bc

Anak Rahasia Sang Direktur Tampan

book_age16+
14
FOLLOW
1K
READ
HE
friends to lovers
sensitive
bxg
no-couple
campus
highschool
office/work place
childhood crush
chubby
like
intro-logo
Blurb

Pernikahan yang dia pikir akan berjalan lancar selayaknya rumah tangga orang lain nyatanya tidak terjadi pada pernikahannya. Jenni akui suaminya itu begitu penyanyang, perhatian, dan family men yang dia doakan di setiap sujudnya namun semuanya berubah saat dia mengetahu fakta bahwa ada hal besar yang disembunyikan. Anak hasil dari hubungan bebas di luar sana yang saat ini mengahantui dirinya membuatnya stres.

Gugatan cerai sudah dia layangkan kepada Doni namun sayang pria itu enggan menyetujui keinginannya. Berbagai argumen dia gunakan untuk menentang Doni, upaya dan usaha senantiasa dia lakukan untuk pembenaran ini. Dia merasa ditipu, dan Jenni akan mengakhiri semuanya.

chap-preview
Free preview
Realita Dunia
Merasakan bangku perkuliahan merupakan hal yang luar biasa, tidak semua orang bisa duduk dan menerima materi yang diberikan dosen dengan mudah. Berbagai latar belakang mahasiswa yang berada di sekitar juga berbeda-beda, ada yang kuliah sembari bekerja, ada yang kuliah dan mengikuti organisasi, dan ada yang benar-benar murni kuliah. Perjalanan yang terbilang cukup singkat terkadang membuat Jenni masih tidak percaya jika di tahun ini adalah tahun terakhirnya. Menginjak semester enam membuat dirinya benar-benar sibuk dengan skripsi. "Selamat yah, moga lancar sampai sidang.” “Selamat ya kak.” “Semangat sempro sayang.” Berbagai ucapan selamat berdatangan kepadanya, tersenyum lebar dan menyalami orang-orang lewat yang memberinya selamat. Mungkin seperti itulah rasanya, bahagia dan sedikit terangkat beban pikiran yang ada. “Kapan ya aku di ACC,” ucap Jenni memelas sembari menatap katingnya yang menerima karagan bunga. “Ibu Jenni yang terhormat, anda ini masih semester enam berjalan yah. Jangan terlalu memaksakan diri untuk lulus di semester tujuh mendatang, kating semester sepuluh sama dua belas ketawa noh.” Jenni tersenyum lembut terhadap teman seperjuangannya. “Apa salahnya sih berharap lulus di semester tujuh Ra, temen yang mau keinginan mah seharusnya di support bukan malah dibikin down. Ah kamu mah Ra, arek kok.” “Iya deh iya aku aminin, semoga Jenni Subagyo lulus di semester tujuh ya Allah, dengarkan doa dari hambamu yang kelaparan ini.” “Hahaha makannya sekali-kali puasan Senin Kamis biar kayak diet, tujuan diet tapi hobi makan, Rara, Rara.” Rara, perempuan asli Surabaya yang lahir dan besar di Surabaya inilah yang menjadi teman seperjuangannya. Terkadang Jenni berpikir keras, apakah Rara tidak bosan dari SD hingga menjadi mahasiswa masih berada di daerah Surabaya? Rara dari Surabaya. “Ah udahlah Jen, aku laper banget mau cari makan. Kamu kalau pulang hati-hati yah, lewat tengah aja jangan lewat pinggir, bye-bye sayang mwah.” Jenni turut melambai kepada Rara yang telah memasuki mobil miliknya, setelah memastikan Rara menghilang dari pandangannya, Jenni juga bergegas pulang. Perempuan itu sedikit lemas berkendara pulang ke arah kos miliknya, bukan karena sakit ataupun kelaparan, melainkan mendengar berita bahwa seseorang akan hidup dengannya mulai minggu depan. Sang ibu telah berada di kos miliknya sejak setengah jam yang lalu, terlihat disanan perempuan paruh baya yang begitu anggun dan kalem tengah duduk. “Assalamualaikum Ibu, loh Ibu ke Surabaya sendirian? Jenni kira Ibu sama Bapak, makanya Jenni juga nyantai dari kampus, ih Ibu udah nunggu lama?” “Bapak sama Abang dapat undangan ke Bali, dua hari lagi Bapak sama Abang ke sini. Kamu udah makan sayang? Ibu beli nasi goreng di depan gang sana tadi, kayaknya enak soalnya rame,” ucap Sarah selaku ibu dari Jenni. Perempuan paruh baya itu tertarik dengan ramainya penjual nasi goreng di pinggir jalan, jika ramai sudah pasti enak. Sedangkan Jenni yang mendengar nama nasi goreng membuatnya tidak bersemangat, nasi goreng yang berada di sini sangat berbeda dengan nasi goreng yang ada di daerahnya. Jenni lebih memilih membuka pintu kamar kosnya, mempersilahkan ibunya untuk masuk dan baru menjawab tawaran makan dari sang ibunda. “Nasi goreng di sini aneh tahu Bu, masa nasi goreng kok merah Bu, Ibu kan tahu aku ngga suka saos.” “Oh iya kah? Ibu nggak terlalu fokus ke abangnya, soalnya tadi ada perempuan muda yang ngajak Ibu ngobrol.” Jenni mengangguk paham, walaupun dia tidak suka saos tapi dia memakan nasi goreng yang dibawa Sarah sebagai bentuk menghormati. “Ibu lagi seleksi calon mantu yah, udah ketemu maunya gimana?” Sarah tertawa hambar mendengar praduga dari Jenni, anaknya ini memang selalu benar akan apa yang dia pikirkan. Umur sang anak sulung sudah sangat matang untuk membina rumah tangga, lagipula dia juga ingin menimang cucu seperti teman-temannya. “Adek juga bantu cari lah buat Abang, umur Abang udah cukup buat bina rumah tangga. Kalau ada kenalan yang sekiranya cocok di Ibu, Adek buruan hubungin Ibu biar kita ketemuan, selera Adek kan sama kayak selera Ibu.” “Hahaha siap,” ujar Jeni dengan mengacungkan kedua jempolnya. Sarah tersenyum melihat respon bahagia dari Jenni, dia yakin setelah ini Jenni akan lebih bahagia karena ada seseorang yang menjaganya. “Jangan haha hihi terus Dek, Adek juga harus siap hidup sama Mas.” Jenni menelan kunyahannya dengan susah payah, perempuan muda itu mengelus dadanya mencoba mengurangi rasa sakit. “Mas jadi kesini ta?” tanyanya untuk memastikan keadaan ke depan. “Kalau nggak jadi, Ibu juga nggak bakal kesini sayang.” “Jadi bobo sama aku juga?” “Kamu umur berapa sih Dek, ya Allah bahasanya bobo kayak anak kecil.” Jenni menggaruk dagunya yang tidak gatal, dirinya ini sebenarnya paham lebih dari kata bobo. Namun tidak mungkin jika mengatakan hal itu depan sang ibu. “Ya pokok itulah Ibu, emang Mas proyeknya di daerah sini?” “Iya.” “Masa tinggal di kosan aku Bu? Nanti respon temen-temen aku gimana, kalau mereka mikir macam-macam gimana?” tanya perempuan itu dengan menggebu-gebu. “Jenni sama Mas sudah sah di mata agama, tidak akan menimbulkan dosa. Jika Jenni khawatir dengan respon teman-temannya Jenni, Ibu saranin Jenni pindah ke apartemen aja ya nak.” “Ta-tapi ini nanggung banget Ibu…..” Ibu dari perempuan itu hanya bisa tersenyum, dia juga tidak mempunyai pilihan lain selain ini. “Mas itu surganya Jenni, insyaallah apapun yang Jenni lakuin buat Mas pasti ada pahalanya.” Terlihat bahwa perempuan muda itu menggembungkan pipi sedang berpikir keras, memikirkan cara agar dia dan sang suaminya hidup sendiri. “Uang Mas itu banyak loh Bu, Mas aja nafkahin aku lebih dari cukup setiap bulannya, masa Mas nyewa kosan aja nggak bisa?” Sarah menghela nafas, pantas saja judul skripsi anaknya selalu ditolak. Masalah kecil seperti ini saja harus dijelaskan secara rinci. “Bukan masalah uangnya sayang, Ibu tahu uang Mas banyak, tapi bukan itu masalahnya. Gimana perasaan mertua kamu kalau tahu anak semata wayangnya nggak diurus sama istrinya?” “Tapi Jenni kan baru ketemu sama Mas empat kali doang Bu, pertama saat ketemu kenalan keluarga, kedua saat akad, ketiga saat syukuran Abang naik jabatan, dan terakhir saat nenek mertua meninggal. Ibu bisa bayangin kan nanti gimana canggungnya kita berdua, ah aku belum siap Ibu.” Sarah menyatukan tangannya dengan tangan sang anak, menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Kita bicarain lagi besok pagi yah, sekarang Adek bersih-bersih habis itu sholat, Ibu mau ngabarin Bapak. Semangat sayang, you can do that!”

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook