9. Invitation

814 Words
9. Invitation Nathan baru saja menyelesaikan latihan pagi saat telepon genggamnya berbunyi. Dia mengangakatnya. “Ada apa?” tanyanya. “Aku baru saja melihatnya muncul di Paris,” kata suara di ujung telepon. "Apa yang dia lakukan di sana? Cari tahu tujuannya ke sana dan siapkan perjalanan untukku ke Paris sekarang," perintah Nathan. "Kau akan berangkat sekarang juga?" "Ya, dan aku akan ke sana sendiri." Suara dari telepon itu menghilang tiba-tiba seakan sedang menunggu. "Kau belum tahu siapa yang kita hadapi dan itu terlalu berbahaya. Aku akan ikut denganmu," katanya kemudian. "Aku tidak mau menanggung risiko terlalu besar. Terlalu banyak orang maka akan semakin berisiko. Aku ingin hanya diriku sendiri kali ini." Dan pria itu langsung menutup sambungan telepon. *** "Oke, jadi yang harus aku lakukan sekarang adalah mencari pusat datanya." Lexi berdiri di depan sebuah ruangan yang bertuliskan “do not enter”. Lalu ia berkata sambil memegang knop pintu, “Well, itu artinya kau boleh masuk." "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya sebuah suara tepat sebelum Lexi membuka pintunya. Lexi berputar untuk bisa melihat suara itu. Gabriel sedang menatapnya lewat mata berwarna biru yang membuat Lexi terpaku sesaat. Lexi kemudian menyadari bahwa terlalu lama dirinya menatap mata Gabriel dan dia tidak ingin Gabriel salah paham. "Aku sedang mencari kelas berikutnya dan sedikit olahraga," kata Lexi. Untungnya dia pintar berbohong. Tentu saja di akademi diajarkan cara untuk memanipulasi keadaan seperi yang dialami Lexi sekarang ini. Gabriel memiringkan kepalanya kemudian menarik lengan Lexi. "Kautahu ruangan apa itu?" Lexi menggeleng, walaupun sebenarnya dia jelas tahu apa isi ruangan itu. "Kau bisa dikeluarkan dari kampus jika masuk ke sana," kata Gabriel. Saat itu juga, Lexi ingin tertawa dan mengatakan, aku lebih tahu darimu dan masa bodoh jika aku dikeluarkan. Tapi dia lebih memilih untuk memasang tampang polos. "Ah, kalau begitu lebih baik aku pergi sekarang." Lexi mencoba melepaskan tangannya dari Gabriel. “Kau kira aku akan membiarkanmu pergi begitu saja dan melupakannya? Aku bisa saja mengatakannya pada pihak kampus dan membuatmu dikeluarkan, tapi aku punya pilihan untukmu.” Sekarang Gabriel menyudutkan Lexi hingga dia menyentuh dinding di belakangnya. "Oke, apa yang kauinginkan?" Lexi memutar bola matanya. Gabriel menengadah seolah berpikir. "Kau bertanya padaku apa yang aku inginkan?" tanya pria itu sambil terkekeh. "Apa? Jadi seharusnya apa yang aku harus tanyakan?" Lexi memutar bola matanya lagi, bosan. "Ikut denganku ke pesta homecoming akhir pekan ini," kata Gabriel tanpa ragu. Lexi mengedipkan mata berkali-kali, seolah ada sesuatu di matanya. Pesta homecoming? Bahkan dia tidak ingat kapan terakhir kali pergi untuk berpesta. "Aku tidak suka pesta, yang lain saja," tuntut Lexi. "Tidak, aku hanya ingin kauikut denganku ke pesta homecoming." Lexi bisa saja menolak, tapi jika Gabriel mengadukannya ke pihak kampus dan membuatnya dikeluarkan, itu berarti misinya gagal. Misi gagal, itu berarti mengecewakan Nathan dan para petinggi akan mengirimnya keluar dari akademi. "Argh! Baiklah, aku akan datang," kata Lexi akhirnya. "Aku akan menjemputmu, nomor berapa kamar asramamu?" Lexi menatap mata Gabriel untuk kesekian kalinya. "Aku tidak tinggal di asrama. Aku tinggal di apartemenku yang kemarin." Sekarang, Gabriel yang menatap Lexi sedikit kebingungan. "Bukankah seharusnya kautinggal di asrama?" tanya Gabriel. "Maksudmu?" "Setiap anak baru tinggal di asrama di tahun pertama, kan?" Lexi memasang wajah polosnya lagi. "Ah, ya. Aku memang belum pindah, aku baru akan pindah hari ini," katanya berusaha meyakinkan Gabriel. "Kautahulah, aku baru pindah dan apartemenku akan kosong. Jadi sebelum saudara perempuanku datang aku harus tetap tinggal." Gabriel diam sambil menatap Lexi dalam jarak yang sangat dekat. Lexi yakin jantungnya telah berpindah ke telinga hingga dia bisa mendengar detaknya dengan jelas. "Oh, Freya Jordan itu saudara perempuanmu?” tanya Gabriel penasaran. Lexi benar-benar lupa bahwa dia menyamar sebagai Freya Jordan. Tapi Gabriel telah terlanjur mengetahui namanya karena dompet yang ditemukan olehnya. “Ya, saudara tiri,” sahut Lexi cepat. “Baiklah, beritahu aku jika kau sudah pindah agar aku bisa menjemputmu." Gabriel meraba saku celananya dan memberikan telepon genggam pada Lexi. Lexi mengerutkan dahi. Namun, kemudian dia tahu artinya. Dia kemudian mengambil telepon genggam Gabriel dan memasukkan nomor teleponnya. Lalu memberikannya lagi pada Gabriel. “Aku tahu harus mencarimu ke mana jika kau memberikan nomor palsu padaku.” Gabriel mengedipkan sebelah matanya pada Lexi dan kemudian meninggalkannya sendirian. Itu adalah hal yang baru bagi Lexi, terintimidasi oleh seorang pria. Biasanya dia yang akan mengintimidasi dan sangat ahli dalam membalikkan keadaan. Sekarang, entah kenapa dia hanya diam saja. "Dasar bodoh! Kenapa aku bilang kalau akan tinggal di asrama?" Lexi menyumpah. Dia kemudian mengambil telepon genggamnya dari dalam tas dan menekan tombol panggilan cepat yang dia simpan. "Halo? Ada apa?"  tanya Cindy yang mengangkat teleponnya secepat kilat. "Ada sedikit perubahan rencana," kata Lexi. "Perubahan rencana apa?" "Aku akan menemuimu dua jam lagi." Lexi menutup teleponnya dan berjalan keluar gedung. Lexi memang mengatakan hal yang terbenak di pikirannya begitu saja. Tapi, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukannya. Lexi akan mengubah sedikit rencana dan dia yakin semuanya akan baik-baik saja.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD