Cuaca pagi hari yang cerah menyambut kedatangan Jenni dan Rara di sebuah cafe yang luar biasa penikmatnya. Memang seharusnya dia ini pantas mendapat gelar SH, Sarjana Hikmah. Kuliah hanya bisa mengambil hikmah yang dia dapat di setiap pertemuan yang ada, duduk mendengarkan materi dan berdiri mengucapkan terimakasih kepada dosen. Sungguh luar biasa bukan dunia perkuliahan ini, siapa yang tidak iri dengannya.
Jenni sempat berpikir bahwa kuliah itu hanya buang-buang waktu dan tenaga, untuk apa kita belajar lagi jika ujung-ujungnya juga bekerja. Bahkan tetangganya saja bisa kaya raya tanpa adanya sebuah pendidikan jenjang perguruan tinggi, hebat bukan? Jangankan berkuliah, tetangganya itu hanya sampai jenjang sekolah menengah pertama. Ya tapi jangan lupakan dengan sawah peninggalan orang tuanya yang sanggup untuk membeli lebih dari empat unit mobil mewah.
Memang di dunia ini uang masih berkuasa.
“Sebenarnya kalau aku mau disekolahin kedokteran pasti juga bakal kaya, kan uangnya bisa balik modah ke Ibu,” ucap Jenni sembari menimang ponsel miliknya, perempuan itu menggeleng dengan cepat menolak ucapannya sendiri beberapa detik yang lalu, “di samping aku bisa kaya, aku juga bisa gila,” tambahnya.
Sudah bukan rahasinya jika di keluarga besarnya adalah keturunan orang berpendidikan semua, mulai dari arsitektur, dokter, hingga engginer ada di dalam keluarganya. Dan beruntungnya ia beserta kakaknya mendapat bagian manajemen yang sulit, tidak terlalu sulit untuk harus kuliah dokter.
“Alah jangan sok-sokan mau jadi dokter deh, nanti malah kamu pilih-pilih pasien lagi.”
Rara berucap dengan enteng, menggelengkan kepala melihat Jenni yang lansung berpikir untuk menjadi dokter saat berpapasan dengan dokter muda di pinggir jalan tadi. Memang Jenni ini aneh teman-teman, terlalu banyak cita-cita.
“Nggak gitu Ra, aku tuh kagum tau sama anak kedokteran yang bener-bener kuliah karena niat mereka sendiri, ya walaupun ada yang di paksa tapi kan ga semuanya gituloh. Coba deh mikir kalau manajemen salah di itung-itungan kan bisa di benerin yah, salah juga nggak papa karena bisa di benerin. Nah kalau anak kedokteran salah kan bisa fatal, urusannya sama nyawa.”
“Lah itu mah udah resiko mereka tau, ngapain kamu mikir yang bukan urusanmu sih, Jen.”
“Ah heran aku sama kamu Ra, kamu tuh jiwa-jiwa empatinya kayak nggak ada gituloh,” ucap Jenni dengan kesal.
Keduanya kembali fokus dengan ponsel masing-masing hingga Jenni mengeluarkan laptopnya. “Ayo mikirin judul, jangan pacaran terus.” Jenni berucap dengan menatap Rara, sedangkan Rara tersenyum mendengar ucapan Jenni.
“Heh kamu nggak tau ta kalau aku mau jadi donatur tetapnya kampus?” tanya Rara dengan bersungguh-sungguh.
“Aku sih amit-amit, Ra.”
Rara mengangkat bahu acuh, dia benar-benar tidak merasa terintimidasi dengan sifat menggebu-gebu Jenni yang ingin lulus kuliah cepat, karena bagaimana pun dia ingin hidup sesuai dengan keinginannya. “Ngga dulu deh beb, kamu aja duluan,” ucap Rara dengan kedua tangan ke depan.
“Soroh…”
“Dih begayaan banget pake ngomong sorah soroh sorah soroh, kayak tau artinya aja kamu.” Rara berucap dengan wajah mengejek, orang kota ini terkadang berucap tapi tidak tahu apa yang dia ucapkan.
“Eh aku tau yah, tiga tahun ada di Surabaya mah udah tau sebagian besar kata-katanya. Aku tuh actually Jawa cuma tinggal aja di ibukota, bahasa krama pun aku sedikit bisa hehe….”
Jenni berucap dengan menggebu-gebu tidak menerima ucapan yang baru saja Rara katakan. Dia ini Jawa tulen, bahkan delapan puluh persen keluarga besarnya menggunakan bahasa Jawa di kehidupan sehari-hari. Entah di Jambi, Makassar ataupun Jakarta semuanya menggunakan bahasa Jawa. Terkadang dirinya hanya bisa diam jika berhadapan dengan para kakak dari ibunya itu, penguapannya yang cepat membuatnya tidak bisa mencerna kata-kata dengan baik.
“Udah sana kerjain tugas kamu, aku mau chekout barang dulu, inget beb jam sepuluh kita udahan yah.”
“Kayak orang pacaran aja bahasanya udahan,” celetuk Jenni mengakhiri percakapan karena Rara hanya membalasnya dengan kata wkwkwkwk.
Jenni sibuk dengan kegiatannya sendiri, dia dan juga Rara ini bagaikan istri pejabat yang memiliki banyak uang. Jenni akui dia ini memang banyak uang, tentu bukan uang haram milik masyarakat ya teman-teman, ini adalah uang yang diberikan sang suami yang kepadanya.
“Gila nongkrong di sini enak banget ya beb, banyak duit jalan dari tadi. Mulai besok di ganti aja deh kalau nongkrong deket rumah sakit umum daerah biar ketemu orang kaya terus, sabi banget nich,” ucap Rara dengan memandangi segorombolan orang berpakaian putih, “sapa tau ya kan suami aku nanti dokter spesialis,” tambahnya.
“Amin…”
Rara menahan tawa mendengar ucapan dari Jenni, terlihat dengan jelas jika Jenni tengah menghina bukan mendukungnya. “Ah udahlah, mau kencan dulu aku mah Jen. Kamu hati-hati di jalan yah, awas banyak begal.”
“Iya kamu juga.” Jenni melambaikan tangan ke arah Rara yang sudah pergi meninggalkannya.
Jenni menaiki mobil yang sudah di belikan sang suami secara cash sebesar seratus lima pulus juta lebih, mengingat Doni mengeluarkan dompet dengan begitu mudah membuatnya banyak-banyak bersyukur mendapat suami seperti orang itu. Royal namun tidak boros.
“Semoga sih Mas Doni punya banyak uang terus biar aku bisa nonton konser para suamiku di Korea langsung, pokok jangan sampai jadi pensiunan orang kaya- ASTAGFIRULLAH!”
Terlalu asyik membayangkan tentang masa depan yang akan dia raih, Jenni menabrak seseorang hingga membuatnya terpental beberapa meter dari depan. Jenni tentu saja panik, dia menepikan mobil di pinggir jalan dan segera keluar dari sana untuk menghampiri korban.
“Mbak? Mbak bangun mbak…”
Jenni menerobos kerumunan, melihat sang korban yang tak sadarkan diri membuatnya dirinya panik bukan main. “Mas Mas tolong bawa ke mobil saya Mas,” ucapnya meminta bantuan kepada semua orang.
“Allahumma inni audzubika minal hammi wal huzni wal ajzi wal kasali wal bukhli wal jubni wal dholaid daini wa gholabatir rijali”
“Allahumma inni audzubika minal hammi wal huzni wal ajzi wal kasali wal bukhli wal jubni wal dholaid daini wa gholabatir rijali”
“Allahumma inni audzubika minal hammi wal huzni wal ajzi wal kasali wal bukhli wal jubni wal dholaid daini wa gholabatir rijali”
Lantunan kalimat penenang selalu terucap dari mulutnya, berusaha tidak terlalu panik dengan apa yang sedang terjadi. Ia melirik ke arah spion melihat sebuah sepeda motor yang mengejar seolah mengejar dirinya, namun Jenni berpikir itu hanya orang yang satu arah dengan tujuannya.
Jenni memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu gawat darurat UGD, membuka pintu dan ikut membantu memindahkan korban yang sudah dia tabrak.
“Suster ada pasian kritis di mobil saya, tolong beri pertolongan Sus.”
Perempuan cantik itu memarkirkan mobil, mengambil dompet beserta ponsel miliknya. Kembali ke ruangan UGD untuk menyelesaikan administrasi, langkah kakinya berhenti melihat seorang anak kecil berlari ke arahnya dengan terburu-buru.
“Mamaaa….”