8. Gabriel McArrow

1942 Words
8. Gabriel McArrow Lexi menatap tajam pria di depannya yang tampak aneh. Pria ini adalah orang yang dia lihat di restoran mahal tadi siang. Dan orang yang berpapasan di hotel. Lexi jadi berpikir kenapa dia terlalu sering bertemu pria ini. "Apa yang kauinginkan?" tanya Lexi. "Bukankah seharusnya kau mempersilakanku untuk masuk?" tanya pria itu sambil mengulas senyum menawannya. Lexi baru ingat bagaimana tata krama saat ada seseorang yang bertamu, tapi pria ini belum dikenalinya dan mempersilahkan orang asing masuk ke apartemennya adalah ide yang buruk. "Ah, ya. Maaf, aku baru saja pindah dan apartemenku masih berantakan." Lexi berusaha mencari alasan agar tidak menyuruh pria itu masuk. Pria itu mengangguk mengerti. "Aku hanya ingin mengembalikan uangmu dan meminta maaf tentang ucapan temanku tadi siang." Pria itu memberikan amplop pada Lexi. Dia menatapnya bingung. Bagaimana pria ini tahu bahwa dirinya tinggal di sini padahal dia baru saja pindah. "Maaf, aku tidak menerima uang dari orang asing begitu saja. Lagi pula, uang itu untuk membayar makanan yang aku pesan." "Baiklah kalau begitu, kau bisa menggunakan uang ini untuk membayar sewa apartemenmu," kata pria itu sambil memasukkannya ke dalam saku jasnya. Sekarang Lexi tambah bingung. Memangnya siapa pria ini mau membayar uang sewa apartemenku? Memangnya aku tidak sanggup membayarnya, batin Lexi dalam hati. “Omong-omong, kau meninggalkan dompet milikmu.” Pria itu mengeluarkan dompet milik Lexi dan mengembalikan padanya. Lexi sendiri bahkan lupa bahwa dia baru saja kehilangan dompetnya karena tugas baru yang menyebalkan ini. “Oh, terima kasih,” kata Lexi. "Kalau begitu aku pergi, selamat datang di apartemen barumu. Semoga kau menyukainya." Pria itu kemudian berjalan menjauhi Lexi. Namun tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arah Lexi. “Kita akan bertemu lagi, kan?” “Aku yakin tidak,” jawab Lexi ragu. Entah apa yang membuatnya ragu, tapi pria ini bisa saja berbahaya dan bahaya sepertinya kata yang tidak bisa dia hindari. “Kita sudah bertemu empat kali sampai saat ini. Dan aku yakin kita akan bertemu lagi untuk yang kelima kalinya.” “Aku tidak percaya kebetulan. Jika kita bertemu lagi, berarti kau yang membuntutiku.” “Aku juga berpikir sama sepertimu. Tapi bagiku, kau yang membuntutiku, Miss Bluemoon.” Lexi benar-benar tidak suka sikap pria ini yang terlalu percaya diri. "Tunggu, untuk apa aku bicara padamu?" Lexi memelototkan matanya. "Tidak ada gunanya," tambahnya dan kemudian menutup pintu apartemen. Hal yang benar-benar tidak sopan meninggalkan seorang tamu di depan pintu. Tapi Lexi memang tidak mengenal pria itu dan sangat aneh bahwa pria itu tahu bahwa Lexi baru saja pindah ke tempat ini. "Weird," kata Lexi setelah menutup pintu apartemen. Lexi melempar tubuhnya di atas sofa. Kemudian mengambil catatan yang diberikan Cindy sebelum dia berangkat tadi. Catatan itu berisi jadwal kelasnya di jurusan yang telah dia pilih. Dia berusaha memahami semua tulisan yang tertera di catatannya. Senin: Kalkulus dan Fisika Selasa: Sistem Digital dan Rangkaian Listrik Rabu: Dasar Komputer dan Pemprograman Kamis: Dasar Elektronika dan Komunikasi Data Lexi terus saja memandangi kertas yang dia pegang. Hanya ada satu mata kuliah yang dia mengerti, yaitu dasar komputer dan pemprograman. Dia yakin itu tidak akan jauh dari yang dipelajarinya di akademi. Namun, mata kuliah yang lain, tidak memilki bayangan sama sekali. Sekeras apa pun dia mencoba untuk membayangkannya, yang muncul hanyalah gambaran mengenai orang yang akan menjelaskan di depan dengan sangat bosan dan dia hanya bisa menguap setiap saat. "Baiklah, besok akan jadi hari yang berat bagimu Lexi,” kata Lexi pada dirinya sendiri. Dia menuju kamar tidurnya, menarik selimut dan langsung terlelap begitu saja di atas kasur. *** Telepon genggam Lexi terus berbunyi dan mengganggu tidur nyenyaknya. Dia meraba nakas di samping tempat tidur dan mengangkat telepon. "Bluemoon, aku harap kau sudah bangun dan bersiap karena sebentar lagi kelas pagimu akan dimulai pada pukul delapan." Suara Cindy di ujung telepon membuat Lexi bangun dari tempat tidurnya. "Ah, ya. Aku sudah siap sekarang. Aku sedang …." Lexi terlonjak dan langsung melihat sekeliling untuk mencari handuk. "Aku sedang sarapan dan akan berangkat lima menit lagi." "Baiklah, segera berangkat secepatnya," perintah Cindy yang membuat Lexi memutar matanya. Lexi melirik jam di telepon genggamnya, pukul 7.45 pagi. Dia menutup telepon dan langsung menuju kamar mandi. Dia menyelesaikan mandinya dengan sangat cepat, hanya lima menit. Jika ada penghargaan untuk mandi tercepat, tentu Lexi adalah juaranya. Setelah berpakaian, dia langsung menyambar kunci motor di atas meja dan tas backpack berwarna abu-abu. Dengan motor kesayangannya itu, Lexi menuju kampus yang jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen. Universitas yang dipilihkan Nathan adalah kampus terbaik di kota ini. Banyak kalangan atas yang berasal dari lulusan kampus ini. Kebanyakan dari mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka di tempat ini. Tapi bukan berarti dengan uang mereka bisa membeli segalanya. Hanya anak-anak yang genius dan benar-benar serius pada jurusannyalah yang bisa bertahan di tempat ini. Untuk Lexi, dia yakin tidak akan bisa bertahan jika bukan karena penyamaran yang telah diurus dengan sebaik mungkin oleh Nathan. Jadi, mungkin Lexi bisa bersantai untuk urusan pelajaran, karena bukan itu tujuannya berada di sini. Lexi mengembuskan napas panjang. Dia tidak pernah mengira akan merasakan hal ini lagi, pendidikan formal. Karena, jika dia mengingat akan hal itu membuatnya kembali pada masa lalu saat bersama orang tuanya. Terlebih lagi, dia masih berada di New York, tempat kelahiran, dan rumah baginya. Arom khas pepohonan pertengahan musim semi, cuaca yang cukup panas di pagi hari dan cukup lembab di malam hari pada musim gugur, cuaca ekstra dingin hingga minus dua derajat celsius saat musim dingin, serta musim panas yang bisa membuat orang memunuhi pantai-pantai terdekat. Itu semua adalah kenangan New York yang selalu Lexi ingat. Terutama, dia begitu ingat saat ayahnya mengajak ke pertandingan baseball sejak awal musim pertandingan. Ayahnya memang seorang penggemar baseball. Dia akan mengajak Lexi pergi menonton pertandingan dengan menggunakan kaus kebanggaan timnya, Yankees. Ibunya tidak pernah ikut dalam ritual tahunan itu. Jadi, Lexi menganggapnya seperti waktu ayah dan anak yang dilakukan setiap tahun. Setelah pertandingan selesai, ayahnya akan selalu mengajaknya untuk membeli es krim sambil bercerita mengenai sejarah tim kesuaannya. Dan dia hanya akan mengangguk-angguk sambil menjilati es krimnya. Sekarang, dia tidak akan pernah merasakan hal itu lagi. Kadang dia menyesal tidak bisa mendengarkan ayahnya bercerita lagi, atau mendengar omelan ibunya, serta membantu memilihkan sayur dan buahan saat berbelanja di supermarket. Mungkin, karena itu juga dia tidak pernah meninggalkan New York, terlalu banyak kenangan yang tidak mau dilupakan. Sekarang, Lexi menatap setiap orang yang berkeliaran di halaman kampus. Tempat ini terlalu besar untuk dijelajahi di saat dia sedang terburu-buru. Jadi dia berusaha bertanya pada orang di sekitanya untuk mencari ruangan. "Permisi," sapa Lexi pada dua orang pria yang sedang berbincang. "Aku mencari ruangan—" Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, para pria itu pergi tanpa menghiraukan Lexi. Sungguh sangat tidak terduga, orang-orang yang tidak ramah. "Ya, baiklah. Pergi saja sana! Aku bisa mencari ruangan itu sendiri!" teriak Lexi pada kedua pria yang pergi meninggalkannya. Butuh waktu hampir sepuluh menit untuk menemukan kelas yang dituju. Dia membuka pintu ruangan dan semua mata tertuju padanya. Dengan terburu-buru Lexi segera menuju meja kosong yang berada di paling belakang. Lexi mengeluarkan alat tulis dan mulai memperhatikan penjelasan dari dosennya. Dia hanya bisa memandangi papan tulis sambil mencoret-coret tidak jelas di bukunya. Pelajaran yang dijelaskan sama sekali tidak dia mengerti tentang apa yang dikatakan dosennya di depan. Tepat seperti dugaannya, dia hanya bisa menguap setiap kali dosennya mejelaskan. "Baiklah, aku ingin kalian mengerjakannya dalam waktu lima menit dan aku akan menunjuk seseorang untuk mengerjakannya di depan," kata dosen itu. Lexi benar-benar tidak tahu apa yang harus dia tulis. Dia hanya takut dirinya yang akan ditunjuk. Lima menit berlalu, Lexi merapalkan doa di dalam hatinya agar bukan dia yang ditunjuk. Namun, nyatanya Lexi terlalu menjadi perhatian dari awal dan membuat dosennya mengingat wajah Lexi. Dosen itu memindai seisi ruangan dan berhenti saat mendapati Lexi yang duduk di paling belakang. "Aku rasa kau bisa mengerjakannya di depan, Miss Late," sindir dosen itu pada Lexi dengan sebutan nona yang terlambat. "Silakan maju." Dosen itu mempersilakan Lexi. Lexi maju selangkah demi selangkah menuju papan tulis dan berharap ada keajaiban datang. Dan saat itu juga dia melihat kertas di lantai yang bertuliskan “ini jawabannya”. Mata Lexi membelalak dan bersyukur keajaiban masih ada untuknya. Tapi, bisa saja jawaban itu jebakan dari orang yang ingin mengerjainya. Lexi menunduk untuk mengambil kertas itu dengan cepat saat dosennya sedang mengarah ke arah lain. Dia membaca kertas yang dia dapatkan dan berharap itu bukan jebakan karena setidaknya dia terlihat sudah mengerjakan soal. "Apa yang kaulakukan?" tanya dosennya saat melihat Lexi membungkuk dengan cepat. "Catatanku terjatuh," kata Lexi sambil melambaikan catatan yang baru saja dia ambil dari lantai. Saat berada di depan, dosennya itu mengamatinya dengan tegas. "Jika jawabanmu benar, aku akan menganggap kau tidak datang terlambat hari ini." Lexi mengangguk setuju, walaupun dia tidak yakin dengan jawaban yang tertulis di kertas itu. Dengan cepat, dia menuliskannya dan kembali ke tempat duduk. Dia yakin keberuntungan sedang tidak berpihak padanya dan Lexi terlalu malu untuk dipandang banyak orang saat dirinya tidak bisa apa-apa. Jadi, dia hanya nenunduk saat berjalan menuju tempatnya kembali. "Bagus sekali, jawabanmu tepat.” Dosen itu tersenyum pada Lexi. "Dan aku rasa kelas kita sudah selesai. Aku ingin kalian membaca materi yang telah saya berikan untuk hari ini dan untuk besok, karena minggu depan aku akan mengadakan kuis untuk materi hari ini." Semua orang membereskan bukunya dan berjalan keluar ruangan. Begitu juga Lexi dan dia sangat lega karena keberuntungan masih bersamanya. Lexi menghela napas panjang saat berada di luar kelas. "Kau meragukan jawabanku?" kata sebuah suara di belakangnya. Lexi memutar badan menuju sumber suara dan mendapati pria berambut pirang yang datang ke apartemennya kemarin. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Lexi kaget. "Aku? Aku memang mahasiswa tingkat dua di sini, dan kau?" tanya pria itu balik. Lexi memandangi pria itu dari atas hingga bawah. Saat dia pertama kali melihat pria itu di bar, Lexi berpikir pria itu memang tidak bersahabat. Lalu, saat Lexi bertemu lagi dengannya di restoran dan di apartemennya, pria itu terlihat sangat berbeda. Apalagi dengan jas mahal yang dia kenakan, pria itu terlihat lebih dewasa dari yang Lexi lihat saat ini. Dan sekarang pria itu berpakaian sebaliknya dengan jins dan kaus hitam. Benar-benar terlihat sangat lain dari yang Lexi lihat sebelumnya. "Jadi, kau mengambil jurusan ini?" tanya pria itu lagi. "Tunggu, perkataanku benar, kan? Kita bertemu untuk yang kelima kalinya. Apakah kau sengaja ingin bertemu denganku?" "Tidak, tentu saja tidak," bantah Lexi. Tentu saja tujuannya untuk memata-matai seseorang yang belum dia ketahui identitasnya. "Tunggu, kau bilang itu jawabanmu?" Lexi baru menyadari perkataan pria itu tadi. "Ya, memangnya akan ada orang yang ingin memberikan jawabannya pada orang asing yang datang terlambat?" sekarang pria itu malah menyindir Lexi. "Oh, ya? Excuse me, I don't care who you are, aku terlambat karena orang-orang di sini tidak cukup ramah untuk orang baru yang tersesat." Lexi berusaha membela dirinya sendiri. Pria itu memasang senyum lebarnya. "By the way, namaku Gabriel." Dia kemudian berjalan mengikuti Lexi. Lexi sudah terlanjur kesal dan dia memang gampang marah, bahkan dengan mentornya sekali pun bisa berdebat sangat hebat. "Kau mau pergi ke mana?" tanya Gabriel yang terus mengikuti Lexi entah berjalan ke mana. "Maaf, ya, tolong jangan ikuti aku. Aku punya urusan yang sangat penting di sini." Lexi berhenti dan kemudian menatap Gabriel. "Aku sangat berterima kasih karena kau dengan sengaja menjatuhkan jawabanmu dan membiarkanku mengambilnya, tapi sekarang kau harus menjauh dariku." Lexi memelototkan mata pada Gabriel. "Hei, siapa yang bilang aku sengaja menjatuhkannya untukmu? Kertasku memang tidak sengaja terjatuh dan kau beruntung jawabanku yang terjatuh karena aku membiarkanmu mengambilnya." Gabriel memasang wajah menyebalkannya pada Lexi. "Terserah, aku punya urusan yang lebih penting daripada bertengkar dengan pria tidak jelas sepertimu." Lexi menaruh lengannya di depan d**a dan berjalan menjauhi Gabriel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD