Amarah

1068 Words
Seseorang yang bahagia akan dunianya mereupakan tipe orang sederhana yang tidak menuntut banyak hal di dunia, mengesampingnkan kebutuhan sekunder dan benar-benar mengutamakan kebutuhan primer. Banyak manusia di dunia ini yang hanya memetingkan gengsi daripada fungsi seharusnya, terlihat menonjol daripada yang lain dan haus akan pujian. Lalu pertanyaannya apakah ada orang seperti itu? Banyak, lebih banyak dari yang kau bayangkan. Ada juga orang yang benar-benar kaya namun menyembunyikan identitas sebenarnya dari publik, terlihat seperti orang biasa tapi tidak dengan isi saldo di dalam kartu debitnya yang telah membengkak. Seperti Jenni, perempuan muda itu terlihat mengeluh mengetahui belasan juta rupiah yang masuk ke dalam rekeningnya. Ini lebih dari cukup untuk sekelas anak kuliahan, belum lagi ditambah dengan uang saku dari sang ayah. “Uang sebanyak ini kalau aku beliin tahu bulat mungkin bisa buat mandi bola kayaknya, mandi tahu bulat gratis bagi ibu hamil yang sedang mengidam.” Jenni tersenyum bagaikan orang gila setelah mengatakan itu, perempuan yang duduk di depan gedung rektorat itu memdaang butuh liburan sejenak. Jenni yakin jika saat ini sarafnya sudah terkena sesuatu yang mengakibatkannya seolah-olah berhalu dan berakhir berbicara sendiri. Layaknya sinetron azab yang sering dia tonton di TV setiap akhir pekan, Jenni beramsumsi jika dia juga akan tertular. “Mahasiswi semester akhir ditemukan meninggal di depan gedung rektorat, diduga karena terlalu banyak berhalu,” ucap Jenni dengan tertawa di akhir kalimat. Pandangan Jenni beralih ke arah sekumpulan orang yang sepertinya tengah rapat, ah melihat itu membuatnya ingat masa lalu yang juga seperti itu. “Semangat banget dek, ingat jangan sampai kecapekan yah,” tambah Jenni sekali lagi. “Jenni?” “Eh iya? Lho Kak Irfan?” Ketua BEM tengah berada di sampingnya, lagi-lagi kesialan menimpa dirinya. “Kak Irfan ada di kampus? Akhir-akhir ini aku sering liat Kak Irfan di kampus deh, udah longgar ya Kak?” tanya Jenni dengan heran mengetahui sosok di sampingnya. “Aku juga kuliah kali Jen, masa rapat terus nggak habis-habis.” “Engga gitu maksud aku Kak, lagipula kan aku cuma tanya. Kak Irfan habis bimbingan yah?” Irfan mengangguk mendengar tebakan Jenni, pria itu duduk di sebelah Jenni namun memberikan jarak yang lumayan cukup jauh. Berbicara dengan perempuan yang hingga saat ini masih memikat hatinya, dengan cara apalagi dia harus menyakinka Jenni jika dia tulus kepadanya? “Kamu mau pulang kan, aku anterin yah.” “Eh eh nggak Kak, nggak usah repot-repot.” Jenni menggeleng dengan cepat menolak usulan Irfan, terkadang perhatian dari Irfan membuat dirinya kesal. Hei pria ini rabun atau buta? Tidakkah Irfan melihat tatapan para mahasiswi lain yang menatap ke arah mereka? “Aku udah ada jemput Kak, makasih.” “Siapa?” tanya Irfan. “Emh itu aku pesan ojek mobil,” ucap Jenni berusaha menyingkirkan pikiran buruk. Semoga saja Irfan percaya karena bertepatan dengan panggilan telepon dari sang suami. “Eh ini udah sampai Kak, aku duluan yah.” “Iya ta? Aku anter sampai depan deh, ayo Jen.” Jenni menggerutu di dalam hati, sudah pasti besok rumor tentang dirinya dan Irfan akan kembali tersebar. Membuat dirinya harus menutup telinga mendengar bisikan tidak pantas yang tertuju kepadanya. Belum lagi dengan sang suami yang akan melihat dirinya berjalan dengan pria lain, prianya itu pasti juga akan merajuk. “Mobilnya yang mana Jen?” Jenni mengedarkan pandangan, menunjuk sebuah mobil mewah yang berada di depan mereka. “Yang itu Kak.” “Orang kaya sekarang pada gabut yah, kalau gabut di rumah gedongan tinggal keluar aja jadi sopir mobil,” ucap Irfan melihat sebuah mobil apik yang terpakir di pinggir jalan. “Hahaha iya kali Kak, biasanya kayak gitu pasti koko-koko Surabaya yang gabut,” ucap Jenni menimpali ucapan Irfan. Kedua orang itu berjalan cepat, Irfan yang membuka pintu terlebih dahulu membuat Jenni kaget. Perempuan itu bertambah kaget saat Irfan berucap kata-kata fatal yang bisa saja membuat nyawanya melayang. “Sesuai titik antar ya Pak, tolong antar pasangan saya dengan hati-hati, tenang nanti dapet bintang lima kok, Pak.” Mampus. “Baik Mas sesuai permitaan customer,” ucap Doni dengan senyuman manis. Jenni yang masih tertegun mendengar ucapan Doni mulai tersadar saat Irfan mengajaknya bicara. Pria itu pamit kepadanya dan segera mundur beberapa langkah ke belakang, menunggu dirinya memasuki mobil. “Aku duluan ya Kak.” Jenni segera memasuki mobil, menutup pintu dengan hati-hati dan berusaha duduk dengan tenang. Suara pintu mobil yang terkunci membuatnya sedikit kaget, namun segera sadar jika ini salah. Untuk menyempurnakan penyamarannya tadi, Jenni harus duduk di kursi tengah, dan ini salah! “Mas a-aku-” “Tenang mbak sesuai titik antar kok.” “Mas kan tau aku ngelakuin ini semua buat apa,” ucap Jenni lirik menatap mata Doni lewat kaca spion kecil yang berada di tengah. Tidak mendapat respon dari sang suami membuatnya gelagapan, perempuan melihat ke arah samping dan menatap sekitar memastikan tidak ada orang. Di saat lampu merah, perempuan itu membuka kunci pintu depan dan samping, turun dari mobil dan berpindah posisi menjadi di depan. Beruntung Doni tidak mengunci pintunya dari dalam, jika itu terjadi maka dia seperti orang hilang yang menunggu jemputan pihak keluarga. “Aku minta maaf Mas.” Nihil. Doni tidak mengucapkan sepatah kata apapun hingga mereka berdua sampai ke apartemen. Jenni pikir ini semua akan berakhir jika sudah berada di atas kasur, namun sayangnya Doni belum merespon kehadirannya, atau memang suaminya ini benar-benar marah kepadanya? “Mas.” “Mas Doni udah tidur yah?” Jenni menelisik wajah Doni dari dekat, memastikan apakah pria ini benar-benar sudah tidur atau belum. Wajah tampan yang begitu menakutkan ini terkadang membuatnya tidak enak jika harus mengelus pahatan dari sang pencipta. “Huft…” Jenni menidurkan tubuhnya dengan kasar di samping ranjang, kembali menatap Doni yang senantiasa menutup matanya. “Maafin aku ya Mas.” Cup Kecupan singkat mendarat di kening Doni, Jenni tidak tahu jika tindakannya itu mampu membuat sang empu membuka mata. Membuatnya kaget, semakin kaget saat suaminya telah menindih tubuhnya dan dengan segera menyerbu bibirnya. Mengecap bibirnya dengan lembut namun menuntut, membuatnya sedikit kewalahan mengimbangi sang suami. Doni menarik bibir bawah Jenni dengan giginya sebagai penutup ciuman, meletakkan tangan Jenni ke bahunya seolah-olah memeluknya. Pria tampan itu menenggelamkan wajahnya di leher sang istri, mengecup leher itu singkat dan berucap dengan lirih. “Mas ingin menikahimu Jen.” Jenni yang masih mengatur napas harus dibuat berpikir karena ucapan Doni, ingin menikahimu? Jadi selama ini dia belum menikah dengan Doni? Jadi selama ini dia sudah berbuat zina dengan Doni?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD