Dunia pernikahan memang menyenangkan bagi mereka yang ikhlas dan senang ketika menjalaninya, dengan suasana hati yang happy dan tidak ada beban pikiran terkadang membuat kita lupa akan hutang yang ada. Terbangun di dekapan sang suami tadi pagi membuat pipinya merona, walaupun bukan kali pertama dalam berpelukan namun kejadian malam sebelum tidurlah yang membuatnya tersipu malu.
Jenni tidak menyangka bahwa kemarin malam sang suami akan menciumnya, menyalurkan rasa sayangnya dengan lembut namun menuntut. Ah sudahlah jangan membahas ini, harga dirinya harus dia bangun dengan baik agar tidak terkesan memalukan di hadapan sang suami.
Seperti sekarang, perempuan itu bersikap biasa saja dengan tenang menjemput sang Ibu, Bapak beserta kakaknya di depan lobi hotel. Sang ibu meminta untuk bertemu di hotel karena ayah dan kakaknya akan istirahat setelah menempus perjalanan jauh. Sudah dipastikan jika hanya sang ibu yang akan menemaninya untuk mencari hunian baru, ia berharap tidak akan lama karena dia juga harus menyelesaikan misinya untuk lulus tujuh semester.
“Menantu Ibu emang paling ganteng.”
Pria manis yang dipuji oleh Sarah itu tersenyum, menyalami sang ibu mertua beserta ayah mertua dan kakak iparnya secara bergantian. Berbincang sejenak karena Sarah segera mengajaknya beserta Jenni untuk survei tempat tinggal.
“Bapak minta maaf nggak bisa nemenin kalian, sama Ibu aja bisa kan?” tanya pria paruh baya yang diketahui sebagai ayah dari Jenni. Subagyo namanya, pria dengan kacamata tebal yang menggantung di leher sebagai ciri-ciri untuk mengenalinya. Pria yang dirumorkan memiliki kekayaan cukup besar hingga beberapa mall besar yang berada di Jawa Timur adalah atas namanya.
“Bapak dan Abang memang sudah seharusnya istirahat dulu, seharusnya Doni yang meminta maaf karena tidak bisa menyambut Bapak dan Abang dengan pantas, maafkan Doni,” ucap Doni dengan posisi badan menunduk.
“Santai aja Don, kayak sama siapa aja.”
Doni tersenyum mendengar ucapan sang kakak ipar, walaupun umu mereka hampir sama dan terpaut jarak hanya dua bulan, Doni tetap memanggil sang kakak ipar dengan embel-embel abang untuk menghormati. Pemuda itu tersenyum mengantar kepergian sang ayah dan kakak ipar yang memasuki hotel.
“Ayo berangkat Nak.”
Jenni mengangguk mendengar ajakan sang ibunda, duduk di depan dan melihat peta berdasakan tempat yang akan mereka tuju. Ini sudah pilihan ke sekian dari yang terbaik, dekat dengan proyek suaminya dan kampus miliknya. Dia sudah mengatur dan menghitung jarak jika apartemen mereka harus berada di tengah-tengah agar tidak ada yang berat sebelah.
“Yang penting nyaman buat kalian aja Nak, masalah harga urusan belakangan. Ibu rasa ini bagus, fasilitasnya juga lengkap. Jika memang kurang besar untuk kalian berdua, kita cari tipe yang lebih besar.”
Doni tampak menimang-nimang, yang dikatakan sang ibu mertua memang benar. Gedung ini sudah pas berada di tengah-tengah antara dirinya dan Jenni. Untuk masalah kamar memang sepertinya kurang luas karena dia membutuhkan ruang untuk meletakkan berbagai berkasnya, belum lagi dengan makalah-makalah sang istri yang juga akan menumpuk.
“Saya keep kamar yang seperti ini Mas, tapi dengan ukuran yang lebih luas,” ucap Doni kepada manager yang ada di sana.
Manajer tadi mengajak ketiganya untuk naik ke lantai yang lebih tinggi, menelisik kamar-kamar yang dijadikan Doni dan Jenni sebagai tempat tinggal. Setelah melihat dan menentukan yang mana, Doni segera membayar uang atas apartemen tersebut. Transaksi itu terjadi dengan cepat karena sang pria muda langsung membayarnya dengan kartu debit, menerima surat kepemilikan dan beberapa berkas pendukung lainnya. “Bisa ditempatin mulai kapan Mas?”
“Paling cepat seminggu dari sekarang Tuan.”
“Ck,” Doni berdecak cukup kuat, Jenni yang berada di sampingnya hingga kaget. Perempuan itu menatap kaget sang suami, beruntung ibunya sedang melihat-lihat kamar mandi.
“Saya tambah seratus, besok saya pindahan.”
Jenni menggeleng dengan cepat, dia tahu benar seratus apa yang dimaksud oleh suaminya. Jelas bukan seratus perak ataupun seratus ribu rupiah, seratus yang dimaksud oleh suaminya adalah seratus juta. Sangat disayangkan uang seratus juta melayang hanya untuk tidur lebih di tempat ini, Jenni berani membayar tiga ratus ribu rupiah permalam untuk di hotel daripada seratus juta harus melayang.
“Nggak Mas tidak perlu repot-repot, kami akan menunggu seminggu hingga surat-suratnya telah selesai. Jika lebih dari seminggu maka kami berhak mendapat konpensasi atas peranjian ini.”
“Iya Nyonya, pihak kami selalu menepati janji.”
Menyelesaikan transaksi jual beli dengan cepat, ketiga orang berbaur uang tersebut memutuskan untuk berbelanja di salah satu mall terbesar di Indonesia. Berkeliling dan membeli perlengkapan rumah beserta perabot yang dibutuhkan. Bukan hal luar biasa bagi Sarah untuk membeli barang-barang mahal seperti ini, hal ini jelas baru bagi Jenni yang lebih suka berbelanja di pasar minggu.
“Kamu butuh vacoom cleaner sayang, jangan lupa dengan alat pembersih kamar mandi, semua bahan keperluan makan kita beli saja di supermarket. Dan piyama? Adek udah beli piyama?” tanya Sarah memastikan.
“Adek udah punya banyak piyama, Ibu.”
Sarah menggeleng. “Piyama couple Dek, kamu couple-an sama Mas.”
“Kayak anak kecil aja sih, Ibu. Engga ah nggak usah, beli bahan makanan aja dulu.” Jenni menolak usulan sang ibu untuk membeli piyama, namun tolakan tinggalah tolakan karena nyatanya dia tetap berbelok ke arah pakaian.
Kedua tangan mereka penuh dengan barang-barang, bahkan Doni hampir tidak bisa melihat jalanan di depannya karena tertutup oleh box besar.
“Beli sedikit aja dulu, nanti kalau mau habis bulan depan belanja lagi ya Nak. Kalian habis ini langsung makan, Ibu mau ngantar makanan ini ke Bapak sama Abang. Mau tidur siang juga nggak papa kok, kita nggak ada jadwal hari ini. Selamat istirahat semuanya,” Sarah menutup pintu dengan pelan dan meninggalkan Jenni dan juga Doni yang nampaknya sangat kelelahan.
Sepasang suami istri itu langsung merebahkan tubuhnya ke ranjang begitu sang ibu telah menutup pintu, saling meregangkan tubuhnya untuk mengurangi rasa lelah yang menjalar. Doni tersenyum melihat Jenni yang menutup mata dan sedikit mengomel tidak jelas, pria itu beranjak dan menuju meja dimana kaos yang baru dia beli ada di sana. “Baju Mas di tas yang sebelah mana sayang?”
“Hm?”
Jenni mendudukan tubuhnya, perempuan itu menunjuk kantong tas nomer dua. Doni menurut, pria itu mengambil salah satu baju dan memperlihatkannya kepada Jenni. “Sayang ini apa?” tanya Doni tidak paham.
Jenni mengikuti benda yang ditunjuk suaminya, perempuan itu membolakan matanya hingga rasanya seperti akan lepas. Pria ini benar-benar tidak tahu atau hanya pura-pura polos?
“Oh itu lingerie, Mas.”