Tercengang.
Satu kata yang menggambarkan kondisi perempuan yang menyandang gelar sebagai istri muda itu, terduduk pelan dengan segala pikiran yang memenuhi kepalanya. Perempuan yang masih mengejar gelar sarjana itu harus dihadapkan dengan berbagai teori yang akan dia pecahkan, oh ayolah apa arti dari semua ini?
Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang jika dunia itu memang selebar daun kelor, tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Jenni percaya jika istilah dunia selebar daun kelor hanya berlaku di dunia sinetron, tidak pernah terbayangkan olehnya jika di dunia nyata akan terjadi. Seolah semua ini sudah diatur dengan sedemikian rupa tanpa celah dan tidak ada yang cacat dari semuanya. Konspirasi apa ini?
“Tante Sela lagi sakit ya Mama?”
“Siapa Tante Sela?” tanyanya kepada anak kecil di depannya.
“Tantenya Dika.”
Masih teringat dengan jelas di ingatanya jika Dika mengucapkan itu semua dengan lancar, terbukti bahwa apa yang dikatakan anak kecil ini benar adanya. Dika bercerita dengan semangat jika dirinya dengan berjalan-jalan dengan sang tante, lalu dirinya membeli permen sebentar di sebuah ruko dan kemudian diketahui jika sang tante sakit. Dika juga bercerita jika dia takut dengan tubuh sang tante yang dimasukkan ke dalam sebuah mobil, maka dari itu dia berteriak kencang memanggil nama tante.
“Mama?”
Jenni menundukkan kepala ke bawah menatap makhluk tampan yang saat ini juga tengah menatapnya dengan senyum lembut, tanpa Jenni ketahui jika senyum manis yang terpatri di wajahnya semakin menambah rasa sayang anak kecil yang ada di pangkuannya itu. “Iya Dika, ada apa sayang?”
Dika menunduk enggan menjawab, memeluk dirinya semakin erat seolah ada hal yang di sembunyikan. “Ada apa ganteng?” tanyanya dengan lembut.
“Engga, Ma.”
Jenni menekuk dahi terlihat tidak percaya, anak kecil memang tidak bisa berbohong. Walaupun mereka mencoba berbohong namun tetap tidak bisa. Lihatlah Dika yang tengah memegang perutnya dengan erat, membuatnya berisiniatif untuk turut memegang perut kecil itu.
“Baju Dika kotor?”
Dika menggeleng.
“Dika perutnya sakit?”
Gelengan dari Dika membuat Jenni mengulum bibir bawahnya bingung, memilih memeluk anak kecil itu dan mengusap rambutnya pelan. “Kalau Mama boleh tahu Dika sarapan pakai apa sayang?”
Dika kembali menggeleng sejenak.
Jenni membulatkan matanya, perempuan itu baru sadar jika Dika tengah kesakitan menahan lapar. “Dika dari pagi belum makan?”
tanyanya dengan mendongakkan kepala Dika, “nggak papa jujur aja sama Mama,” ucapnya sekali lagi untuk menyakinkan Dika.
“Astagfirullah.”
Jenni segera mengajak Dika untuk pergi ke kantin rumah sakit yang tengah mereka singgahi, membeli sepiring nasi beserta lauknya. Dia benar-benar merasa bersalah atas semuanya, ini sudah sore dan anak kecil malang ini belum makan. Sungguh jahat bukan dirinya?
“Mama nggak makan?”
“Mama sedang puasa.”
Alis Dika menyatu dengan sangat jelas, memahami kosa kata baru yang seperinya jarang dia dengar, mungkin tidak pernah dia dengar. “Puasa itu apa Mama?”
“Puasa, puasa itu apa yah?” Jenni seketika tidak tahu apa itu puasa, ah bukan tidak tahu melainkan belum mengerti cara menjelaskan makna puasa kepada anak kecil. “Puasa itu tidak makan dan tidak minum selama terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari, Dika juga boleh puasa.”
“Kenapa Mama harus puasa?” tanya Dika merasa penasaran.
“Karena Mama muslim sayang, seorang muslim wajib melaksanakan puasa. Entah itu seorang guru, polisi, tentara, bahkan presiden jika beragama Islam maka wajib menunaikan puasa.”
“Jadi setiap hari Dika puasa ya Mama?”
Jenni tertarik dengan pertanyaan yang diajukan Dika kepadanya, sepertinya Dika menyalah artikan maksudnya. “Puasa gimana sayang?” tanyanya balik.
“Iya puasa, Dika makan tapi Dika juga sering nggak makan Ma. Kalau Tante punya uang Dika baru bisa makan, Mama tahu ayam yang dikasih tepung itu nggak? Itu enak banget tahu Ma, Mama harus coba!” ucap Dika dengan excited.
Siapa yang menaruh bawang di sini?
Jenni tanya sekali lagi siapa yang menaruh bawang di sini?!
“Iya kah? Mama kapan-kapan coba deh ayam tepungnya Dika,” ucap Jenni tidak kalah semangat.
“Sip, nanti Dika ajak Mama buat beli ayam tepung yang banyaaakk….”
Jenni mengusap ujung matanya dengan cepat, dia tidak boleh terlihat cengeng di depan anak kecil yang sudah merasakan pahitnya dunia. Dia harus lebih banyak bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan berikan kepadanya, tidak lebih tepatnya dengan apa yang Tuhan titipkan untuknya. Di dunia tidak ada yang abadi, maka dari itu kata titip lebih tepat untuknya.
“Di habisin makannya yah, nanti ayamnya nangis kalau nasinya nggak habis.”
“Iya Mama aku habisin kok.”
Kurang bersyukur apa dirinya tentang semua hal yang ada di dunia?
Uang ada.
Keluarga lengkap.
Status sosial juga punya, kurang bersyukur tentang apa dirinya selama ini?
Dika menghabiskan nasi di hadapannya dengan lahap, tidak menyisakan satu biji nasi sekalipun. Ikan gurame yang dia makan hanya tersisa tulangnya saja. Hal ini membuat Jenni yang sedari tadi memperhatikannya tanpa sadar tersenyum dengan haru, ada orang yang bersyukur dengan apa yang bisa dia makan hari ini, bukan dengan hari ini makan dengan apa.
“Dika berangkat sekolah jam berapa biasanya kalau sama tante?”
“Emhh Dika udah nggak sekolah lagi Ma, kata Tante Sela sekolahnya ditutup karena ada monster.”
“Oh yah? Mosnter apa ih, Dika jangan bikin Mama takut ih.”
“Iya ada monster Mama, monsternya besar bangeeettt…. Terus sama suka makan anak kecil Ma, Dika juga takut,” ucap Dika dengan menggebu-gebu.
Mendengar perkataan Dika yang diiringi dengan gerakan tangan memperlihatkan lingkaran besar membuat Jenni tidak bisa menahan tawanya, dia tertawa lepas melihat Dika yang seolah-olah menyakinkannya bahwa ada monster yang menunggu mereka.
“Mama jangan ketawa yah, Dika udah bicara serius tahu….”
“Hahaha… Enggak, Mama nggak ketawa kok,” ucap Jenni dengan sisa tawa yang ada. Dia menarik tangan Dika agar mundur sedikit karena ada orang lewat di belakangnya. “Udah jangan marah loh, Mama percaya kok kalau ada mosnter.”
“Dika nggak marah.”
“Ih gemes banget anak siapa sih!”
Jenni mencium pipi Dika dengan gemas hingga anak itu merasa kegelian, keduanya saling bertukar candaan dan tersenyum bersama-sama. Berjalan berdua menyusuri area rumah sakit yang jauh dari kata cerah, entahlah di manapun rumah sakit yang pernah dia datangi pasti suasananya seram. Apakah Dika tidak merasakannya?
“Ayo lihat Tante Sela yuk.”
“Ayooo….”
Jenni berharap jika kesadaran perempuan yang tidak sengaja dia tabrak akan memberikan informasi terkait Dika ini siapa. Dirinya sudah cukup lelah dengan segala teka-teki yang ada, semoga saja ada kabar baik mulai dari sini.