“Mas nggak perlu repot-repot kayak gini, aku bisa loh belanja sendiri. Lagian juga kan Mas pasti capek banget habis kerja langsung nyusul aku ke toserba kayak gini, Mas gak pernah tersesat kah? Aku loh kalau baca maps pasti kelewatan, kadang-kadang malah salah jalan dan berujung putar balik, Mas kok bisa sih gak pernah tersesat?”
Pertanyaan beruntun datang dari bibir mungil Jenni, perempuan cantik yang sayangnya sangat tidak asik diajak untuk berbicara itu memberikan pertanyaan tidak wajar kepada sang suami. Mengetahui sang pria benar-benar menyusulnya membuat dirinya sedikit tidak enak, bukan sedikit melainkan benar-benar tidak enak.
“Udah biar aku aja yang dorong troli Mas, Mas pasti capek,” ujar Jenni berusaha mengambil alih troli yang di dorong Doni.
Sedangkan Doni yang sedari tadi diam akhirnya bereaksi, berdecak dengan kesal dan menatap perempuan di sampingnya dengan pandangan sengit. “Kalau udah tahu Mas capek, kenapa nggak buru-buru selesai belanja? Kamu mau buat Mas lebih capek dengan bertubi-tubi tanya kayak gini?”
“Maaf.” Hanya satu kata yang keluar dari bibir Jenni, dia merasa bersalah dari berbagai sisi. Dia awalnya sebenarnya baik karena tidak ingin menyusahkan sang suami untuk berbelanja bulanan dengannya, dia sendiri juga bisa melakukannya.
Sepanjang perjalanan memasukan persediaan bahan pangan, pasangan suami istri itu hanya diam tanpa suaranya. Memindahkan barang belanjaan dan bertanya seperlunya jika dibutuhkan, jika kemarin seperti pasangan remaja yang sedang di masuk asmara maka hari ini seperti seseorang yang tidak saling mengenal.
Doni menutup pintu kamar mandi, mencari keberadaan sang istri yang hilang entah kemana, sebenarnya dia sudah merasa bersalah karena menaikan nada suaranya, maka dari itu dia akan mencoba membujuk Jenni. “Jen kamu dimana?”
“Jen?”
Suaranya tersebar ke seluruh ruangan, matanya menelisik setiap sudut apartemen yang terbilang luas dan mewah ini. Seharusnya dia dapat menemukan keberadaan Jenni, tapi kenapa sejak matanya berputar ke seluruh ruangan dia tidak dapat menemukannya. Tangan Doni terulur mengambil ponsel guna menelepon sang istri, gerakannya terhenti saat mendengar suara pintu di buka oleh seseorang.
Klek
Doni menolehkan kepala dengan segera, mengamati pergerakan orang itu dengan tenang tanpa sebuah gangguan. Keningnya berkerut kesal mengetahui Jenni mengangkat galon sendirian menuju apartemen mereka.
“Dari mana kamu?” tanyanya sembari mendekat ke arah sang istri.
“Habis dari seminar kemanusiaan, Mas.”
Jawaban singkat dari Jenni membuat Doni menghela napasnya dengan pelan, pria itu mengambil alih galon dari tangan Jenni dan memasukan galon tersebut ke dalam rak. “Kalau ada apa-apa tanya dulu sama Mas, jangan buat keputusan yang nyusahin kamu sendiri. Nggak perlu repot beli air galon, air di sini sudah PDAM sayang, bisa buat minum juga.”
Jenni yang mendengar itu semua hanya diam, memilin tangannya dengan gugup merasa terintimidasi dengan situasi ini. “Maaf Mas, aku nggak tahu.”
“Maka dari itu tanya dulu.”
Jenni mengangguk paham. “Iya maaf.”
“Sudah Mas maafin, kamu mau masak apa sekarang?” tanya Doni mengalihkan rasa kesalnya.
“Aku mau goreng ayam bawang aja sama capcay, Mas tunggu sebentar yah.”
Melihat anggukan dari suaminya, Jenni segera berkutat dengan bumbu dapur. Pengalamannya sebagai anak kos selama tiga tahun lebih membuat dirnya cukup ahli di dalam bidang memasak, jika tidak ada mata kuliah maka dia akan memasak menu baru yang mnarik setiap dia liat di sosial media.
Jari-jari lntik itu mengiris bawang beserta teman-temannya dengan mahir, layaknya seorng chef profresinal yang cekatan dalam memasak, Jenni menyelesaikan masakannya dengan cepat. Menyajikan makanan di atas meja pantry dan segera bergegas untuk mandi, dia tidak bisa jika tidak mandi setelah memasak, bau dari makanan yang dia masak pasti akan menempel di baju, maka dari itu dia harus mandi.
“Mau keamana lagi?”
“Mandi.”
“Nggak usah mandi.”
“Nanggung Mas, lagian aku mandnya nggak lama kok.”
Jenni meninggalkan Doni dn memasuki kamar mandi dengan membawa baju santai, perempuan ini sudah terbiasa berganti pakaian di kamar mandi. Berbeda dengan Doni yang keluar dari kamar mandi terkadang hanya memakai hnduk sebatas pinggang, sungguh membuat iman Jenni tergoda, beruntung dia dapat bertahan hingga sekarang.
Siapa yang tidak ingin mengelus badan indah suaminya itu, bahkan walaupun jika dia memiliki kesempatan dia tidak akan berani. Belum terlalu dekat dengn sang pasangan hidup namun tidur bersama, yah setidaknya ini harus berkenalan terlebih dahulu buknnya langsng menikah di pertemuan kedua. Namun apa boleh buat, muslihat orang kaya agar tetap kaya sulit ditebak.
“Masakan kamu enak Jen, jangan males masak buat Mas yah.”
“Biasa aja Mas, jangan dipuji soalnya kalau dipuji biasanya besok jadi gak enak,” ujar Jenni menyanggah pujin Doni.
Doni menggeleng. “Mas mau kamu masakn Mas terus.”
Jenni mulai memahami semua ini, ucapan Doni tadi adalah sebuah penyataan bukan pertanyaan karena tidak adanada tanya di akhir kalimat. Sebenarnya dia bisa saja memasak setiap hari untuk sang suami,namun jika ada keperluan mendadak dan tidak dapat melaksanakan tugas istri, apakah tidak ada kesempatn kedua? Jenni hanya takut di saat dia sibuk bimbngn skripsi maka Doni akan dia lupakan.
“Aku usahain ya Mas.”
Doni hanya berdehem, kedua orang itu menyelsaikan acara makan dengan tenang tanpa sebuah gannguan. Bergelung dengan selimut saat keduanya telah menyelesaikan kesibukan masing-masing dengan ponsel mereka.
“Mas ijin bobo gini yah.” Doni berucap di sebelah telinga Jenni, meletakn tangan di atas perut perempuan itu dan memejamkan mata mencoba tidur.
Jenni membuka mulutnya lebar, bobo? Seorng pria kaku ini menggunakan bahasa bobo? Sekelas pngusaha muda ini menggunakan bahasa alay?
Ah dirinya terlalu berlebihan jika mengatakan bobo adalah bahasa alay, mugkin bobo adalah bahasa bagi seseorng yang sedang jatuh cinta? Ah sudahlah lupakan saja.
“Iya nggak papa Mas, tapi jangan erat-erat yah soalnya aku sulit nafas.”
Doni menjawab ucapan Jenni dengan anggukan kepala di leher sang empu, semakin memeluk erat sang perempuan seolah ingin mengatakan sesuatu. Tarikan napas dalam dan seolah sulit bernapas membuat Jenni bingung, apa yang sedang Doni pikirkn saat ini?
“Ada apa Mas, you wanna say something?” tanya Jenni dengan mengusap punggung tangan sang suami yang ada di atas perutnya.
Doni menggeleng, mengecup leher sang istri singkat dan berucap lirih di lekukan leher Jenni “Jangan pernah tinggalin Mas ya Jen, jangan pernah.”
Jenni berpikir sejenak, apa yang sebenarnya Doni pikirkan. Dia tidak tahu kebohongan apa yang sedang di sembunyikan Doni, fakta apa yang tengah disembunyikan pria ini? “Insyaallah,” ucap Jenni dengan tersenyum.