You Are My Best Friend, Aren’t You?

1134 Words
Entah bagaimana ceritanya dan caranya, Melisa sudah berada di dalam kamar pribadinya, keesokan siang. Melisa terbangun dan sudah berada di rumahnya dengan masih bingung, pusing, merasakan kepalanya yang berdenyut bagai dihantam alu, dan yang pasti ada rasa nyeri yang luar biasa di pergelangan tangan, kakinya, kepala, dan yang pasti bagian sensitifnya. Mel menangis, meraung, mengingat apa yang baru dialaminya. Dengan keadaan kacau, dia mencoba menghubungi Dessy, meminta pertanggung jawabannya, Mel ingin menanyakan apa salahnya, kenapa Dessy sampai tega berbuat demikian terhadapnya, tapi sia-sia, tidak ada jawaban dari nomor yang Mel tuju, malah nomor tersebut sedang tidak aktif. Dengan perasaan hancur, dia menuju kamar mandi, menghidupkan shower dan menyiram tubuhnya, sederas mungkin dia putar aliran airnya, mengambil sabun, dan menggosok semua bagian tubuh yang bisa dia jangkau, dia jijik, bahkan tidak sudi memiliki tubuh itu lagi, apa yang bisa dia harapkan dari tubuh hina, kotor, dan sudah tidak ada harga dirinya lagi, dia sudah bertekad untuk mengakhiri hidupnya, toh papa sudah gak ada, mama sudah pergi bahkan sebelum Mel bisa melihat dan mengingat wajahnya, saudarapun dia gak punya, well … ada sih, secara ikatan, tapi tidak secara perhatian, mereka pergi, setelah semua hancur, papa meninggal, dan Mel jatuh terpuruk. Dia keluar dari kamar mandi, mengeringkan pakaian, mulai menyisir rambutnya yang terurai panjang, hitam, jika hari-hari biasanya, dia akan mengagumi keindahan mahkotanya tersebut, tapi tidak hari ini, melihat setiap inci bagian tubuhnya membuatnya muak, muak akan kehidupan. Dia mencoba menyemprotkan sebanyak parfum yang dia bisa ke seluruh tubuhnya, dia ingin menghilangkan aroma lelaki yang sudah menjamah tubuhnya. Gawainya berdering, Nathan, menelponnya, “Mel, di mana sih, lama banget dari kemaren gak ada kabar, mamak mau kasih makanan nih, kering tempe kesukaan lu, kasian kata mamak, lu gak pernah makan masakan rumah lagi, lu di rumah, kan, gw kesana, ya. Mel … halo … Melisaaaa.” Melisa terisak, Nathan bingung. “Sampaikan makasih gw ke mamak, sampaikan maaf juga, bilang, anak angkatnya ini udah kotor, hina, gak layak lagi dapet kasih sayang darinya. Makasih, Nat, gw pergi.” Nathan yang merasa ada yang salah dengan Mel, memacu mobilnya, tidak biasanya dia begitu, Mel gak pernah menolak masakan mamak, ada apa sebenarnya. Tidak lama, hanya berselang sepuluh menit, Nathan sudah sampai di rumah Mel, dia memencet bel rumahnya berkali-kali, tidak ada sautan, tidak lama, Nathan mendengar seseorang menjerit, melolong, kesakitan, tanpa pikir panjang, Nathan mendobrak pintu rumah Mel, tidak mudah, tapi dia harus berusaha, karena pasti terjadi sesuatu yang buruk terhadap Mel. Setelah pintu depan bisa memberinya jalan masuk, Nathan seperti orang kesetanan, menjerit ke penjuru rumah, memanggil Mel, dan dia menemukan sumber suara tadi, di dapur. Dia melihat tangan Mel sudah berlumur darah, pisau di jarinya tertancap dengan menghujam ke nadi, “Pisaunya kurang tajam, Nat. Makanya gue hunus aja begini, malah gak mati juga, gue.” Dengan meringis Mel melihat Nathan, tapi sekuat apapun Mel bertahan, darah yang sudah banyak keluar dari nadinya, membuatnya pingsan. Nathan segera membawa Mel ke rumah sakit. Dia tidak perduli lagi lampu lalu lintas, entah sudah berapa lampu dia terabas, mungkin setelah ini, dia akan ditilang. Ah … persetan, otaknya sekarang sedang fokus menyetir, demi melihat Mel terkulai lemas di sebelahnya. Sampai di UGD rumah sakit, Mel segera ditangani dokter dan perawat di sana. Setelah selesai megurus administrasi dan meninggalkan uang jaminan, Nathan menunggu Mel yang belum sadar. Gawai di kantong baju tidur Mel, berbunyi, Dessy memanggil, tertera di situ. Ketika akan diangkat, telpon tersebut mati. Nathan mencoba mengotak-atik password gawai Mel, berkali-kali dia mencoba, dan “whailaa … kebuka juga, Mel, secinta itu, lu sama gw, sampe password gawai lu pun, pake tanggal lahir gw.” Nathan melihat rentetan pesan Mel ke Dessy, yang paling terakhir yang menarik perhatian Nathan, “Des … gue gak tau, gue ada salah apa sama lu. Segitu deketnya kita, segitu seringnya gue bantu lu, tapi lu malah nyerahin gue ke kakak dan temen-temennya yang b******k dan b******n itu. gue udah hancur, udah gak perawan, gak ada harga dirinya lagi, setelah semalam kakak lu dan temen-temennya ngegilir gue kayak p*****r. Semoga dengan kejadian ini, dendam apapun yang lu punya ke gue, lunas. gue tau gw bukan manusia suci, tapi paling gak gue gak sebejat lu, semoga dengan kejadian ini Tuhan memaafkan semua kesalahan gue.” Nathan geram, dia juga mengenal Dessy, temen Mel yang sering ikut kemanapun Mel pergi, nempel seperti lintah, lekat, ketika Mel ada uang, Dessy orang pertama yang akan mencicipinya. Nathan berniat melaporkan Dessy ke polisi, dengan membawa semua bukti-bukti. Tidak lama berselang, dokter memanggil Nathan ke ruangannya, “Tolong ceritakan apa yang menyebabkan ibu Mel seperti ini? Saya menduga, ada kekerasan seksual dan psikis yang melatar belakangi percobaan bunuh dirinya." Setelah menceritakan dugaan-dugaan yang terlintas di benaknya, Nathan kembali ke rumah Mel, dia mulai menelusuri, mencari jejak pakaian dan perlengkapannya yang dipakai Mel. Untung saja, Mel tidak membuangnya, Nathan menemukan benda-benda dan pakaian tersebut dalam satu kantong plastic hitam, itu jadi bekal Nathan melapor ke polisi. Setelah selesai membuat laporan di kepolisian, Nathan dikabarkan pihak rumah sakit bahwa Mel sudah sadar. Nathan langsung ke rumah sakit. Dia melihat Mel terkulai, lemas, tak berdaya, seolah tidak ada tanda kehidupan di wajahnya. Ketika Mel bangun, dia menjerit, histeris, hingga harus diberi suntikan penenang, Nathan memeluknya, Nathan menangis bersama Mel, dia juga merasakan sakit sesakit yang dirasakan Mel, wanita yang dicintainya, hancur, dia berjanji tidak akan melepaskan b******n-b******n yang membuat Mel seperti ini. Selang beberapa hari, kondisi Mel sudah lebih baik, Nathan menghubungi penyidik yang menangani kasus Mel. Ketika polisi datang, Mel menceritakan semua kejadian, serinci dan seingat yang dia bisa, “Rendy, wajahnya putih, rambut hitam, dihidungnya ada tai lalat di cuping sebelah kanan. Lelaki yang lain, saya tidak sempat melihat wajahnya, hanya saja yang saya ingat, yang satu memakai topi bertuliskan “Rugby boy” dan yang satu memiliki tato matahari tersenyum di lengan kirinya.” Setelah selesai polisi menanyakan semua informasi tersebut. Polisi mengutarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, termasuk kemungkinan para pemerkosa memfoto atau memvideokan kejadian tersebut. Apakah Mel bersedia meneruskan kasus ini? Karena wajah Mel akan masuk dalam berita, jika masalah ini sampai tercium media. Mel dengan mantap, menjawab, “saya siap, Pak. Lagipula sudah tidak ada lagi yang harus saya sembunyikan. Kehormatan saya saja sudah hilang, kalopun saya harus malu, biarlah, asalkan kejadian ini tidak terulang. Saya hanya ingi tau apa penyebabnya, mereka berbuat seperti ini terhadap saya.” Tatap mata Mel, kosong. Nanar menatap jauh, melalui celah jendela di kamarnya. Polisi hanya mengangguk dan berpamitan pada Nathan dan Mel. “Pulanglah, Nat. Kamu gak pantas ada di sini. Jangan libatkan dirimu denganku, manusia hina. Derajat kita sudah semakin berbeda jauh, pulanglah. Anggap saja kamu tidak mengenaliku, salam sama mamak. Aku rindu pelukannya, aku rindu bercerita dengannya .…” Mel menangis, sesegukan, Nathan menghampirinya, berusaha memeluknya, walaupun sempat mendapat perlawanan dari Mel. Dia tidak ingin dipeluk, tapi akhirnya Mel menyerah juga, melabuhkan air matanya di bahu Nathan. Mel yang memang sudah menahan beban ini, melampiaskan semuanya. Nathan berusaha kuat, walaupun dia menangis, dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD