Awal Dari Semuanya

1111 Words
Berkeliling kota Surabaya dari pagi hingga malam nyatanya tidak semudah yang dia bayangkan, panas dan macet tidak dapat dihindari dari kota terbesar kedua di Indonesia. Mencari hunian nyaman dengan fasilitas yang dia incar semakin sulit, entah itu jauh dari kampusnya atau jauh dari proyek yang dikerjakan suaminya. Terhitung sudah ada dua kontrak dan lima apartemen yang terlewati, ini sudah jam setengah sepuluh malam dan hingga sampai saat ini belum menemukan tempat yang pas. “Kita cari makan dulu ya Mas.” Pria yang tengah menyetir itu menolehkan kepala dengan cepat, menepikan mobil dengan cepat ke pinggir jalan. Terlihat wajah bersalah yang ditunjukin Doni kepada Jenni, sedangkan empu yang ditatap dengan intens oleh pria tampan di depannya itu menjadi bingung, apakah dia membuat kesalahan? “Ada apa Mas? Kalau mau nyari apartemen lagi ya ayo, makannya nanti deh aja nggak papa,” ucap Jenni dengan memepetkan tubuhnya ke pintu mobil. “Iya yaudah ayo nyari apartemen dulu.” “Maafin Mas.” Jenni bingung, maaf untuk apa? “Maaf? Maaf buat apa Mas?” “Maaf Mas lupa kalau kamu belum makan sejak siang, maafin Mas,” ucap Doni dengan menyesal, bahkan pria itu berdecak menyalahkan kebodohannya. Jenni melemaskan tubuhnya, duduk kembali ke bangku mobil dengan tenang. Pria ini terlalu berlebihan, dia sudah terbiasa berpuasa karena sangat malah jika makan ayama geprek terus-terusan. Lebih memilih untuk tidur daripada pergi keluar mencari makanan. “Nggak papa Mas, kayak apa aja sih.Yaudah ayo cari makan, Mas mau makan apa?” tanyanya dengan lembut, melihat jam yang terus berjalan tidak menunggunya. “Mas ikut kamu aja.” Mendengar jawaban pasrah membuat Jenni bingung, makanan apa yang menjadi selera suaminya? Jelas makanan Jawa sangat berbeda dengan daerah ibukota sana, mungkin saja rasanya tidak sama. “Mas mau makan di pinggir jalan? Ayam penyet mau?” “Boleh.” Jenni bersorak dengan gembira, sudah lama dia tidak makan ayam penyet pinggir jalan. Tapi tunggu, Doni tidak apa-apa bukan jika makan makanan rakyat seperti ini? Bagaimana jika nanti sudah sampai di tempat namun dia tidak mau turun? Perempuan itu mencoba berpikir positif jika suaminya mau turun, lagipula ayam penyet merupakan makanan terenak setelah bakso! Tidak mungkin ada orang yang tidak menyukai ayam penyet. “Di depan ini?” “Iya Mas yang ini aja.” Doni memarkirkan mobil dengan cepat, pria itu menahan tangan Jenni saat melihat berniat meninggalkannya terlebih dahulu. “Mau kemana?” “A-aku mau pesen makanannya dulu biar Mas nggak nunggu lama, Mas bebek kan?” “Dompet sama ponsel Mas bawa.” Doni menyodorkan dompet beserta ponselnya ke arah Jenni, namun respon lambat Jenni yang hanya berdiam diri itu membuatnya sedikit kesal. “Ini terima dulu.” “Mas mau makan di mobil? Nggak mau duduk lesehan di bawah?” tanya Jenni merubah nada bicaranya, perempuan itu tidak suka jika ada seseorang yang tidak menghargai orang lain. “Kalau Mas emang nggak mau makan di sini yaudah cari yang lain aja, takutnya nanti Mas alergi makan makanan pinggir jalan.” Doni memahami apa kalimat pedas yang keluar dari bibir mungil itu, sepertinya sang istri menyalah artikan ucapannya. “Mas orang yang pelupa Jen, makanya Mas nyuruh kamu buat yang bawa aja. Mas mau makan disini, Mas cuma mau ganti baju pake kaos, gerah kalau pake kemeja dari pagi.” Jenni diam, perempuan itu menerima dompet dan ponsel milik suaminya kemudian berlalu meninggalkan suaminya. Pria itu hanya berdalih barang yang dibawanya ini