Indira menolak

1388 Words
Hampir satu minggu lebih, Vante tidak sadarkan diri dan memilih menetap pada tidur panjangnya. Awalnya, Indira terus menunggu Vante bangun, berharap laki-laki itu cepat sadar dan menyembuhkan penglihatan dalam waktu dua minggu sebelum pesta pernikahannya berlangsung. Takdir lain yang datang, dokter tidak bisa menjanjikan apapun untuk melakukan operasi donor mata karena bisa mengganggu saraf mata milik Vante. Alhasil, Indira frustasi, dia tidak ingin menikah dengan pria yang buta seperti Vante. "Mamah, aku tidak ingin menikah dengan Vante. Aku belum siap hidup menanggung Vante yang buta," ucap Indira di depan ibunya dengan penuh keyakinan. "Anakku, kau tidak boleh egois seperti ini. Dia calon suamimu, tunggu sebentar saja, dia pasti bisa sembuh," balas Sonata yang memegang kedua bahu Indira. "Bagaimana bisa Kakak berkata seperti itu? Mas Vante sudah mati-matian demi Kakak bahagia. Dia bekerja sangat keras sekali sampai dia lupa dengan dirinya sendiri, harusnya Kakak bersyukur memiliki dia yang mencintaimu," ujar Andara yang duduk di kursi panjang, dirinya menatap Indira dengan tidak percaya. bagaimana bisa kakaknya berpikiran akan meninggalkan Vante dalam keadaan seperti ini. Lalu, Indira berjalan menghampiri Andara. "Kau senang kan, melihat aku yang seperti ini? Kau pasti akan menertawakanku jika aku menikah dengan pria buta." "Kakak!" sela Andara dengan dingin dan sedikit menekan di akhir ucapan. "Apa? Aku tahu sifatmu." "Bagaimana bisa kau berpikir seperti ini? Dia itu calon suamimu, kau tega meninggalkannya dalam keadaan terpuruk? calon istri macam apa dirimu?" "Andara," tegur Sonata karena cara bicara Andara terdengar seperti merendahkan Indira. "Jika kau ingin menikah dengan Vante, silahkan." Indira berjalan meninggalkan Andara dan Sonata. Sonata menyusul Indira, dia tahu putri sulungnya sangat terpuruk sekali dengan keadaan ini, dia berharap ucapan Indira hanya main-main saja dan tetap melanjutkan pernikahan dengan Vante. Andara berjalan memasuki ruang rawat inap Vante. Lagi, gadis itu meneteskan air matanya melihat calon kakak iparnya yang terbaring lemah dan pucat pasi. "Mas, kapan sadarnya? Katanya kemarin udah nggak sabar mau nikah. Mas juga janji bakal kasih aku keponakan yang lucu, kok sekarang malah tidur nyenyak? Euhh-" lirih Andara. Dirinya memberanikan untuk menyentuh punggung tangan Vante. Bahkan, air matanya jatuh begitu saja membasahi lengan sang lelaki. Baru beberapa detik disentuh, jari-jari Vante bergerak di telapak tangan Andara. Sontak, gadis itu terkejut dan membuang napas lega karena calon kakak iparnya sudah sadar. Andara mencoba melepaskan jari-jari Vante yang meremas tangannya. Namun, sang lelaki menolak untuk dilepaskan. "Mas, i-ini Andara," ucap Andara pelan. "Andara akan memanggil dokter dulu." Tidak mengindahkan ucapan Andara karena belum sepenuhnya sadar, Vante semakin erat menggenggam jari jemari Andara. "G-ge...lap," gumam Vante pelan. Sret! Andara melepaskan paksa jari-jarinya dan berlari keluar memanggil perawat yang sedang berjaga di bangsal rawat inap Vante. "G-gela...p...I-indira..." racau Vante dengan bibir lemahnya. Dokter datang dan memeriksa keadaan Vante, disana yang menjaga hanya Andara dan ibu Vante, Hanaya. Setelah selesai, dokter mengatakan bahwa Vante sudah bisa dirawat di kamar rawat inap biasa. "Andara titip Vante sebentar, Bibi ingin ke administrasi untuk mengurus kamar rawat inap Vante dan menghubungi ayahnya Vante dulu untuk segera kesini." Andara mengangguk kepalanya sebagai jawaban dan masuk menemui calon kakak iparnya tersebut. "I-indi-ra? Indira kenapa mataku diperban seperti ini?" "M-mas, ini Andara." "Ah, itu kau. Mana Indira? Apa yang terjadi? Kenapa mataku diperban dan gelap seperti ini?" tanya Vante kebingungan. "Mas, tunggu ibu Mas dulu, ya." "Indira mana?" "Nanti dia kesini," jawab Andara untuk menenangkan Vante. Dirinya memperbaiki posisi kepala laki-laki itu agar tidak sakit. *** "Aku tidak ingin bertemu dengan Vante!" tolak Indira, dia tidak ingin bertemu pria buta tersebut. "Ku mohon, dia sangat down sekarang. Dia tidak ingin disentuh oleh siapapun kecuali calon istrinya, dia sangat syok karena matanya buta," pinta Hanaya yang tengah duduk bersujud memegangi kaki Indira. "Aku tidak ingin memiliki suami buta! Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan jika begini!" tolak Indira yang berusaha melepaskan kakinya dari Hanaya. Andara yang baru datang dan melihat Hanaya, seketika langsung datang menghampiri. "Bibi! Apa yang Bibi lakukan?" tanyanya sambil menarik paksa tangan Hanaya dari kaki Indira. Andara memeluk Hanaya dengan erat. "Kau!" makinya menatap tidak senang pada Indira. Indira hanya membuang wajah kesal ke arah lain. Sonata sedikit membujuk Indira. "Indira, temui Vante dulu, sebentar saja, dia membutuhkanmu, sayang." "Aku tidak ingin bertemu pria cacat itu!" Tiba-tiba saja Andara berdiri dan menampar pipi Indira dengan keras. Plak! "Aw!" rintih Indira. "Berani sekali kau berbicara begitu di depan Bibi! Menantu macam apa kau?" Andara marah dan tangannya terkepal kuat ingin menonjok wajah Indira. "S-say-" "Mah, sudah cukup. Kali ini tidak ada toleransi dengan sikap Kakak. Mamah terlalu memanjakan dia, sehingga dia bersikap tidak sopan seperti ini," ucap Andara memotong perkataan Sonata. Andara membawa Hanaya untuk berdiri dengan hati-hati. "Bibi tidak perlu memohon pada orang yang otaknya sudah miring!" sindir Andara, membuat Indira jengkel. Indira hendak menjambak rambut Andara, namun ditahan Sonata. "Kau diamlah! Adikmu sedang dalam mode jiwa sosial yang tinggi." Brama datang dan kelelahan karena sedikit berlari. "Pah," panggil Andara. "huhh... Andara bisa gantikan Indira sebentar, suara dan postur tubuh kalian sangat mirip. Vante membanting semua barang yang ada di dekatnya. Dia hanya perlu wanitanya, itu saja." "T-tapi akan lain rasanya, Pah. Mas Vante pasti menyadari," ujar Andara dengan khawatir. "Papah sudah menyerah dengan Indira, yang terpenting sekarang kau gantikan dulu posisi Kakakmu." "T-tap-" Hanaya memegang tangan Andara erat. "Bantu Vante, sayang..." lirihnya dengan sedikit bergetar di ujung perkataannya. Hanaya meneteskan air matanya. *** "V-vante..." ucap Andara sedikit gugup. Dia berusaha membiasakan untuk tidak memanggil Vante dengan embel-embel mas lagi. "I-indira?" Andara duduk di tepian kasur dan menyentuh bahu Vante. "Iya, ini aku. Maaf ya aku telat datangnya. Sret! Vante memeluk tubuh Andara dengan erat sekali, air matanya ikut jatuh dan hidungnya mengendus aroma tubuh Andara lewat leher jenjang gadis itu. "Aku merindukanmu. Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" Andara melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Vante dengan kedua telapak tangannya. "Kau ini kenapa? Aku tidak akan meninggalkanmu, mana bisa aku hidup tanpamu. Kau kenapa nakal sekali, sih? membanting barang-barang ke lantai," ucap Andara yang melihat barang-barang berserakan di lantai. "Aku buta dan kau tidak ada. Aku pikir kau akan membatalkan pernikahan kita karena aku buta." "Tuh, nakal sekali mulutnya, berbicara yang tidak-tidak. Mana mungkin pernikahan kita batal, aku kan sangat mencintaimu... muah!" Andara mencium dahi Vante dengan lembut. Seketika wajah Vante memerah atas perlakuan Andara yang dipikirnya adalah Indira. Vante merasa sikap Indira sangat berbeda dan jauh lebih perhatian dari biasanya. "K-kau menciumku?" tanya Vante malu-malu dengan wajah bak tomat rebus, memerah. "Kenapa? tidak mau nih?" "B-bukan.... mau lagi, Indira." Andara terkekeh kecil melihat kelakuan Vante yang salah tingkah. Indira sangat bodoh pikir Andara, menyia-nyiakan laki-laki baik dan lembut seperti Vante. "Muah..." Andara mencium pipi Kanan Vante dengan gerakan lembut. "Lagi." "Muahh...." Kini, berganti mencium pipi kiri Vante yang sedikit kurus. "Lagi." "Muah...." terakhir, Andara mencium hidung Vante, membuat laki-laki itu semakin menjadi lebih baik. "Terima kasih sudah mau bertahan bersamaku Indira Jeo. Aku mencintaimu." Vante berusaha meraih bahu Andara. Andara dengan sigap memeluk Vante dengan cekatan. "Aku juga mencintaimu," ucap Andara berbohong. Tentu saja, dia tidak mencintai Vante karena laki-laki ini adalah calon suami kakaknya. Kan, dia hanya berpura-pura sebagai Indira. "Aku beruntung memilikimu." Andara tersenyum, tangannya mengusap belakang kepala dan punggung Vante bergantian. "Jangan nakal lagi, ya? Aku tidak akan meninggalkanmu." Hanaya, Dean dan Brama saling menatap dengan tatapan yang tidak dapat diartikan, mereka tersentuh dengan pengorbanan Andara dan membuat putra tunggal mereka langsung luluh. Hanaya dan Dean keluar ruangan. mereka berbicara diluar dengan perasaan yang kalut dan begitu terlihat khawatir. "Efek Indira sangat besar untuk Vante," ucap Dean yang menghapus jejak air matanya sendiri. "Andai sifat Indira seperti Andara, Vante pasti akan bahagia," balas Hanaya yang mengajak Dean untuk duduk di kursi panjang. "Andai dulu yang disukai putra kita adalah Andara, maka kita tidak perlu khawatir seperti ini." "Ibu berlutut di kakinya saja dia tidak peduli. Jika begini, kita tidak bisa meneruskan pernikahan mereka." "Andara sangat baik hatinya, Ibu lihat bagaimana tutur katanya yang lembut, bahkan dia berbicara seperti menghadapi seorang anak kecil. Vante luluh begitu saja. Setelah Ayah pikir, bukan efek Indira yang besar, tapi efek si putri murah hati tersebut yang membuat Vante menurut." "Benar. Aku jadi ingin punya menantu seperti Andara...." Di dalam sana, topeng sedang dipakai berdasarkan peran yang diminta. Jujur, Andara tidak tahan ingin berteriak bahwa dirinya bukan Indira. Tetapi, melihat Vante yang jauh lebih baik karenanya, Andara mengurungkan niatnya, dia tidak boleh egois. *** "Apa! Kenapa aku yang harus menggantikan posisi Kakak untuk menikah dengan Mas Vante?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD