“Udah malem, ayo sini tidur.”
Bukannya tidak ingin berdekatan dengan suaminya, perempuan muda yang terkenal cakap dalam berbicara itu hanya ingin menyelamatkan dirinya dari maut. Firasatnya sejak pulang dari makan di street food tadi benar-benar nyata, suhu di sekitarnya berubah tidak mengikuti suhu asli kota Surabaya yang diramalkan wikipedia. Bahkan dinginnya AC di kamar hotel ini kalah dengan tatapan dingin Doni yang tertuju kepadanya.
“Ayo tidur, kamu nunggu apa?” tanya Doni melihat Jenni yang mengacuhkannya.
“Mas tidur aja dulu, aku mau nulis referensi judulku.”
Posisi tubuhnya yang tadinya terlentang dia rubah, miring ke kiri dengan tangan menopang kepalanya dan menatap istri cantiknya. “Cepetan nulisnya, Mas tungguin.”
“Enggak nggak usah, Mas tidur aja,” ucap Jenni mendengar perkataan Doni, perempuan itu bersikap normal walaupun dirinya sangat-sangat gugup di tatap dengan tatapan seperti itu. Dia tahu sebenarnya bahwa sang pria jealous mendengar ucapan aneh Rian tadi, tapi mungkinkah Doni merasa cemburu terhadap anak ingusan?
Doni sendiri tidak bergeming, pemuda dengan hidung mancung dan bibir tipis itu senantiasa menatap Jenni dengan posisi seperti itu. Mengamati wajah ayu milik Jenni dan sesekali melirik ke arah jari-jari lentik yang mengetik begitu cepat di keyboard laptop. Tidak mengalihkan pandngan sama sekali hingga perempuan itu benar-benar tidur di sebelahnya, menarik selimut hingga sebatas pundak.
Pria itu mengangkat sebelah tangannya guna memeluk Jenni, niat itu dia urungkan saat melihat Jenni bergerak memunggungi tubuhnya. Doni mengangkat sebelah alisnya dengan wajah seolah berkata, yang benar?
“Mas beberapa minggu kemarin mengikuti kajian di salah satu masjid yang ada di daerah Bekasi, Mas dengar jika seorang istri memberikan punggung kepada suaminya itu merupakan sebuah perbuatan dosa,” Doni berucap dengan pelan, pria itu mendekat dan berbisik di sebelah telinga Jenni, “jadi apakah perlu Mas membalikkan tubuhmu secara kasar agar kamu terhindar dari dosa ini?” tambahnya.
Doni segera memundurkan tubuhnya melihat Jenni yang sudah terlentang, pria itu menghela napas menatap langit-langit kamar.
“Melihat sikapmu yang seolah tidak mau disentuh oleh Mas membuat Mas mengurungkan niat untuk memelukmu Jen, Mas tidak tahu apa kesalahan Mas. Tetapi yang jelas Mas tahu bahwa memalsukan identitas sebenarnya kepada orang lain merupakan sebuah kejahatan, kamu sudah mahasiswa yang seharusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah.”
Jenni menggigit bibir bawahnya dalam, perempuan itu tertampar dengan kata-kata Doni. “Perlu Mas tahu bahwa aku tidak memalsukan identitas, teman-teman tidak tahu bahwa aku sudah menikah karena tidak ada yang bertanya tentang hal itu.”
“Dan melamar orang lain untuk melamarmu?” sarkas Doni.
“Tidak ada yang melamarku Mas, mereka hanya ingin menjadikanku sebagai pacarnya.”
“Apakah kamu memberi alasan jika kamu sudah menikah untuk menolak para pria itu? Tidak kan?”
Doni berdecih melihat Jenni yang hanya diam, benar bukan dugaanya bahwa perempuan ini malu jika menikah dengannya. Memang pernikahan ini sejak awal sudah salah, walaupun dia menaruh hati kepada Jenni namun jika tidak ada balasan rasanya tetap sama-sama sakit.
“Enggak gitu Mas, ak-aku-”
“Sudahlah Jen jangan membuat alasan lain, Mas tidak mau membahas ini. Kalau emang kamu nggak mau nemenin Mas selama di Surabaya, its okay nggak papa. Mas bisa hidup sendiri di sini, Mas akan cari alasan terbaik agar kamu tidak akan dimarahi Ibu.”
Ini sudah salah, pembicaraan ini sudah keluar jauh dari topik yang mereka bahas. Jenni dengan cepat mendudukan tubuhnya, menyilakan kedua kakinya dan menatap Doni yang menutup matanya dengan sebelah lengan.
“Aku mau ngomong serius Mas, aku minta Mas duduk dulu.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, ini sudah larut malam sebaiknya kamu cepat tidur,” ucap Doni singkat menolak ajakan Jenni.
Jenni tidak patah semangat, perempuan itu membujuk Doni dengan lembut. “Mas, aku mohon sebentar aja.”
Doni menuruti ucapan Jenni, pria itu duduk berhadapan dengan sang istri dan dengan posisi yang sama. Keduanya berada di tengah-tengah ranjang dengan pandangan saling menatap, tatapan yang sulit dijelaskan dan juga dipahami.
“Aku memang egois Mas tidak mengatakan sebenarnya kepada orang-orang, mungkin Mas berpikir jika aku mempermainkan perasaan Mas, mungkin Mas berpikir bahwa aku tidak suka berada di hubungan ini dan berniat untuk membuat semuanya berakhir. Enggak, nggak pernah terbesit sedikitpun buat ninggalin Mas dan bikin keluarga kecewa,” Jenni mengeluarkan nafas dengan tenang, “ini semua terlalu mendadak Mas, aku butuh waktu buat ngertiin temen-temen.”
“Kamu cuma ngertiin perasaan temen-temen kamu Jen, kamu nggak ngertiin perasaan Mas.”
“No….” ucap Jenni dengan menggelengkan kepalanya cepat. Perempuan itu memberikan diri dengan memeganng tangan besar suaminya, mengusapnya pelan memberi keyakinan. “Jangan pernah menilai seseorang dari orang lain Mas.”
“Apalagi yang mau kamu sangkal hah? Apalagi?”
Brukk
Jenni menutup mata saat Doni berteriak tepat di atasnya, pria ini benar-benar dikuasi oleh emosi yang sedari tadi dia tahan. Menahannya dengan siku agar tidak menindih Jenni, Doni mengguncangkan bahu istrinya dengan keras meminta satu hal yang membuatnya bisa mempertahankan hubungan semu ini.
“Apa yang mau kamu buktiin sama Mas, Mas yang egois Jen. Mas egois membuatmu berada di hubungan yang tidak kamu inginkan ini, maafkan Mas.”
Doni berbicara dengan lirih, pria itu merebahkan tubuh di atas sang istri. Menenggelamkan wajah di leher jenjang Jenni dengan keadaan yang sulit dijelaskan, mencengkram bantal dengan kuat melampiaskan amarahnya. Dia tidak akan menyakiti perempuan baik hati seperti Jenni, perempuan ini terlalu baik untuknya.
Merasakan napas yang tidak teratur di lehernya membuat Jenni takut, perempuan itu berkaca-kaca menahan tangis. Dia baru mengetahui amarah sang suami sejak satu setengah tahun menikah dengannya, memang aneh karena sudah menikah lama tapi jarang bertemu. Jenni tidak tahu jika Doni memiliki sumbu yang sangat rendah, ini menyeramkan. Perempuan itu mengatur napas dan memberanikan diri mengusap kepala belakang suaminya, mengucapkan hal yang membuat Doni merasa sedikit tenang.
“Aku sayang Mas lebih dari yang Mas tahu, aku dan Mas yang menjalani hubungan ini, maka hanya aku dan Mas yang mengatur semuanya. Terima masukan orang lain itu baik, tapi jangan biarkan orang itu mengendalikan kita. Pelanin nafasnya sayang, aku tidak akan meninggalkan Mas dalam keadaan apapun. ”
“You sure?” tanya sang suami yang suaranya teredam dalam lehernya.
Jenni menganggukkan kepalanya.“Ya im sure.”
Doni mengangkat wajah, memberikan seluruh beban tubuhnya kepada Jenni. Kebaikan apa yang dia perbuat dulu hingga orangtuanya mendapat perempuan baik hati seperti Jenni? Perempuan di lingkungannya tidak ada yang seperti Jenni, entah dari sifat maupun penampilan mereka. Mungkin hal ini yang membuatnya beruntung mendapatkan Jenni, jelas dia tidak akan membiarkan Jenni lepas darinya. Menatap wajah ayu sang istri cukup lama membuatnya terlena, pria itu menatap intens mata Jenni, tatapannya berganti ke arah bibir mungil yang sudah lama dia incar sejak menikahi perempuan ini.
“Mungkin ini sudah waktunya,” ucap Jenni dalam hati melihat sang suami yang hanya fokus kepada bibirnya.
Cup
Doni mengecup bibir istrinya, mengecupnya dengan pelan dan penuh perasaan. Kecupan-kecupan itu berubah menjadi lumatan seiring berjalannya waktu, membuat Jenni kehabisan napas tidak sangggup mengimbangi sang suami. Walaupun dia sering melihat adegan kiss scene di drama korea, namun jika mempraktekannya sangat sulit.
“Minta lidahnya sayang.”