hanya sebagai jaminan, jika memang Doni ingin meninggalkannya juga tidak apa. Masih ada Rara yang mau menjemputnya tanpa pamrih. Baiklah jika Doni benar-benar meninggalkannya maka dia akan membungkus makanan ini dan menjual ponsel berkamera tiga yang tengah dia bawa. “Mau pesen apa sayang?” “Ayam sama bebek aja Mas.” “Makan sini? Minumnya apa sayang?” Jenni mengangguk kepada sang penjual, setidaknya dia harus beristirahat setelah seharian berkeliling. “Iya makan sini Mas, minumnya es teh dua sama air dingin putih satu yah.” “Oke ditunggu ya mbak, silahkan duduk terlebih dahulu.” Jenni mengacungkan kedua jempolnya, duduk di pinggir jalan yang beralaskan tikar dengan pengunjung yang lain. Jenni yakin jika yang sedang makan disini rata-rata mahasiswa terlihat dari wajah ceria mereka, dia tertawa hambar mengingat bahwa dia juga pernah merasakan hal seperti ini. “Seneng-seneng dulu aja dek mumpung masih maba,” ucapnya pelan. “Udah pesen?” “Udah,” Jenni menjawab pertanyaan Doni dengan cuek. Tidak terlalu memikirkan perubahan nada suara Jenni, Doni lebih memilih memandang langit malam Surabaya yang cantik. Dia tidak tertarik untuk memulai masalah dengan Jenni, lagipula ini masih terlalu awal untuk memulai sebuah pertengkaran. Makanan keduanya telah sampai, kedua orang itu lagi-lagi makan dalam diam. Menghabiskan makanan masing-masing tanpa adanya sebuah obrolan, Jenni diam-diam melirik piring Doni memastikan apakah pria itu menghabiskan makanannya atau tidak. Tersenyum singkat saat melihat piring milik sang suami habis bersih hingga hanya menyisakan tulang bebek, sebenarnya menambahkan dua kepalan nasi ke piring Doni agar pria itu lebih kenyang. Beruntung sang empu tidak mengetahuinya. “Habis ini langsung pulang ke hotel, nyarinya dilanjut besok.” “Iya,” ucap Jenni sekenanya menyahuti ucapan Doni. “Biar a-” “Jenni?” Jenni menghentikan ucapannya saat ada seseorang memanggil namanya dari samping, perempuan itu menolehkan kepala ke samping dengan gerakan slowmo. Membuka sedikit mulutnya mendapati Rian salah satu temannya yang juga berada di sini, kenapa pemuda ini bisa ada di sini? “Lho yaopo seh ternyata kamu di sini, dari tadi ta?” “Eh iya ta?” tanya Jenni kembali dengan sedikit gugup, dia tidak lupa jika ada seseorang di belakangnya yang mungkin saja akan membuat identitasnya terbongkar. “Iya beneran Jen, kamu di sini juga udah lama ta? Eh ini siapa?” Rian mengalihkan pandangan dan menunjuk Doni, menyalami Doni yang sedari tadi hanya diam. “Emh ini Mas Doni.” “Oalah kakakya Jenni yah, kenalin bang aku Rian temennya Jenni. Oh iya Jen gimana judulnya udah diterima atau belum?” Rian hanya berkenalan dengan Doni, selebihnya pria itu mengajak Jenni bercerita banyak hal. Entah mengenai perkuliahan atau mengenai seseorang yang menyukainya. Jenni ketar-ketir mendengar perkataan Rian yang tidak memiliki jeda layaknya jalur kereta. Benar bukan dugannya bahwa Rian akan mengatakan hal yang tidak-tidak, ah tolong selamatkan dirinya! “Bang Doni adeknya boleh pacaran nggak, Jenni jadi idaman loh di kampus. Kasih ijin aja Bang, bukan rahasia umum kalau Jenni jadi incaran ketua BEM.” Mampus, apa yang harus dia lakukan nanti. Jenni mengigit bibir bawahnya ketakutakan, baru satu hari dia memulai hubungan selayaknya suami istri. Namunkenapa sudah diberi cobaan, dan lihatlah suaminya itu yang tersenyum tipis. Dia yakin bahwa itu adalah senyum palsu, bahkan tubuhnya dapat merasakan perubahan euforia di sekitarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD