I Was There

1173 Words
Sepeninggal papanya, Melisa menjadi pribadi pendiam dan tidak tau harus melakukan apa. Berkenaan dengan perusahaan yang papanya miliki, sebanyak hampir 80% investor di perusahaan tersebut menarik saham mereka. Para pekerja yang mengandalkan investasi tersebut mulai diberhentikan secara paksa, mau tidak mau, karena praktis kegiatan perusahaan lumpuh hampir 90%. 250 karyawan di-PHK. Yang lebih tragis adalah hidupnya, hidup Melisa yang selama ini serba ada, serba cukup, tanpa tau bagaimana cara mengurus perusahaan, tanpa tau bagaimana menghasilkan uang, setelah papanya meninggal Mel tinggal hanya seorang diri dan di situlah kehidupan nya pun berubah drastis. Hampir semua asset perusahaan dilelang demi membayarkan pesangon dan gaji karyawan. Semua itu adalah sisa harta satu-satunya sepeninggalan papa yang hanya berupa rumah yang dia tempati dan dua mobil. Satu mobil yang biasa dipakai papanya kerja dan satu mobil mini coopernya, mobil pribadi Mel yang sehari-hari biasa dipakai. Melisa mencoba menghubungi tante Astrid, adik tiri ayahnya. Namun, usahanya selalu gagal, ada saja alasan tante Astrid menolak bertemu dan berhubungan dengan Mel. Setelah papa meninggal tidak pernah sekali pun tante Astrid mampir ke rumah, sekadar menyapa lewat telepon atau mengirimkan pesan. Tidak beda jauh dengan saudara dan kerabat yang tadinya berdiri berdampingan, selalu ada ketika di rumah ada hajatan, ketika papa mengadakan acara, sekarang jauh meninggalkannya di belakang. Melisa terpuruk. Bagaimana hanya dalam sehari semalam, hidup Mel berubah, hancur berantakan. Tidak ada yang peduli padanya, Nathan dan keluarganya lah tempatnya bernaung, tante Anita, bunda Nathan. Adalah tempat Melisa berbagi cinta dengan Nathan, tante Anita sudah dianggapnya sebagai ibunya. Mel merasa tidak ada gunanya mempertahankan rumah besar yang setiap bulan menuntut bayaran. Listrik, air, dan lainnya. Maka dengan berat hati rumah itu Mel jual lalu uangnya ia pakai untuk membeli rumah lebih kecil di pinggiran kota Jakarta. Dia menuntaskan kuliahnya di sana. Dan mulai mencari pekerjaan dari nol. Sementara perusahaan papa yang ada di Kalimantan, ia percayakan pada om Anton. Malang tidak dapat dihalau untuk tidak dapat diraih, perusahaan tersebut pun perlahan tapi pasti berujung pada bangkrut. Lengkap sudah penderitaan dan kesedihan yang Mel rasakan. Betapa air mata sudah kering, tak mampu lagi dia kucurkan. Melisa muda yang belum mengerti dunia bisnis. Hanya mengangguk. Ketika om Anton menyerahkan uang sisa dari penjualan saham dan aset perusahaannya. Uang itulah yang Mel gunakan untuk bertahan hidup dan membiayai kebutuhannya. Dia harus berhemat. Dia bukan Mel yang dulu. Sementara berbeda dengan kehidupan Nathan yang sama-sama kuliah di Jakarta seperti Mel, nasibnya lebih beruntung. Setelah lulus, Nathan di angkat jadi asisten dosen dan dari sanalah dia memulai semuanya. Bisnis yang diwariskan bapak Wiryo. Begitu Nathan memanggilnya. Dia kelola mulai dari nol. Dia belajar dari tangan kanan kepercayaan pak Wiryo, dan di sanalah Nathan menyiapkan rencana dan perlahan mulai merintis MO Corp. Karena dia ingin berpijak di atas kakinya sendiri, dia tidak mau terus menerus berada di bawah ketiak bapak. Dan berdiri serta menjelma hebat dan kuat, hingga akhirnya sekarang Mo Corp. merupakan salah satu perusahaan suplier masakan dan makanan bagi penerbangan baik domestik maupun internasional. *Tiga tahun yang lalu* "Aku butuh uang Des. Jika uang semester ini tidak kubayar, maka aku tidak bisa ikut ujian akhir." Melisa mengiba kepada teman yang selama ini dia percaya bahkan melebihi sahabat. Teman yang selalu dia bagi cerita bahagia, duka, bahkan tidak jarang mereka saling meminjam uang atau barang-barang lainnya untuk saling tukar pakai. "Iya ... Lu dateng aja kerumah ya. Jam tiga sore ini. Ambil uangnya di rumah." Saat waktu yang dijanjikan oleh Dessy, sesampainya Mel di rumah Dessy terlalu cepat dari jam yang di janjikan, entah kenapa dari depan rumah tersebut tampak lengang dan seperti tidak ada penghuni, tapi karena merasa sudah janjian, Mel dengan mantap melangkah ke rumah Dessy, dia memencet bel berkali-kali, hingga keluarlah seseorang, bukan Dessy, tapi … Rendy, abangnya yang membukakan pintu. Dengan rambut yang acak-acakan, terlihat seperti baru bangun tidur, serta aroma alkohol yang menguar, Mel enggan sebenarnya berhubungan dengan orang ini, matanya yang jelalatan dan nakal, seolah menelanjangi Mel, entah kenapa ada gelagat aneh dari cara Rendy menatap Melisa. Seolah mesin screening. Mata Rendy menelusuri dari ujung rambut, hingga ujung kaki Melisa. Mel mencoba mengalihkan perasaannya yang kurang nyaman, "Dessynya aaa ..." belum tuntas Melisa berkata, Mel merasa pemandangannya buram, kepalanya mendadak pusing, setelah dia mendengar bunyi Bugh … dari arah belakang, dia ambruk seketika. Samar-samar dia mendengar suara Rendy berbicara dengan dua atau tiga orang lainnya, yang tidak dia kenal. Hanya saja, dia dapat melihat, seseorang memakai topi merah dengan tulisan “Rugby Boy” di bagian sebelah kiri, dan melihat tato di lengan satu orang lainnya dengan gambar matahari tersenyum, ah … Mel sudah tidak kuat lagi, dia menyerah, dan pingsan. Entah sudah berapa lama Mel berada dalam kondisi tersebut, yang pasti ketika dia membuka mata, mulutnya sudah dilakban, baju atasanya sudah tidak ada, menyisakan bra dan kaos dalamnya saja. Sementara kedua kakinya diikat di sisi kanan dan kiri ranjang, sehingga menampakkan bagian paling berharga dan rahasia dirinya. Tidak beda dengan baju atasannya, rok selutut yang tadi dipakainya pun hilang, entah kemana, dan kepalanya masih berdenyut, dia merasakan kupingnya berdengung, sekarang. Mel mencoba menajamkan pendengarannya, terdengar seseorang sedang berbicara, di telepon, sepertinya, "Dia udah sama gue. Buruan dateng. Gileee ... Bener kata lu. Body nya kece meeen." Yang di ujung telpon hanya terkekeh. "Lu duluan aja. Sisain buat gue ya. Jangan lu abisin tenaganya." Telpon dimatikan, dan rupanya Rendy, menelpon orang lain, "Des ... gue udah transfer ya ke rekening lo. Gak usah pulang malem ini. Guwe mau seneng-seneng dulu sama si Melisa." Bagai tersambar petir, tertimpa duren, d**a Mel berdegup kencang, Dessy? Bagaimana bisa, Dessy yang menjebaknya begini? Kenapa dia sejahat ini padanya? "Iya ... gue paham. Tapi jangan lu lukai Melisa ya. Kalo sampe lecet biayanya nambah." Terdengar dengan jelas tawa Dessy, karena ketika itu bertepatan dengan Rendy dan kedua temannya masuk ke kamar, "Dasar adek sinting." Lalu Rendy memutuskan sambungan telponnya. "Ini balasannya, jika kau berani menolakku. Rasakan." Lalu Mel mulai menerima perlakuan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, ketiga mahkluk biadab tadi mulai menggerayangi tubuhnya. Mel mencoba berontak, bergerak semampunya, tapi apa daya, tiga laki-laki ini bukan kecil badannya, ditambah lagi kaki dan tangannya diikat, leluasa lah mereka menjamah setiap inci bagian tubuh Mel. Rupanya mereka merasa bahwa Mel terlalu berisik dan bergerak terlalu banyak, entah dari mana, Mel kembali dipukul, wajahnya ditampar, hingga darah mengalir di sudut bibirnya, ada yang menyundutkan rokok di lengan kirinya, dan Mel mengerang dengan sisa tenaganya, dia menyerah, kalah, pingsan. Sinar matahari membangunkan Mel, dia merasa badannya sudah remuk, kaki dan tangannya seperti tertimpa beton, tidak bisa digerakkan, belum lagi area sensitifnya panas dan sepertinya luka, karena dia merasa nyeri di bagian itu. Kedua tangannya sudah bebas dari tali, tapi tidak dengan kedua kakinya, masih terikat dengan sempurna, dia mencoba bangun dan membuka kaitan tali tersebut. Lamat-lamat dia mendengar suara ramai, Rendy, kedua temannya, dan satu orang lain, ya tuhan, apalagi sekarang, Mel dengan sekuat tenaga mencoba untuk melepaskan tali tersebut. Sia-sia, lebih cepat mereka masuk ke dalam kamar tersebut, dan ya … mereka kembali, menggagahi dan menggilir Mel. Bukan, kali ini bukan dipukul dengan balok seperti semalam, tapi dia dibekap, dia mencium aroma yang sangat kuat, entah apa, yang pasti setelah itu Mel pingsan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD