7. It Sucks!

1419 Words
7. It Sucks! "Itulah sifat yang tidak aku sukai darimu," kata pria itu. "Kau bisa pergi sekarang.” Perempuan itu menatap pria yang baru saja mengusirnya dengan kesal dan kemudian keluar dari restoran. Pria berambut pirang itu memandangi uang yang diletakkan Lexi di atas meja. Kemudian melirik sebuah dompet kulit lusuh yang tergeletak tidak jauh dari meja mereka. Pria itu menunduk untuk memungutnya. Saat dia melihat ke dalamnya, foto Lexi terpajang di kartu tanda pengenal dengan nama Alexi Bluemoon. "Simon," panggil pria itu. Seorang pria berjas yang tadi duduk berdua dengan perempuan di dekat Lexi berjalan menghampiri pria yang memanggilnya. "Ya, Sir?" "Cari tahu rumah perempuan itu, aku ingin mengembalikan uang dan dompetnya," perintah pria itu. "Ya, Mr. McArrow." Simon pun berjalan keluar dan langsung menjalankan tugasnya. *** Lexi mengendarai motor dengan kecepatan yang tidak normal hingga polisi lalu lintas memberhentikannya di tengah jalan. Benar-benar hari yang s**l. Ditambah lagi perempuan yang tadi di restoran membuat dirinya semakin kesal saja. Lexi menepikan motor dan polisi berhenti tepat di belakangnya. "Tunjukkan kartu identitasmu!" perintah salah satu petugas. Lexi meraba saku celananya dan mulai panik saat tidak menemukan dompet yang biasa dia kantongi. s**l, aku tidak mau berurusan dengan polisi, batinnya. Kemudian, dia ingat pada map yang diberikan Nathan, yang berisi tugas baru dan identitas palsu baru miliknya. Lexi mulai meraba map yang diselipkan di balik jaket. Kemudian memberikan tanda pengenal palsu miliknya. Petugas itu membaca dan kemudian menatap Lexi dengan tatapan aneh. "Bisa kaubuka helmnya?" tanya petugas itu. Lexi bukan seseorang yang suka melanggar peraturan, tapi dia sedang kesal saat ini. Mulai dari pagi tadi, saat di rumah Nathan, di akademi, dan dimarahi oleh perempuan murahan dengan pakaian yang terbuka di mana-mana. Dan sekarang berurusan dengan polisi bukanlah pilihan yang bagus. "Bisakah kauberikan surat tilangnya saja dan aku akan mengurusnya," katanya. Petugas polisi itu kemudian menuliskan surat tilang dan memberikannya pada Lexi. Setelah mendapatkan surat tilangnya, dia mengendarai motornya lagi, namun kali ini dengan kecepatan Normal. Lexi berkendara menuju akademi. Saat sampai di depan gedung, seperti biasa Brad duduk di tempatnya berjaga dan menyapa Lexi yang sedang kesal. Pria itu tahu betul bagaimana wajah Lexi saat sedang marah dan tidak jarang dia melampiaskannya pada Brad. Dan pria itu sudah terbiasa padanya, dia sudah menganggap dirinya sebagai adik dan Brad tidak marah akan hal itu. "Apa yang terjadi?" tanya Brad saat Lexi duduk di sampingnya sambil menaruh sebuah map di meja. "Jangan tanya, aku sedang bad mood," kata Lexi kesal. "Baiklah." "Nah, ternyata kau di sini, Bluemoon. Aku mencarimu ke mana-mana." Perempuan dengan pakaian ala sekretaris itu lagi. "Ada apa mencariku? Mau menertawaiku lagi karena kalah melawan si sok jagoan itu?" tanya Lexi sinis. Cindy diam sesaat dan baru menyadari bahwa yang dimaksudkan dengan sok jagoan adalah Nathan. "Maaf, tapi sebaiknya kaujaga kata-katamu itu, Bluemoon." "Dia memang sok jagoan dan menyebalkan!" "Aku rasa sifat itu memang mengalir dalam darahku jika kau tidak tahu itu." Suara berat Nathan membuat Lexi terlonjak dari kursi. "Aku minta satu tugas yang bermutu dan kau memberikan tugas murahan yang sangat kekanak-kanakan," kata Lexi marah. "Bukannya kau yang kekanak-kanakan dengan bersikap seperti ini?" tanya Nathan dengan sikap dinginnya. "Aku yakin tugas ini akan lebih berbahaya jika kau tidak berhati-hati dan aku ingin kau tidak membantahnya.” Nathan mengatakannya dengan nada tegas dan kemudian pergi. Cindy masih berdiri di tempatnya seolah terpaku dengan pertengkaran Lexi dan Nathan. "Bluemoon, aku sudah menyiapkan apartemen untuk tempat tinggalmu dan kau akan segera ditempatkan di salah satu universitas yang sudah ditentukan. Aku hanya butuh persutujuanmu untuk menentukan jurusan yang kauinginkan. Kita bertemu satu jam lagi di ruanganku." Cindy mengibaskan rambut pirangnya yang seolah-olah tergerai bebas. Lexi memutar bola mata, bosan. "Menyebalkan sekali!" katanya. "Kau akan masuk universitas?" tanya Brad yang sejak tadi diam. Bahkan Lexi baru sadar Brad sedang memandanginya penasaran. "Bukan ideku … dan aku tidak pernah menyetujui hal itu." Brad tertawa. "Bukankah memang seharusnya kau sudah kuliah? Umurmu, kan, sudah dua puluh tahun." Lexi menatap Brad yang sedang menertawainya. "Kautahu aku sangat susah beradaptasi dengan lingkungan baru—dalam jangka waktu yang cukup lama. Dan aku yakin penyamaran ini akan sangat lama." "Tapi setidaknya kau akan merasakan kehidupan normal lagi, kan?" Brad melipat tangannya di depan d**a. "Kau akan merasakan punya teman perempuan, tertawa bersama mereka, jalan-jalan, atau mungkin kau bisa mendapatkan pacar." Brad memelankan suaranya saat mengatakan pacar. "Kau bercanda? Aku sedang menyamar, bukan bersenang-senang." Lexi melototkan mata pada Brad. Brad tertawa lagi dan perbincangan itu berakhir hingga satu jam berlalu. "Baiklah, Brad. Aku senang ada kau di sini. Kau selalu bisa mengubah suasana hatiku. Aku rasa kau adalah kakak laki-laki impianku," goda Lexi pada Brad. Brad tersenyum sambil mengekor Lexi sampai lift dan dia tidak terlihat lagi. Seperti yang dikatakan Cindy, Lexi menuju ruangannya tepat satu jam kemudian. Sebelumnya, dia bertanya pada Brad siapa nama perempuan dengan pakaian ala sekretaris itu. Brad seperti sebuah peta dan pengingat nama setiap orang. Pria itu selalu tahu nama setiap orang di gedung ini dan letak ruangan mereka. Tentu saja itu sudah menjadi salah satu tugasnya. Lexi menuju lantai 37 tepat di mana ruangan Cindy berada. Brad bilang padanya ruangan 20B adalah ruangannya. Lexi menghitung setiap ruangan walupun tertulis nomor di setiap pintu. Dia kemudian berhenti tepat di depan ruangan Cindy dan mengetuknya. "Bagus sekali, kau tepat waktu," kata Cindy sambil membukakan pintu ruangannya. "Silakan duduk. Aku ingin kau memilih jurusan yang kauinginkan." "Aku ingin mengambil sastra, jurusan itu yang aku minati dari dulu." Lexi duduk di depan meja kerja Cindy. Cindy memutarinya untuk duduk di kursi kerjanya. "Aku sangat yakin itu adalah jurusan yang kauinginkan, tapi ada beberapa hal yang harus kau perhatikan dalam memilih jurusan kali ini." Lexi mendengarkan Cindy dengan serius sambil bersandar santai. "Pertama, kita belum tahu target kita, tapi Mr. Alexander yakin orang yang kita mata-matai berada di jurusan yang tidak jauh dari teknik." Mata Lexi membesar saat mendengar kata teknik. Setahu Lexi, jurusan itu adalah jurusan paling menyeramkan di mana selalu ada hitungan di setiap mata kuliahnya dan Lexi sangat membenci matematika. Bukan hanya matematika, tapi yang berbau hitung-hitungan. “Wah, wah. Bukan berarti aku harus berada di jurusan itu, kan?" tanya Lexi penasaran. "Aku menyarankan kau memilih di antara beberapa jurusan yang sudah Mr. Alexander pilihkan." Cindy menyodorkan kertas berisi list jurusan yang bisa dia pilih. 1. Civil engineering 2. Mechanical engineering 3. Electrical engineering 4. Nuclear sciences and Physical engineering 5. Architecture 6. Biomedical engineering 7. Information technology Saat melihat daftar itu, Lexi bahkan tidak mengerti apa yang akan dia pelajari. "Semua jurusan ini juga banyak dipelajari di akademi. Hanya saja di akademi kau mempelajarinya secara langsung dengan praktik dan di universitas nanti kau akan belajar teorinya." Cindy menjelaskan. "Baiklah, aku akan ambil jurusan …." Lexi berhenti dan di dalam hatinya, dia sedang memilih secara acak. "Nomor tiga, aku pilih itu," kata Lexi akhirnya. "Baiklah, aku akan segera mengurusnya dan kau bisa menyiapkan barang-barangmu. Aku akan kirimkan alamat apartemenmu." Lexi mengambil telepon genggam di saku dan mendapati alamat apartemennya. Dia langsung bersiap-siap dan menuju tempat itu dengan motor kesayangannya. Tentu saja dia tidak akan menggunakan kendaraan apa pun yang akan di pinjamkan akademi. Lexi hanya akan menggunakan motor BMW miliknya. Saat sampai di depan kamar apartemen, Lexi mengembuskan napas lega. Mungkin Nathan benar, sifatnya kekanak-kanakan dan dia memang butuh tempat sendirian di mana dia bisa bebas. Selama ini Lexi selalu tinggal di akademi, kadang dia menginap di hotel jika sedang tidak ingin bertemu dengan Nathan. Lexi menaruh tasnya di lantai dan melompat di atas sofa empuk. Apartemen ini memang tidak mewah dan tidak terlalu besar, tapi bagi Lexi cukup untuk dirinya sendiri. Sudah lama sekali dia tidak pernah merasakan punya rumah. Punya dapur sendiri, ruang tamu sendiri, dan meja makan sendiri. Betapa dia merindukan kenangan masa lalu bersama kedua orang tuanya. Akademi mungkin memang seperti rumahnnya sendiri. Tapi akademi hanya menyediakan kamar berukuran kecil yang hanya berisi tempat tidur dengan lemari kecil yang menghiasi di pojok ruangan. Akademi juga tidak menyediakan dapur untuk digunakan secara pribadi, dan hanya menyediakan makanan bernutrisi lengkap untuk dinikmati bersama di aula dengan agen-agen lainnya. Sedangkan untuk kamar mandi, mereka juga berbagi dengan yang lainnya. Karena itu, melihat apartemen ini, mengingatkannya lagi dengan rumah lamanya. Suara bel pintu membuat Lexi terlonjak dengan kaget. Dia bersiaga untuk kemungkinan penjahat yang mengetahui keberadaannya. Tapi, Lexi baru ingat dia sedang menyamar di tempat ini dan baru saja pindah. Mungkin itu tetangga di apartemen sebelah yang ingin berkunjung. Saat Lexi membukakan pintu, seseorang dengan setelan jas mahal memunggunginya, rambut pirangnya mengingatkan akan seseorang. Pria itu berbalik sesaat setelah ia membuka pintunya. "Miss Bluemoon?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD