“Jenni ya ampun, kamu kemana aja sih Jen?”
Sosok perempuan cantik terlihat begitu heboh menyambut kedatangan sang rekan seperjuangan, kemana saja perginya Jenni hingga membuat dunianya sepi? Jelas merupakan hal yang mencurigakan jika tiba-tiba sahabatnya menghilang, jika hilang ditelan bumi kesannya juga mengerikan. “Di desa kamu nggak ada sinyal ya beb?”
“Hah?”
Jenni kebingungan, dirinya yang memang dalam berpikir ini seakan belum paham apa yang ditanyakan oleh Rara. Belum sempat dia turun dari motor namun sudah diber pertanyaan bertubi-tubi. “Kamu bilang apa tadi Ra?”
“Ya Allah kon iku lo ko ndi, bek’e muleh neng omah.”
“HAH?” Jenni benar-benar kebingungan, tiga tahun berada di Surabaya tidak membuatnya bisa bahasa Jawa secara keseluruhan. “Aku nggak paham bahasa Jawa, Ra. Kamu ngomong apa sih?” tanya Jenni dengan kesal.
“Hahaha bercanda beb, aku tanya kamu dari mana aja kok nggak ada kabar selama dua hari ini.”
“Kangen yah?”
Rara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Jenni. Dia hanya kepo dan kesepian karena tidak ada orang yang mengajaknya ber-julid. Pantas saja dua hari ini dirinya merasa resah, tidak membicarakan orang lain dengan Jenni yang membuatnya resah. Memang kekurangannya adalah selalu menilai orang lain entah yang dia kenala ataupun tidak. Rok seseorang yang tidak disetrika saja dia beri komentar, memang sudah cocok untuk menjadi juri di salah satu ajang pencarian bakat.
“Aku nggak kemana-mana sih, Ibu lagi kesini aja makanya aku nemenin Ibu.”
“Yaopo seh kok gak bilang kalau Ibu kesini?” Rara kesal, sudah lama dirinya ini tidak bertemu dengan Ibu Sarah. “Kalau Ibu kesini kenapa kamu nggak bilang aku sih Jen?”
“Lho mau ketemu Ibu lagi? Aku kira kamu udah bosen, lagian bulan kemarin juga baru ketemu Ibu.”
“Lah bisa–bisanya bosen, terus kamu yang hampir ketemu sama Ibu aku emang gak bosen?”
Jenni hanya bisa cengengesan, perempuan itu mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V untuk meminta maaf. Jenni menjanjikan jika sang ibu ke Surabaya lagi maka dia akan memberitahu Rara, dia mengajak Rara untuk segera masuk ke dalam kelas karena kelas akan segera di mulai. “Udahlah sayang jangan kesel kayak gitu, nanti aku beliin es krim deh biar nggak kesel oke?”
“Tiga yah?”
“Dikasih limpa malah minta jantung,” ucap Jenni dengan kesal. Rara berhasil membalas dendamnya, dia akan merampok sang sahabat untuk menebus kesalahannya.
Keduanya berjalan beriringan memasuki kelas, duduk tenang mengikuti mata kuliah hari ini. Pendidikan Pancasila yang membuatnya mengantuk di kelas, ditambah dengan sang dosen yang tidak berhenti berbicara dari presentator menutup presentasinya hingga matkul 3 SKS dihabiskan sangat mepet bahkan terkadang melebihi batas waktu.
“Bapaknya ngomong terus masa nggak capek sih, apa aku cium aja ya biar diem?” tanya Rara dalam hati sembari melihat dosen yang begitu semangat memberikan penjelasan.
“Baik, sampai di sini ada yang mau ditanyakan? Atau malah tidak paham sama sekali?”
Rara menutup bibir menahan tawa, mungkin dia berada di opsi kedua yaitu yang tidak paham sama sekali. Berada di semester lima tidak menyenangkan seperti apa yang dia bayangkan, tugas yang begitu banyak dan belum selesai hingga belum H-1 deadline. Ibarat orang yang sedang berjalan, jalan saja rasanya sudah tidak kuat, Rara tidak yakin jika dirinya akan kuat menghadapi skripsi. Tidak seperti Jenni yang sepertinya sudah sangat siap meninggalkannya terlebih dahulu, lihatlah perempuan itu yang menanggapi pertanyaan dosen.
“Seperti yang Bapak sampaikan tadi bahwa setiap manusia wajib memiliki agama, lalu bagaimana dengan seseorang yang tidak menjalankan syariat agamanya. Apakah orang itu masih berhak mendapat hak-hak sesuai dengan nilai nilai pertama?” tanya Jenni menanggapi kesempatan yang diberikan sang dosen.
“Pertanyaan yang terlalu basic, ada pertanyaan lain?”
Jenni tersenyum mendengar balasan dari dosen laki-laki itu, dosen ini memang terkenal suka memancing emosi mahasiswa. Sudah terbukti dari survei yang dia lakukan kepada mahasiswa prodi lain, mahasiswa prodi lain pun juga mengakui jika dosen ini benar-benar menyebalkan entah dari segi waktu bercanda ataupun segi sombongnya. “Bapak nih sekalinya ngomong langsung maknyes gitu yah,” ucapnya pelan.
Pelajaran ditutup dengan alot karena dosen tadi beranggapan sendiri dan membantahnya sendiri, sangat tidak menyenangkan karena ini semakin membuat Rara mengantuk. Dosen itu akhirnya menyerah dengan sendirinya, menutup kelas dengan melebihi jadwal yang telah ditentukan.
“Gila Pak Sofyan tadi lama banget ya Allah, aku makin ngantuk di kelas. Habis ini kamu mau kemana Jen?”
“Pulanglah balik ke kosan, kan udah nggak ada matkul sayang.”
Rara membenarkan ucapan Jenni, hari ini memang hanya ada satu matkul. “Ah beb gue main ke kos lu yah,” pinta Rara dengan memelas.
“Mau main atau mau tidur nih.”
“Hahaha tidurlah, yakali aku main-main nggak jelas kayak anak kecil aja. Ya boleh ya Jen, aku suntuk banget di rumah, pengen buat candi deh lama-lama.”
Jenni hanya mengangguk mengiyakan permintaan Rara, perempuan itu menyerahkan kunci kos miliknya kepada Rara. “Jadi mahasiswa kok mahasiswa kutu, nih kuncinya kamu aja yang bawa. Aku mau beli minuman sama cimol di gang dosen, mau nitip apa?”
“Kutu? Heh ngawur kamu Jen, aku nggak punya kutu yah!”
“Mahasiswa kutu, kuliah turu, kuliah turu.”
Jenni segera melarikan diri dari amukan Rara, dia mengenakan helm dengan cepat dan segera meninggalkan area parkiran. Apa yang harus dia beli untuk siang ini? Sempolan, es cendol, pentol goreng, crepees, risol mayo, ayam geprek madu dua dan sebungkus tahu bulat seperti sudah cukup untuk dirinya dan juga Rara.
Perjalanannya untuk menghabiskan uang jajan telah selesai, memarkirkan motor dengan asal-asalan dan segera masuk ke dalam kamar kosnya. Jenni dapat melihat bahwa sang pengunjung kos lebih seperti ke arah sang penghuni asli kos. Rara sudah benar-benar mengusai kamarnya, bahkan spion mobil perempuan ini belum menutup, Jenni yakin pasti Rara tadi tengah berlari menuju kamarnya untuk buang air kecil.
“Beb lu tau gak sih anak ilkom kating kita dia gebetannya si ketua BEM anjir, gila selera ketua BEM sekelas kupu-kupu malam,” ucap Rara memulai pergibahan dengan mencomot satu buah sempolan yang dibawa Jenni.
“Yaudah biarin aja, siapa tahu langgeng.”
“Iyuhh aku sih enggak yah.”
Jenni tersenyum melihat ekspresi jijik dari Rara. “Udahlah Ra, gak papa- bentar ada telpon,” Jenni menggantungkan kalimat dan segera menerima telpon dari seseorang. Perempuan itu tersadar dan menyalahkan dirinya sendiri karena melupakan hal yang sangat fatal ini.
“Sayang kamu di mana, katanya hari ini cuma ada satu matkul tapi kok belum pulang?”
“Sebentar yah, Mas.”
Jenni mematikan telpon dengan segera, mengirim pesan kepada sang suami jika saat ini dia tengah bersama dengan Rara di kosannya. Melihat tidak ada balasan dari Doni semakin membuatnya ketar-ketir, dia memilih lebih baik tidak usah dibaca daripada hanya dibaca namun tidak dibalas itu sangat menyakitkan. Satu menit, dua menit, hingga lima menit tidak ada balasan membuat dia memutuskan untuk memulangkan Jenni.
“Lho heh yaopo seh?” tanya Rara bingung saat Jenni mendorong tubuhnya keluar dari kamar kos.
“Aku jelasin besok Ra, aku janji besok aku jelasin semuanya. Maaf ya beb, im sorry for this.”