“Astagfirullah Mama udah di Surabaya?”
“Iya sayang, maafin Mama yah kalau ngabarin kamu mendadak banget kayak gini.”
“Enggak Mas, enggak kok. Oke Mama tunggu dulu sebentar di sana yah, Jenni dua puluh menit lagi sampai kalau nggak macet, Ma.”
Perempuan muda itu dibuat pusing dengan tingkah ibu dan anak yang sama-sama membuatnya kaget. Sama-sama tidak memberi kabar terlebih dahulu jika akan mendarat di Surabaya, bagaimana jika dia ada bimbingan dan keperluan yang lain? Ah ini sungguh menyebalkan dan tidak mengenakan.
“Ini ibu dan anak sama-sama mengagetkan, aduh Mama kok nggak bilang sih kalau mau ke Surabaya. Mana di apartemen nggak ada makanan jadi, arghhh di cap mantu modal rebahan aja nih nanti,” gerutu Jenni sambil menuruni anak tangga.
Berada di lantai enam membuatnya lupa akan rasa nyeri yang akan melanda di kemudian hari, walaupun ada lift namun hanya dua dan itupun mengantri, semakin membuatnya membuang-buang waktu.
“Arghh lama-lama aku renovasi nih gedung biar ada empat lift di setiap lantainya,” ucapnya kembali.
Jenni memesan taksi online dan memilih meninggalkan motor miliknya di kampus, tidak mungkin menjemput sang mertua menggunakan motor butut. Jiwa sosialita sang mamah akan menertawakannya dan menyepelekannya, mengingat sang mama mertua memiliki circle yang bisa dibilang sangat sangar hingga tidak ada yang berani menyenggol.
Maklum istri milyader.
“Eh Jen kamu mau kemana? Ada urusan ta?” tanya seseorang yang menganggu acaranya berjalan. Mau tidak mau harus membuatnya berhenti dan menyapa orang itu dengan baik hati.
“”Eh iya Rian, duluan yah.”
“Urusannya penting banget ta Jen? Anak-anak ada acara makan di café depan kodam, masa nggak mau kumpul-kumpul sih? Ada Mas Tarigan juga nanti,” ucap Rian membujuk Jenni.
Jenni melipat kening mendengar kalimat akhir dari Rian, memang apa urusannya dengan tuan Tarigan?
“Lah Mas Irfan di sana urusannya sama aku apa coba, aku nggak ada kepentingan sama Mas Irfan. Kapan-kapan deh nanti makan bareng lagi, hari ini aku ijin yah. Maaf ya Rian, aku duluan assamualaikum.”
Jenni mengucapkan salam dibarengi dengan dia memasuki taksi onlinenya, perempuan itu bernafas lega setelah lolos dari bujuk rayu Rian yang mematikan. Tidak peduli jika ada seseorang yang kecewa atas penolakannya itu.
“Bapak agak cepetan yah, kasian kalau bikin orang nunggu.”
“Iya sabar mbak, semua hal yang ada di dunia ini membutuhkan proses. Nggak ada tiba-tiba langsung kaya tanpa perjuangan, kecuali yang kaya dari lahir. Kita nggak mbak seberapa kita hidup, maka dari itu semua hal yang sudah dilakukan harus dinikmati, nikmati prosesnya,” ucap sopir itu panjang lebar.
Bibir bergetar menahan tawa dengan tangan memegang perut dengan kuat yang hanya bisa dilakukan Jenni, memang manusia di dunia ini diciptakan dengan karakter yang berbeda-beda. Kegelisahan terhadap sang mama sedikit reda karena bapak sopir ini, ah ada-ada saja. “Di suruh nyetir cepet-cepet malah ceramah dulu hikss….”
***
Seseorang memasuki kamar apartemen dengan perlahan, menatap segala isi yang ada dengan bibir sedikit terbuka. Kasur yang rapi, penerangan yang cukup, buku dan berkas yang tersusun rapi, dan dapur yang bersih. Bola matanya bergerak menatap satu pintu yang dia yakini sebagai kamar mandi, membuatnya bergerak untuk melihat isinya.
Kamar mandi juga bersih dan wangi.
“Mas Doni masih kerja sayang?”
“Iya Mah, tapi sebentar lagi dateng kok, udah aku kabarin tadi.”
Perempuan paruh baya itu terlihat mendesah dengan kesal. “Buat apa ngabarin Mas Doni, Mamah cuma mau kunjungan loh padahal.”
“Nggak papa Mah, Mas Doni hari ini pulang sore kok.”
“Kok kamu tahu?” tanya perempuan itu terhadap Jenni. Jenni terlihat bingung namun menjawab pertanyaan sang mamah mertua. “Ya Jenni ngafalin jadwalnya Mas Doni, Mah,” ucap Jenni sejujurnya.
“Haha kamu lucu sayang.”
Jenni menggaruk tengkuknya dengan canggung, apa yang sedang dicari-cari oleh mamah Dina terhadap ruangan ini?
“Duduk dulu Mah, aku bikinin teh yah.”
“Nggak usah ngerepotin diri kamu sendiri Jen, Mamah mau ngobrol sama kamu nih.”
“Mamah pasti capek, nggak lama kok bikinnya,” ucap Jenni memaksa.
Bertepatan dengan Jenni membalikan badan menuju pantry, suara pintu terbuka membuatnya berbalik ke arah pintu dan segera menyalami sang suami. “Mas mau teh atau kopi?” tanya Jenni dengan suara berbisik.
“Kopi aja sayang.”
Doni yang baru datang itu menghela napas mengetahui sosok perempuan hebat yang sudah duduk di dalam apartemennya ini. “Mamah kok nggak bilang kalau mau kesini, Doni kan bisa jemput Mamah.”
“Halah nggak usah berlebihan Mas, Mamah mau marah dulu ke Mas.”
“Marah? Aku buat kesalahan apa Mah?” tanya Doni dengan kaget, semenjak dia lulus dari bangku S2 dia tidak pernah membuat kesalahan kecuali di dunia kerja, itupun hanya selisih uang puluhan juta tidak mencapai ratusan.
“Kamu jadi orang peling banget sih Mas, apartemen tiga kali tiga yang Mas beli di sini? Jadi orang yang pelit-pelit Mas, Mamah sedih liatnya,” ucap Dina.
Doni mengangguk paham, dia sudah bisa menebak jika sang mamah akan komplain tentang apartemen yang dia beli. Tapi mau bagaimana lagi karena ini kemauan sang istri. “Menantu Mamah yang pilih tipe kamarnya, katanya jangan buang-buang uang,” ucap Doni sedikit keras agar Jenni dapat mendengarnya.
“Jenni?” tanya Dina sekali lagi.
Doni mengangguk.
Dina tersenyum sedikit, menerima cangkir teh dari Jenni dengan senyuman yang semakin mengembang. “Hayo jujur, Jenni nggak dipaksa Mas Doni buat jadi tumbal kan?”
“Enggak Mah, Jenni emang suka tipe kamarnya minimalis tapi nggak sempit. Lagipula ini fasilitasnya juga bagus, lengkap juga kok.”
“Tapi sayang kebutuhan kalian semakin banyak, belum lagi barang-barang Mas Doni yang akan memenuhi isi apartemen, sebaiknya kalian cari yang lebih besar,” ujar Dina memberi saran.
Jenni saling berpandangan dengan Doni, dirinya seolah bertanya mau dijawab apa, namun Doni mengangkat bahunya ke atas seolah tidak tahu dan memasrahkan jawaban kepadanya. “Jenni ikut Mas aja, Mah.”
“Beneran ikut Mas?” tanya Dina sekali lagi.
Jenni mengangguk. “Iya Mah, Jenni ikut keputusan Mas aja gimana baiknya, tapi sayang juga kalau apartemen ini dijual.”
“Oke berarti pindah yah, ini nggak usah dijual tapi di sewain aja. Kalau mau buat nyimpen barang juga nggak papa, yang penting kalian nyaman,” Dina menepuk paha Jenni yang berada di sampingnya dengan pelan, “dan kamu juga Mas Doni harus jaga Jenni, jauhkan rumahmu dari lalat pengganggu,” tambah Dina dengan memberi nada penekanan di akhir kalimat.