Lamaran

1078 Words
Jadi selama ini dia sudah berbuat zina dengan Doni? Jadi selama ini dia sudah berbuat zina dengan Doni? Jadi selama ini dia sudah berbuat zina dengan Doni? Pertanyaan itu selalu terngiang di benak Jenni, perempuan yang masih mengatur napas dan memandang pria di atasnya dengan pandangan sulit ditebak. Apa maksud dari semua ini, dia telah di bohongi? “Mas selama ini bohong sama aku? Mas bohong tentang semua hal yang menyangkut kelegalan kita? Mas tega,” ucap Jenni dengan mendorong tubuh Doni di atasnya menjauh. Grep Doni mengimbangi dengan cepat pergerakan Jenni, setelah di dorong menjauh dari atas tubuh sang istri, pria itu merengkuh pinggang Jenni hingga berada di pelukannya. Menggesekan hidung bangirnya ke leher Jenni dengan seduktif. “Mas ingin menikahimu secara negara sayang, di mata agama kita sudah sah. Mas tidak menyangka pemikiran mahasiswi berprestasi dan sudah mengajukan judul skirpsi masih kolot seperti ini, bisa dibilang sedikit tidak pintar.” “Jangan berbohong seperti ini tuan, dan tolong lepaskan saya.” Jenni kembali memberontak, menggoyangkan tubuhnya berusaha melepaskan diri dari pelukan pria ini. “Jangan berusaha membuat Mas marah, Mas tahu jika kamu hanya bercanda.” “Ahh Mas ngapain,” Jenni semakin bergerak heboh, mendorong kepala Doni agar menjauh dari lehernya. Apa yang dilakukan pria ini hingga membuatnya mengeluarkan suara yang tidak pantas, ah menyebalkan. “Hmm,” Doni hanya menjawab dengan sebuah gumamam. “Mashh…” Ingin rasanya Jenni mengutuk bibirnya sendiri karena kembali mengeluarkan suara-suara aneh, maka dari itu kegiatan ini harus berhenti, dirinya terlalu polos jika harus menghadapi ini semua sekarang. “Berhenti Mas, aku mohon berhenti dulu,” ujarnya dengan menahan d**a Doni yang ada di depannya. Jenni harus menguras tenaganya hanya untuk membalikkan badan menghadap Doni, postur tubuh Doni yang dua kali lebih darinya itu yang membuatnya kesulitan. “Iya-iya aku salah, aku salah makanya aku minta maaf, Mas jangan kayak gini lagi.” Jenni dapat melihat pandangan aneh yang ditujukan kepadanya, seolah bertanya apa yang sedang kau bicarakan. “Ih Mas maaf, aku bercanda.” “Lucu?” Jenni diam. “Kamu pikir lucu hm?” tanya Doni sekali lagi. Jenni masih diam, entahlah saat berada di posisi ini membuatnya seolah tidak bisa bergerak apalagi mengatakan sesuatu. Tatapan Doni bagaikan tatapan seekor elang yang menemukan seekor anak ayam yang tersesat di dalam hutan, penuh dengan ketakutan. “Aku nggak bermaksud Mas, lagian Mas juga salah karena bilangnya ambigu banget, aku kan jadi salah tangkap gitu,” ucap Jenni dengan suara memelan di akhir kalimat. “Banyak aja alasannya.” Doni mengambil tangan kiri Jenni dan meluruskannya, menjadikan lengan kecil itu sebagai bantalan kepala. Menenggelamkan wajahnya pada leher wangi sang istri, menindih kaki Jenni dan tak lupa juga Doni melingkarkan lengannya pada pinggang Jenni. “Eh?” Jenni kaget bukan main, belum pernah dirinya sedekat ini dengan lawan jenisnya. Bahkan napas Doni dapat dia rasakan, ini terlalu dekat dan tidak baik untuk kesehatan jantungnya! “Ma-Mas bisa mun-munduran dikit ngga?” tanya Jenni dengan sopan agar tidak menyinggung perasaan suaminya. “Ngga.” “Dikit aja.” “Ngga bisa.” Arghh dasar pria menyebalkan! Jika ada keberanian lebih mungkin Jenni akan berteriak, namun sayang suaranya hanya tercekat di tenggorokan, ah siapa