaranya yang tenang. Andara menggeleng-gelengkan kepalanya pads Sonata, jujur dia belum siap punya anak. Hanya saja ia tak mau mengecewakan suaminya dengan menolak secara spontan. Alhasil, dirinya memberi kode pada Sonata. Sonata tampak mengernyitkan dahi keheranan dan raut wajahnya penuh tanda tanya besar pada putrinya itu. Lagi, Andara menggeleng-geleng dengan cepat, memberi kode bahwa tidak usah membahas anak. "Belum dalam waktu dekat ini kok, Mah. Vante masih ngerepotin Indira banget, nanti susah kalo punya dedek bayi…," jawab Vante. Bahkan dia memaksakan senyumannya pada Sonata. Jelas, raut wajahnya yang terlihat kecewa karena keinginan besarnya itu harus ditunda demi semuanya. Dia juga berpikir, pasti Indira akan repot karena mengurus dirinya yang buta dan bayi mereka. Biarlah, Vante mengalah dulu dan menikmati masa berdua bersama istri lebih banyak. Sonata menghembuskan napas panjang dan memahami perasaan Vante. "Ya sudah, jika itu memang keputusan kalian. Mamah akan selalu mendukung apapun itu asal demi kebaikan." Andara bernapas lega dan mengangguk-ngangguk setuju. "Terima kasih, Mah," tutur Andara dengan senyum manisnya yang selalu membuat candu siapapun yang melihatnya. "Terima kasih, Mah. Terima kasih udah nerima Vante jadi menantu di keluarga ini, padahal Vante ga sempurna," timpal Vante. "Vante ga boleh ngomong gitu, Mamah seneng kalo Vante jadi menantu Mamah," balas Sonata dengan ketulusannya. Dari awal Vante berpacaran dengan Indira saja, Sonata sudah menyukai sikap laki-laki itu yang sopan dan pekerja keras. "Vante beruntung, Mah…," lontar Vante kemudian. "Ah, iya…." Sonata baru mengingat sesuatu yang ia ingin tanyakan pada menantunya itu. "Kalian jadi ingin tinggal di apartemen itu? Berdua saja?" Andara meneguk ludahnya dengan susah payah. Tinggal berdua di apartemen? Apa Andara bisa? Bukan masalah bisa atau tidaknya merawat Vante, tapi apa bisa Andara menahan jika berduaan saja dengan suaminya dalam suatu ruangan yang sama, apa jantung Andara akan meledak-ledak? Bukankah konsep seperti itu akan membuat kemungkinan peluang besar untuk melakukan hubungan suami istri lebih sering? Apa dirinya akan siap? Andara sendiri bahkan takut jatuh hati pada suaminya sendiri. "Jadi, Mah. Tapi…." Vante menyentuh telapak tangan Andara pelan. "Terserah pada Indira, hehe." Sonata melirik Andara, namun reaksinya berbeda. Lagi, putrinya menggelengkan kepala tanda tak setuju. "Ah, istrimu mengangguk-ngangguk mantap, sepertinya sangat menyetujui. Lagipula, kalian akan bebas melakukan apapun di rumah sendiri dan lebih banyak waktu untuk berduaan," ucap Sonata yang berbanding terbalik dengan maksud Andara. Andara pun tersentak kaget atas ungkapan ibunya itu. Sedangkan Sonata? Hampir meledakkan tawanya karena ekspresi Andara yang mendadak meringis dengan bibir mengerucut lucu. Putri bungsunya tetaplah bayi kecil yang menggemaskan, selalu saja membuat hari-hari Sonata bahagia karena memiliki putri seperti Andara. Baik hati, penyabar, cerdas dan selalu menanamkan sikap rendah hati dimanapun. Kadang, Sonata merasa bersalah, sikap Andara yang selalu mengalah dan mengorbankan perasaan seperti saat ini, membuat anak bungsunya itu rela berkorban untuk Indira. Padahal, Andara berhak memilih siapa laki-laki yang akan menikahinya, bukan keterpaksaan demi orang lain. "Euhm, apa kalian sudah melakukan hubungan itu?" "Uhuk!" Andara tersedak lagi karena salivanya sendiri saat pertanyaan sensitif itu keluar dari mulut Sonata. Sungguh, hari ini ibunya itu membuat jantung Andara tidak karuan. Vante juga hampir tersedak salivanya dan pura-pura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pertanyaan sederhana itu mampu membuat rona merah bak tomat rebus di wajah keduanya. Berbahagialah untuk masa sekarang, masa depan dan selanjutnya. Takdir Tuhan tergaris dan membentuk tali untuk mengikat keduanya. ••• To be continue •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD