Semua hal yang ada di dunia ini harus disyukuri dan dinikmati, kesenangan dan kesedihan yang sudah terlewati biarlah menjadi saksi bagaimana kita berproses. Jenni tidak menyesali tentang apa yang sudah terjadi kepadanya, melepaskan kampus idamannya hanya karena pilihan sang orang tua ingin membuat akhlaknya lebih baik. Jenni hanya bisa tertawa jika mengingat itu semua.
“Haha hihi doang ternyata udah semester lima,” ucap Jenni dengan nada yang bingung. Bingung harus berbuat apa setelah lulus dari kampus yang didominasi oleh warna hijau ini.
Jadi ilmu apa yang akan dia bagi untuk semua orang jika setelah lulus S1 hanya berada di rumah untuk berkutat dengan dapur dan pekerjaan rumah yang lain? Sudah dipastikan jika dia akan menjalani masa-masa suram di rumah, keluar sesekali itupun saat dia akan menemani sang suami pergi keluar kota. Ah membayangkannya saja sudah membuat dirinya kesal, ini tidak bisa dibiarkan.
Jenni menggeleng dengan cepat, dia tidak akan berakhir dengan naas menjadi ibu rumah tangga saja. “Nggak bisa dibiarin kalau aku jadi ibu rumah tangga aja, oke Jen kamu harus jadi wanita karir yang mandiri, jadi istri yang sholeqah, jadi ibu yang baik buat anak-anakmu nanti. Jangan stuck di dapur ya Jen, please gunain otak encer kamu,” ujarnya dengan menggebu-gebu.
“Iya nggak stuck di dapur kok, nanti kakak bolehin kamu kerja.”
“Eh?”
Sahutan seseorang dari arah belakang membuatnya menolehkan kepala, siapa orang lancang yang menguping ucapannya tadi? Jenni mengurungkan niat saat melihat sosok terpandang yang menyahuti ucapannya. “Eh Kak Irfan, duduk Kak.”
Senyuman manis yang terpatri di bibir laki-laki di sampingnya ini bisa saja membuat gula darahnya naik, namun beruntung Jenni dapat mengendalikannya. Irfan Tarigan, pria keturunan Batak yang menempuh bangku perkuliahan di tanah Jawa. Siapa yang tidak tahu sosok Irfan Tarigan?
Haram hukumnya bagi mahasiswa di kampus ini jika tidak mengetahui sosok Irfan Tarigan, poster dan banner tersebar hampir di seluruh sudut kampus. Seperti namanya yang memiliki arti bijaksana, berkuasa dan berpengaruh mampu dia terapkan di dunia nyata, bukan hanya sekedar nama semata. Memiliki jabatan yang tidak main-main dan menjadi incaran semua mahasiswi lain. Bukan hanya tentang jabatan, paras tampan dan proporsi tubuh ideal yang membuatnya semakin bersinar, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya?
“Tumben Kak Irfan ada di kampus, biasanya habis matkul langsung pergi acara.”
“Iya alhamdulillah hari ini longgar, nanti malem rapatnya. Kamu dari dulu kok betah banget kemana-mana sendiri Jen, nggak takut?”
Jenni menjaga jaraknya dengan Irfan, tersenyum sedikit dan menggeleng menanggapi pertanyaan itu. “Apa yang perlu ditakutin Kak? Aku bukan penjahat, aku bukan koruptor dan aku juga bukan ayam kampus yang dikejar-kejar banyak pria, apa yang harus aku takuti?”
“Haha bisa aja, jangan bawa-bawa ayam kampus lagian masih enak ayam goreng crispy.” Keduanya sama-sama tertawa pelan.
Irfan mengedarkan pandangan ke arah penjuru kantin dan mendapati beberapa mahasiswa lain juga tengah menatapnya. Ini bukan sebuah pandangan baru, hampir setiap hari dia dalam situasi seperti ini. “Kamu udah makan Jen? Sekalian aku pesenin makan yah,” tawar Irfan. Gelengan pelan dapat dilihat oleh Irfan, lagi dan lagi tawaran yang dia berikan selalu ditolak.
“Aku udah makan kok Kak, Kakak aja yang makan.”
“Oke.”
Melihat Irfan telah berjalan ke salah satu stand makanan, Jenni hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Dia lelah menjadi pusat perhatian orang-orang yang selalu menatapnya dengan sinis, bukan keinginannya untuk berada dan dekat dengan orang-orang penting di dalam dunia kampus, ini bukan salahnya karena Irfan sendiri yang menghampiri dirinya.
Dia juga merasa tidak enak jika harus membuat sosok pria penting itu terlalu dekat dengannya. Bukan tanpa alasan dia menjauhi Irfan, namun terkadang para penggemar pria itu lebih ganas dari ikan piranha yang keparan. Jenni hanya tidak ingin dikuliti hidup-hidup oleh fans fanatik yang sedikit gila.
“Lho aku gak minta Kak.” Jenni sedikit kaget melihat sodoran es teh ukuran jumbo yang berada di depannya, mendongakkan kepala guna melihat siapa yang telah melakukan ini. “Aku nggak min-”
“Diminum aja, aku udah terlanjur pesen dua.”
Jenni mengurungkan niat untuk membantah ucapan Irfan, jika dia menolak lagi maka akan terkesan sangat tidak menginginkan Irfan berada di dekatnya. “Makasih Kak.”
Perbincangan hangat terjadi diantara kedua cucu Adam itu, tentu bukan pembicaraan ringan sekedar hari ini mau kemana? Hari ini makan apa? Kamu tau nggak perbedaan antara kamu dan bulan?
Bukan, dua orang ini bukan tipe orang yang senang akan sebuah gombalan. Bukan selera mereka.
“Lalu kenapa proposalnya nggak segera dibuat? Dua bulan lagi kan acaranya?” tanya Irfan menanggapi ucapan Jenni.
“Ini udah bukan tanggungan aku Kak, udah ada divisi yang ngurusin ini semua.”
Irfan mengangguk mendengarkan Jenni, matanya melirik ke arah laptop ingin tahu apa yang sedang Jenni kerjakan. “Kerjain aja bagian kamu, kalau adik tingkat tanya dan minta bantuan baru kamu bantuin, lebih baik nggak usah nunggu mereka tanya dulu ke kamu, sekiranya ada yang kesusahan langsung bantuin aja.”
“Iya Kak aku usahain, aku juga selalu bilang gitu kok ke mereka. Aku tekanin nggak usah canggung kalau emang butuh bantuan, tapi ya namanya anak-anak sekalinya minta bantuan langsung setumpukan laundry.”
“Hahaha jangan dipaksain buat kelar hari ini Jen, masih ada hari yang lain. Kalau capek ya istirahat aja dulu, main kemana gitu biar pikiran kamu fresh,” Irfan memberikan usulan.
“Iya kapan-kapan aja deh Kak.”
“Refresh pikiran itu perlu Jen, jangan sampai kamu keterusan bisa gila. Nonton biskop juga bagus buat nge-refresh otak, kamu mau nonton?”
Irfan sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan Jenni, namun tidak masalah jika mencoba lagi. Pria itu kaget mendengar satu kata yang keluar dari bibir Jenni.
“Boleh,” ucap Jenni sekenanya.
“Kamu mau?” tanya Irfan sekali lagi untuk memastikan.
Jenni menghentikan kegiatan mengetiknya, mendongak dan menatap Irfan yang juga tengah menatapnya dengan pandangan sulit dijelaskan. “Nonton film kan Kak? Iya boleh, tinggal atur jadwal aja. Pastiin selonggarnya Kak Irfan aja, aku nanti ngabarin anak-anak kalau emang jadi.”
Sudah dilambungkan tinggi ke atas langit namun dijatuhkan dengan begitu saja, Irfan meluturkan senyumannya. Mana mungkin Jenni akan mau keluar bersamanya, hanya berdua. “Kamu emang nggak peka atau nggak ada rasa sih sama aku Jen?” tanya Irfan lirih dengan menundukkan kepala ke bawah.