yang bisa memerintah pria diktator ini? Bahkan ibu mertuanya saja tidak sanggup, apalagi dirinya yang hanya seupik abu. Terdiam di posisi yang sangat rawan, Jenni hanya bisa mengatur jatungnya agar berdetak dengan normal. Dia sebenanrnya juga bingung akan dikemanakan tangan satunya yang menganggur ini? Mengusap punggung Doni? Dia tidak berani. Mengusap bahu Doni? Dia juga tidak berani. Mengusap kepala Doni? Dia semakin tidak berani. “Kapan kita akan menikah?” tanya Doni setelah terdiam cukup lama menikmati aroma sang istri. Dia dapat merasakan Jenni kaget, entah apa yang membuat Jenni kaget. “Emh kita nikah ya nunggu Abang nikah dulu, Mas.” “Lama.” “Haha ya mau gimana lagi, orang Abang juga belum ada calon,” ucap Jenni seadanya. Tanpa sadar Jenni mengusap kepala belakang sang suami dengan lembut, memberikan pijatan kecil di kepala pria tempramen ini. “Mas boleh tanya sesuatu?” “Silahkan.” Terlihat Doni menarik napas dalam, memundurkan wajahnya untuk menatap mata indah Jenni. “Sayang masih belum ada perasaan ke Mas?” Jenni ikut menundukan kepalanya, posisinya yang benar-benar dekat dengan Doni membuatnya kesulitan mengatur napas. “Maksud Mas gimana?” “Sayang malu karena udah nikah? Jenni mencerna pertanyaan Doni di dalam kepalanya, malu? Melipat kening mencoba berpikir keras dengan apa yang dipertanyakan hingga akhirnya perempuan itu menemukan jawabannya. “Mas mikirin temen-temen aku yah?” tanya Jenni balik. Keterdiaman Doni membuat Jenni yakin jika pertanyaanya tadi memang benar, Jenni mengusak rambut Doni dengan gemas. “Mas tahu buka jika aku penerima beasiswa, kalau semisal temen-temen tahu aku udah nikah dan masih pake uang beasiswa bakal di aduin ke kaprodi. Kan nanggung banget tinggal satu tahun juga kuliahnya.” “Uang dari Mas masih kurang?” sarkas Doni. “Cukup, lebih dari cukup. Perlu Mas tahu aku lolos beasiswa prestasi, bukan dari faktor ekonomi, jadi Mas jangan salah paham.” “Walaupun nanti dilaporin ke kaprodi bakal Mas ganti, apa susahnya sih?” tanya Doni dengan penasaran. Jenni menggeleng mendengar ucapan Doni. “Nggak semudah itu Mas, pasti banyak anak-anak yang bakal ngomongin kita di belakang, belum lagi dengan komenan netizen, belum dengan denda atas kepalsuan status dan lain-lain, ribet.” “Memang di dalam surat tadi udah ada kepastian jika dilarang menikah?” “Emhh bentar Mas agak ke bawah sedikit biar aku ngomongnya juga enak,” pinta Jenni yang bergerak sedikit ke atas, menyebabkan wajah Doni benar-benar pas berada di depan dadanya. “Emang nggak ada sih Mas, aku cuma antisipasi aja. Siapa tahu peraturannya juga sama kayak beasiswa bidik misi,” tambah Jenni. “Jadi kamu cuma sok tahu?” “Bukan sok tahu Mas, ansitipasi kan boleh.” “Dasar bocil.” “Dasar om pedo,” ucap Jenni membalas ucapan Doni. Doni yang mendengar ucapan sang istri hanya bisa tersenyum diam-diam, merengkuh pinggang Jenni dan memeluknya semakin erat. “Om mau ikan cupang, boleh yah?” “Hah?” Jenni melongo bagaikan orang bodoh, dia belum bisa memaknai kata Doni dengan cepang hingga akhirnya perempuan itu kembali mengeluarkan kata tidak senonoh saat bibir Doni menghisap kulit dadanya. “Ahh Mas….” Astagfirullah Jen kamu ini masih kecil dan polos, berhenti mengeluarkan kata-kata dewasa seperti tadi! “Akhh Mas udah, ikannya udah banyakhh…” “I wan’t to stop, om mau punya ikan yang banyak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD