Ambigu

1082 Words
Sebenarnya apa yang dia pikirkan, apakah mengusir sang sahabat dengan terpaksa tadi merupakan sebuah dosa? Lalu bagaimana dengan membuat sang suami menunggu cukup lama, ah tidak ini sudah terlalu lama untuk pria itu. Beruntung sebagian jajan yang baru dia beli tadi dibawa, setidaknya masih ada alasan sebagai alibi jika ditanya oleh Doni. “Ibu, Bapak sama Abang udah pulang semua kan ya? Loh berarti Mas sendiria di hotel dong? Mas udah makan belum yah?” Jenni berpikir sejenak, masa sih di kota sebesar ini Doni tidak memesan makanan melalui aplikasi online? Bagaimana jika dia tidak memiliki uang? Jelas tidak mungkin, uang pria itu begitu banyak lebih dari yang dia bayangkan. Pertama dari gaji suaminya sendiri, kedua dari saham-saham suaminya yang tersebar di beberapa perusahaan ternama, ketiga dari jatah sang mertua. Jenni juga bingung, Doni yang sudah berumur 25 tahun masih diberi uang jajan yang nilainya sangat besar. Jika uang jajannya dulu hanya lima ribu rupiah, maka uang jajan Doni mungkin sudah lima puluh ribu rupiah. “Mas?” Jenni membuka pintu hotel secara perlahan, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar hotel mencari keberadaan sang suami, mengelus d**a dengan pelan mengetahui ada seseroang yang menatapnya sedari tadi dari arah samping. “Aku tadi beli jajan banyak Mas, Mas sini deh ikut cobain.” Doni hanya melirik, melanjutkan pekerjaannya membuat grafik di laptopnya yang mahal. Jenni memainkan lidahnya di mulut merasa bingung, mungkin sebaiknya dia mandi untuk memulai topik baru dengan Doni. “Yaudah aku mandi dulu ya Mas, nanti makan bareng-bareng yah,” ucap Jenni dan berlalu memasuki kamar mandi. “Perasaan ada yang kurang deh, apa ya?” Jenni bertanya-tanya di bawah guyuran shower tentang kebiasaan apa yang harus dia lakukan setelah bertemu dengan suaminya. Perempuan itu menepuk dahinya keras melupakan tindakan wajib yang belum dia lakukan. “Ah iya salim, aku belum salim!” Jenni bergegas menyelesaikan ritual mandinya dan langsung mengenakan baju di dalam kamar mandi. Celana pendek sepaha dengan baju longgar hingga menutupi celananya merupakan outfit favoritnya, entah kenapa dia sangat menyukainya. “Mas lagi sibuk yah, aku mau salim sebentar.” Jari jemari panjang itu berhenti menari di atas keyboard, mendongak guna menatap sosok sang istri yang seperti tidak berani untuk mengajaknya berbicara. “Mau apa?” tanyanya. “Mau salim.” Doni menyodorkan tangan kanannya, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda dan mengabaikan Jenni. Tindakan kecil itu tak luput dari pandangan Jenni, ini sudah sore dan dia yakin jika pria tampan ini belum makan sejak tadi siang. Dilihat dari pandangannya sekarang, pasti Doni juga malas untuk keluar sekedar mencari makan. Apa sebaiknya dia memesan makanan saja? “Ah pesen aja deh, Mas palingan juga gak mau keluar.” Tanpa bertanya kepada Doni, Jenni segera memesan beberapa makanan. Memakan jajanan yang dia bawa tadi dengan semangat, setidaknya dia sudah menawarkan kepada Doni tentang makanan ini, perkara pria itu mau atau tidak maka bukan urusannya. Setengah jam berlalu, makanan yang telah dia pesan pun sudah sampai. “Mas ayo makan dulu, aku di sini belum bisa masak. Mas dari siang belum makan kan? Ayo makan dulu lagian juga udah malam Mas.” “Iya sayang duluan aja.” Aman, pria ini masih memanggilnya dengan sebutan sayang. Bisa dipastikan jika sang suami tidak marah dengannya, mungkin hanya sibuk dengan pekerjaan. “Mas belum selesai? Nggak papa deh aku tungguin aja.” “Oke, sebentar lagi.” “Jangan lama-lama ya Mas, makanannya kalau dingin nggak enak,” peringat Jenni kepada Doni. Perempuan itu memutuskan berbaring di ranjang dengan posisi terlentang, tengkurap dan bahkan terlalu bosan menunggu Doni menyelesaikan pekerjaannya, Jenni memutuskan untuk membuka jendela mengeluarkan kepalanya keluar, menyandarkan kepala pada pinggiran kaca dan menatap indahnya kota Surabaya dari lantai sebelas. Jenni bersemangat saat Doni memanggilnya untuk makan, dia dengan segera mengambil botol berisikan air dan mencuci tangannya di atas kantong kresek yang telah di persiapakan. Doni yang melihat pemandangan baru itu hanya bisa diam, kegiatan apa ini? “Ini Mas, cuci tangan dulu di sini kalau Mas males ke kamar mandi.” “Mas nggak bisa makan pakai tangan.” “Lho?” Jenni tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, perempuan itu memesan nasi padang namun lupa memasukan intruksi tambahan untuk memasukan sebuah sendok. “Terus gimana?” Bodohnya dia, seharusnya kau menawarkan bantuan justru bertanya. “Mas coba dulu aja.” Jenni mengiyakan ucapan Doni, memakan makanannya dengan cepat namun tidak tergesa-gesa. Dia harus bersiap jika suaminya itu tidak mampu untuk menyelesaikan acara makannya, dan dugaannya seratus persen benar saat melihat hanya beberapa butir nasi yang tersisa di tangan Doni setiap pria itu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Aku suapin mau nggak Mas, daripada Mas campur terus nasinya tapi nggak di makan malah bikin ngga nafsu,” tawar Jenni setelah mencuci tangannya. Melihat anggukan dari Doni membuatnya segera mengambil tempat di sebelah kanan pria itu, menyuapkan nasi dengan porsi normal ke arah sang suami dengan telaten. “Enak?” Doni mengangguk menaggapi ucapan sang istri, mengunyah makanannya dengan tenang layaknya seorang anak yang disuapi oleh ibunya. Dia memiliki tangan, namun rasanya tidak berguna karena tidak terpakai dengan segunanya. “Ini rendangnya di habisin Mas, minum dulu gih.” “Nanti aku bikinin rendang buat Mas kalau udah di apartemen, nanti dinilai berapa itu yah dari satu sampai sepuluh.” “Boleh, sehari setelah kita pindahan langsung masak rendang bisa?” tanya Doni. “Bisa kok, nanti aku bikinin rendang paling enak buat Mas.” Jenni mengetahui jika Doni sangat menyukai rendang dari sang ibu mertua, membuatnya mau tidak mau harus belajar bagaimana cara membuat rendang yang empuk dan enak. “Udah habis yah?” “Lho Mas belum kenyang?” Jenni sebenarnya sudah mengira jika porsi makan sang suami masih kurang, namun dia membeli berbagai macam jajanan yang seharusnya bisa mengganjal rasa lapar di tenga malam. “Aku pesenin lagi yah Mas, biar Mas nggak kelap- paran,” ucapnya dengan terbata-bata. Jenni shock berat. Tubuhnya terasa kaku merasakan jari-jari hangatnya masuk ke dalam mulut sang suami, menjilati sisa-sisa bumbu yang tertinggal dengan sangat mendalami peran. Apa yang dilakukan pria ini? “Yaudah nggak papa, Mas udah kenyang,” ucap Doni sembari menjilati jari sang istri. “Jorok Mas, apasih kayak gini,” Jenni dengan segera menarik tangannya menjauh dari jangkauan pria kanibal di depannya ini, apa yang dilakukan Doni benar-benar tidak pernah terpikirkan dalam kepala cantiknya. “Enak, apapun yang ada di tubuh kamu itu enak sayang.” Doni berucap dengan mengecup telapak tangan kiri Jenni, meninggalkan sang istri dengan seribu pertanyaan yang berenang di dalam kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD