Gengsi yang Tinggi

1087 Words
Menikah di usia muda sebenarnya bukan pilihannya, ini ada sebuah paksaan dari pihak keluarga yang mau tidak mau harus dia turuti. Membayangkan betapa indahnya masa kecil membuat dirinya menyadari bahwa semua di dunia ini tidak gratis, selalu ada timbal balik yang akan kau terima di masa yang akan datang. Ya mungkin inilah yang harus dia terima dari semua kemewahan masa kecil, ingin mengatakan tidak menerima pinangan namun dia ingat bahwa sang kedua orangtua selalu mengatakan iya atas semua permintaannya. Jenni mulai berdamai dengan keadaan yang ada, memang sepertinya sudah garisnya. Lagipula dia tidak memiliki pacar ataupun teman laki-laki yang dekat dengannya, jadi tidak akan ada pihak yang tersakiti. Bukan hal baru jika tidur dengan sang suami, ini merupakan kali ketiga dia tidur dengan suaminya. Nafas hangat yang menerpa leher sebelah kiri dan sebuah lengan besar yang berada di atas perutnya membuatnya terbangun. Pantas saja tidurnya tidak nyenyak, bernafas saja sulit. “Ini jam berapa yah, udah masuk subuh belum nih?” Jenni bertanya kepada dirinya sendiri, mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas dengan sebelah tangan. Mata perempuan itu menyipit guna memfokuskan pandangan, meletakkan ponselnya di samping tubuh. “Masih setengah jam lagi, kalau dibuat tidur pasti nanti malah kesiangan.” Jenni memutuskan untuk mengusap punggung tangan suaminya, sembari menatap langit-langit kamar hotel yang polos. Hotel apa yang terlalu putih seperti ini, sangat membosankan. “Ya Allah pagi-pagi gini siapa yang telfon?” Jenni mengomel namun tetap mengangkat telfon dari seseorang itu. “Oalah yang telfon Ibu, assamualaikum Ibu.” “Waalaikumsalam Adek, udah bangun kan?” “Iya udah, Ibu butuh sesuatu?” “Ah enggak sayang, Ibu cuma mau bangunin kamu aja. Semangat yah, ibu nanti ngabarin suamimu mungkin siang jadi ketemu Doni besok, sekalian Ibu mau beli oleh-oleh.” Jenni mengangguk paham, perempuan itu berbicara lirih takut menganggu tidur sang suami. “Bareng Bapak sama Abang ya Bu?” “Iya sayang, udah yah kamu juga siap-siap sana. Ibu tutup yah, assamualaikum.” “Waalaikumsalam.” “Habis telpon siapa?” “Eh?” Jenni menolehkan kepala dengan cepat, perempuan itu kaget mendengar suara berat yang tepat berada di samping telinganya. “Sejak kapan Mas bangun?” “Telfon dari siapa?” tanya Doni sekali lagi. “Ibu, aku habis telfonan sama Ibu.” Tidak ada respon berarti dari Doni, pria itu menatap mata Jenni tanpa bersuara seolah bertanya apakah perempuan di depannya ini berbohong atau tidak. Beruntung tingkat kepekannya begitu tinggi, membuat Jenni dengan cepat memahami tatapan itu. “Ibu, tadi beneran Ibu Sarah yang nelpon.” “Kenapa bisik-bisik?” tanyanya kembali. Jenni menjaga jarak dengan Doni agar lebih leluasa menatap prianya. “Aku takut ganggu Mas tidur, makanya aku bisik-bisik.” Doni hanya mengangguk pelan, bangkit dari tempat tidur dan mengambil air wudu. Jenni mengikuti langkah Doni, memang ini sudah masuk waktu salat. Sepasang suami istri sirih itu melaksanakan kewajiban mereka, bersih-bersih dan siap turun ke bawah untuk sarapan. Hidung mancung dengan bibir mungil itu mampu membuatnya seperti anak SMA, bahkan saat kemarin mencoba baju SMA milik adik Rara masih pantas, bukan seperti mahasiswi semester lima. Doni mengambil salad sayur dengan omlet dan beberapa helai bacon, sedangkan Jenni mengambil bubur kacang hijau dan es cendol. Keduanya makan dalam diam, menghabiskan makanan masing-masing dengan tenang. Jenni benar-benar tidak menyentuh ponsel miliknya selama sarapan hingga dia menghabiskan makanan, ini semua dia lakukan untuk menghormati suaminya. “Kamu hari ini nggak ada matkul?” tanya Doni memulai obrolan. “Nggak ada.” “Ikut organisasi?” “Engga.” “Ada acara dengan teman, mungkin nanti sore atau malam?” Jenni menggeleng mendengar pertanyaan Doni, dia ini mahasiswi kupu-kupu yang hanya terfokus pada IPK. Terlalu lemas jika harus mengikuti berbagai organisasi yang ada, jiwa rebahannya tidak mendukung. “Nggak ada Mas, aku selalu free kalau hari libur. Mungkin aku sibuknya ya pas nugas aja, ada apa Mas?” tanya Jenni balik. “Enggak masudnya kalau kamu free ikut Mas aja survei rumahnya.” “Lho rumah?” Jenni membulatkan matanya kaget, kenapa rumah? Bukannya ini terlalu mahal jika menyewa rumah? Tunggu sebentar, tidak mungkin sekelas Doni Gumilar Hanendra akan menyewa rumah, pria itu jelas akan membelinya! “Kok rumah sih Mas, emang Mas mau beli rumah?” Doni mengangguk. “Kita lihat kos aja Mas kalau ada yang cocok nanti di keep.” Raut wajah Doni terlihat kaget, apa yang dikatakan perempuan muda di depannya tadi? Kos? “Kos? Kenapa harus kos, masih banyak pilihan yang lainnya Jen.” Jenni meminum air dengan pelan, mengangguk menyetujui ucapan Doni. “Iya emang masih banyak pilihan yang lain Mas, ada kos, kontrakan, tapi kalau Mas nyari yang apart juga nggak papa.” “Kamu maunya apa, Mas ngikut kamu aja. Tapi Mas nggak mau yang di kosan apalagi isinya yang anak-anak kuliahan, Mas nggak mau.” “Emang kenapa kalau isinya anak kuliahan?” tanya Jenni, dia sedikit tersinggung karena dia ini kan masih kuliah. Jadi secara tidak langsung pria ini telah menyinggungnya. “Ada apa dengan anak kuliahan Mas, mereka ada salah apa sama Mas?” “Anak kuliah memang tidak punya masalah dengan Mas, tapi saat mereka ngumpul di kos temennya ramainya ngalahin pasar Tanah Abang. Dari obrolan ingin makan siang dengan ayam geprek atau buat mie isntan saja butuh waktu satu jam lebih, belum lagi dengan obrolan politik yang bahkan salah kaprah dengan solusi yang mereka gaungkan. Mas nggak nyaman, berisik,” ucap Doni panjang lebar. Jenni sedikit kaget mendengar ucapan panjang tadi, setidaknya ada sedikit peningkatan tentang obrolan mereka berdua. “Mereka kan menyuarakan suara rakyat Mas.” “Halah, menyuarakan suara rakyat apanya.” Jenni tertawa renyah mendengar suara tidak enak itu, suaminya ini lucu. “Yaudah kalau gitu barengan aja nyarinya, hari ini mulai nyari kan Mas?” Doni mengangguk. “Badan Mas udah fit? Udah kuat buat nyetir lagi? Aku sih pengennya hari ini Mas masih istirahat, sehat tuh mahal loh.” Doni berdecak tidak suka. “Apa sih Jen, Mas nggak sakit kok. Don’t treat me like a baby, im a daddy you know?” Jenni menelisik ke samping kanan dan kiri memastikan tidak ada orang yang mendengar ucapan Doni. Perempuan itu membuka sedikit mulutnya mendengar kata daddy yang baru saja keluar dari bibir seksi sang suami. “Oh really you are a daddy?”  “Yes I am.” Senyum manis tidak bisa disembunyikan Jenni, perempuan itu ingin tertawa keras mendengar ucapan itu. Lalu siapa kemarin malam yang menenggelamkan wajah pada lehernya? Siapa yang memeluk erat perutnya hingga membuatnya sulit bernafas? Hantu hotel?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD