4. Blushing

1411 Words
4. Blushing Nathan mengusap-usap kepalanya sambil mengembuskan napas panjang. Jelas bukan napas kelegaan, melainkan napas penyesalan. Pria itu tidak mengerti kenapa Lexi tiba-tiba marah seperti itu. Baginya, memarahi perempuan itu adalah hal biasa dan dia biasanya hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saat Nathan memarahinya. Namun kali ini Lexi jelas tidak dalam kondisi yang baik, mungkin karena itu dia marah. Lagi pula, perempuan memang memiliki mood yang berubah-ubah dan pria tidak pernah tahu kapan dia akan merasa marah dan tiba-tiba menjadi senang. "Bolehkah aku menggunakan kamar mandimu?" tanya Marline yang menyadarkan lamunan Nathan. "Ya," jawab pria itu singkat dan langsung pergi menuju kamarnya lagi. Nathan berbalik sesaat. "Kau harus segera pergi jika sudah selesai," tambahnya sebelum benar-benar menutup pintu kamar. *** Lexi terus memaki dirinya sendiri. Dia masih tidak mengerti kenapa marah pada Nathan dan menyia-nyiakan kesempatan langka untuk berlama-lama di rumah Nathan. Dia justru membiarkan perempuan lain tinggal di rumah Nathan. "s**l! Apa yang harus aku lakukan sekarang!" Lexi menyumpah kesal sambil memukul stir mobil. Lexi melirik jam tangannya—pemberian dari Nathan saat dia mendapatkan nilai tertinggi di kelas bertarung. Padahal, saat itu, kondisinya sedang kurang sehat. Tapi demi mendapatkan hadiah dari pria yang dia sukai, Lexi berani mempertaruhkan semuanya. Dia memang mendapatkan beberapa luka lebam yang hilang dalam waktu dua minggu, tapi semua itu terbayar saat Nathan memberikannya hadiah jam tangan itu. Baru pukul delapan pagi dan dia belum mendapatkan makanan sejak kemarin. Selama mengintai, Lexi tidak makan sama sekali dan terlalu fokus untuk memikirkan makanan. Jadi, dengan cepat dia memebelokkan mobil ke arah restoran cepat saji yang buka 24 jam dan menyediakan layanan drive thru. "Pesan dua burger ukuran besar dengan double cheese dan minuman soda berukuran besar," pesan Lexi. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit hingga pesanan siap dan langsung membayarnya. Suasana hatinya sedang tidak enak sekarang, tapi jika itu urusan perut maka dia akan dengan senang hati melupakan semua hal. Jika Lexi ingat-ingat, dia sudah beberapa hari ini tidak pergi ke akademi karena sibuk dengan misinya. Jadi, dia segera melesat menuju akademi yang mungkin saja bisa membuat suasana hatinya berubah. Sambil membawa bungkusan sarapan paginya, Lexi membuka pintu utama akademi. Di dalam terdapat ruangan paling depan yang terdapat meja seperti meja resepsionis. Seseorang duduk di sana dengan pakaian resminya, sambil mengamati layar televisi di depannya. "Hai, Brad," sapa Lexi sambil menaruh kedua tangannya di atas meja. Pria yang dipanggil Brad itu melirik ke arah sumber suara. "Oh, hai, Lexi. Terlalu pagi untuk latihan? Aku tebak … kau terbangun pagi sekali dan merindukanku," goda Brad pada Lexi. "Kau yang terbaik." Lexi mengulas senyum sambil tertawa. Bagi Lexi, akademi adalah rumahnya. Bukan karena dia tidur dan tinggal di sana, dia menganggapnya begitu, tapi suasana akademi yang selalu ramai dengan orang-orang baru, hingga orang-orang lama yang bekerja di sana. Saat tahun pertamanya belajar di akademi, Lexi bahkan ingat betul bagaimana Brad dengan begitu antusiasnya memperkenalkan dirinya ke seluruh pekerja di akademi saat itu. Sayangnya, dia bukan orang yang bisa dekat dengan orang lain jika dia tidak nyaman. Dan hanya Brad yang bisa bertahan dengan dirinya. "Omong-omong, bagaimana misi pertamamu?" "Baik, setidaknya ada kemajuan." Lexi benar-benar tahu caranya berbohong. "Bagaimana dengan Mr. Alexander? Ada kemajuan dengannya?" Pertanyaan yang membuat Lexi mengingat pria itu. "Aku beri tahu, tapi rahasiakan ini, ya?" Lexi memelankan suara, padahal tidak ada siapa pun di tempat itu. "Ya," kata Brad sambil mencondongkan tubuhnya menghadap Lexi. Brad sudah seperti sahabat bagi Lexi. Pria itu yang tahu pertama kali bahwa dia menyukai mentornya. Dan hingga sekarang mereka masih sering bercengkerama serta berbagi cerita. Sebenarnya, Lexi yang selalu menceritakan kejadian yang dialaminya, sedangkan Brad menjadi pendengar yang sangat baik. "Rumah Nathan tidak seperti yang kita bayangkan, lebih terlihat monoton dan modern," kata Lexi pelan. Brad memelototkan mata. "Kaumasuk ke rumahnya?" "Iya, hanya sebentar, sih. Tapi aku tidur di sofa miliknya." Lexi tersenyum kecil. "Itu kemajuan yang bagus." Brad mengangkat kedua ibu jarinya. "Baiklah, ini untukmu." Lexi menyodorkan satu paper bag berisi burger yang tadi dia beli kepada Brad. Pria itu mengambilnya, kegirangan. "Wah, kau sangat tahu kalau aku sedang lapar." "Kau memang selalu lapar, Brad." Lexi tertawa dan kemudian menghilang masuk ke lift. Dia menuju ruang persenjataan dan mengambil barreta di loker dengan beberapa peluru. Kemudian menuju ruang latihan menembak. Sebelum memulai latihan, tentu saja Lexi memakan burger yang dia beli dan menghabiskannya secepat kilat. Sekarang dia mulai memikirkan tentang tato barcode yang dimiliki penjahat di gedung tua itu. Benar-benar mirip seperti tato yang dimiliki pembunuh orang tuanya. Hal itu tentu bukan sebuah kebetulan, tato itu pasti lambang sebuah organisasi atau semacamnya. Tapi, sampai sekarang Lexi belum bisa mendapatkan informasi yang jelas mengenai pembunuh kedua orang tuanya itu. Sekarang Lexi berdiri sejajar dengan target. Bidik, tekan pelatuknya, dan puluru melesat tepat ke kepala target. Dia mengulang tembakannya berkali-kali. Menuangkan kekesalan pada target palsu di depannya. *** "Mr. Alexander," ujar Brad yang sedang memakan burger pemberian Lexi. "Apakah Lexi ke sini?" tanya Nathan. "Ah, ya. Dia di ruang latihan. Mungkin ruang latihan menembak, aku lihat dia sedang meluap-luap." Brad seolah terdengar menggoda Nathan. "Terima kasih." Nathan kemudian berjalan menuju lift. Pria itu sebenarnya tidak ingin menyusul Lexi dan meninggalkan orang lain berada di rumahnya sendirian. Nathan benar-benar memiliki privasi yang tinggi, terutama tentang kehidupannya dan masa lalunya. Tapi tentu saja, dia sudah mengunci setiap ruangan yang dianggapnya privasi, terlebih lagi ruang rahasia yang tidak mungkin bisa ditemukan oleh Marline di rumahnya. Lagi pula, Nathan merasa kasihan pada Marline setelah mendengar ceritanya. Dia jadi ingat pada Lexi saat Nathan meyelamatkannya. *** Lexi masih menatap ke depan sambil memegang baretta dan mulai menembak lagi. Saat tiba-tiba seseorang mendekapnya dari belakang, membenarkan posisi menembaknya. "Kau masih saja lupa posisi yang benar saat menembak," ujar sebuah suara yang terdengar sangat jelas di telinganya. Suara yang membuat Lexi kesal pagi ini. Aroma tubuh Nathan terasa memabukkan bagi dirinya, padahal tercium bau sabun bercampur aroma jeruk dan lemon. Entah dari parfum yang dipakainya atau apa pun itu. Lexi merasakan suhu tubuhnya naik sekarang. Nathan belum pernah mengajarinya dalam posisi yang sedekat ini. Tapi, dengan cepat dia melepaskan dekapan Nathan dan maju ke depan. "Kenapa kau menyusulku?" tanyanya tiba-tiba, yang tidak tahu harus mengatakan apa lagi. "Aku tidak menyusulmu, aku memang kebetulan ingin ke sini dan melihatmu yang masih saja tidak benar saat mengambil posisi menembak." Nathan mulai menjelaskan alasan yang tentu saja bohong. Pria itu ke tempat ini karena mengkhawatirkan Lexi. "Aku tidak akan memasukanmu ke dalam misi hingga lukamu sembuh," katanya kemudian. "What!" Lexi memelototkan mata. "Tidak, kautahu aku sedang dalam percobaan untuk bisa menjadi agen lapangan," bantahnya. "Aku mentormu dan aku berhak memutuskan semuanya." Suara Nathan padat dan jelas. Terdengar seperti seorang yang sangat penting dalam hidup Lexi. Pria itu benar, Lexi tidak bisa menjalani misi berbahaya saat luka tembaknya masih belum sembuh. Lagipula, Nathan juga mengkhawatirkan keadaannya jika masuk ke dalam misi lagi. Terlalu berisiko untuk Lexi bekerja di lapangan untuk saat ini Lexi menaruh baretta di atas meja dan mengambil minuman soda berukuran jumbonya. Dia hanya bisa pasrah dengan keputusan yang diambil Nathan untuknya. Semua itu memang berisiko dan dia tahu itu. "Baiklah, setidaknya berikan aku satu misi yang tidak berbahaya menurutmu," Lexi memohon. Nathan hanya diam, seolah berpikir. "Mungkin aku punya satu misi untukmu, tapi aku ingin kau mendengarkan semua perintahku atau aku akan mengeluarkanmu dari akademi." Lexi mengangguk dengan cepat. Dia selalu berharap mendapat misi mengintai berdua dengan Nathan, tapi sampai sekarang dia belum mendapatkan apa yang diharapkannya selama ini. Dan untuk kali ini, dia berharap bisa mendapatkan misi bersama Nathan. "Lanjutkan latihanmu!" Perintah Nathan yang mendapati Lexi sedang memandanginya. Lexi sadar bahwa Nathan memergokinya sedang menatap wajahnya. Dia kemudian membuang pandangan wajahnya dan berusaha untuk tidak salah tingkah. "Aku harus ke toilet," kata Lexi akhirnya. Dia pun langsung menuju toilet yang jaraknya tidak jauh dari ruang latihan menembak. Lexi cepat-cepat melepas jaket yang terlihat sudah lusuh itu dan mencium aromanya. Harum wangi dari tubuh Nathan masih menempel di jaketnya. "Ya, ampun. Aku tidak akan pernah mencuci jaket ini," ujarnya sambil mengenakan jaket itu kembali. Sekarang dia terpaku pada pantulan cermin di depannya. Wajah pucat, rambut coklat gelap yang berantakan. Dia benar-benar butuh mandi sekarang. Setelah keluar dari toilet, Lexi juga tidak melihat Nathan. Lexi menatap jam tangannya, hampir pukul sembilan pagi dan sebagian para penghuni akademi sudah datang. Hari ini, hari Kamis, dan Nathan punya satu kelas untuk diajari. Jadi, pasti pria itu sedang berada di ruang kelas. Dan waktu yang tepat bagi Lexi untuk mandi serta membersihkan semua kotoran di tubuhnya, terutama darah yang masih tersisa di beberapa tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD