5. Excercise

1376 Words
5. Excercise Marline telah selesai membersihkan tubuhnya yang sudah beberapa hari ini tidak dimandikan. Dia seperti menemukan harta karun paling berharga dan tidak akan menyia-nyiakannya. Nathan, orang yang cukup baik menurut asumsinya. Setelah membiarkan Marline untuk menggunakan kamar mandinya, sekarang pria itu membuatkan makanan untuknya yang disiapkan di atas meja. Marline meloncat kegirangan dan memakan makanan itu dengan lahap. Dia juga sudah lama tidak makan sesuatu yang dimasak, biasanya hanya memakan makanan kaleng yang rasanya hampir kedaluwarsa dan membuat Marline ingin muntah setiap kali merasakannya. Setelah menghabiskan makanannya, Marline mencuci piring. Rumah Nathan memang tidak terlalu kotor, tapi setidaknya dia bisa membersihkan beberapa bagian yang menurutnya bisa dibersihkan. Nathan adalah orang yang menyukai kebersihan. Itu bisa dilihat dari kondisi rumahnya sekarang. Marline pikir, pasti Nathan memiliki seorang pacar dan pastilah perempuan itu seseorang yang terlihat cantik dan dewasa. Marline bersyukur bahwa dia terlihat dewasa dengan rambut pirang panjangnya yang terurai. Tapi, jika dibandingkan dengan pacar Nathan, Marline pasti kalah saing, mungkin. Walaupun dia belum pernah melihat perempuan pilihan Nathan, tapi dia pasti bisa membayangkannya. Seseorang yang tinggi, dan memiliki tubuh seperti seorang model, tidak seperti dirinya yang terlihat kurus. Tapi, semua itu Marline singkirkan. Selama dia membersihkan rumah Nathan, Marline tidak melihat satu pun foto yang terpajang. Entah karena pria itu memang tidak suka memajang foto atau memang dia tidak memiliki foto. Tapi biasanya, jika seorang pria memiliki pacar, perempuan itu pasti setidaknya menaruh satu foto di ruang tamu agar orang lain yang berkunjung bisa tahu bahwa dia sudah memiliki pasangan, walaupun si pria tidak memajangnya. "Pria ini benar-benar misterius." Marline tersenyum lebar dan mulai membersihkan lagi sambil melihat-lihat. *** Lexi baru saja menyelesaikan mandinya yang sangat lama. Butuh waktu hampir satu jam baginya untuk membersihkan sisa-sisa darah yang menempel dan mengering. Ini pertama kalinya Lexi mendapatkan luka tembakan. Setidaknya, rasanya hampir seperti seseorang yang patah hati, walaupun dia belum pernah merasakan patah hati. Rambut cokelatnya yang basah dibiarkan tergerai. Kemudian Lexi berjalan untuk mencari Nathan. Dia sangat tahu kelas mana yang akan diajari oleh mentornya itu. Dia melewati koridor-koridor di lantai 13. Ruang latihan di lantai 13 kebanyakan dilakukan untuk latihan bertarung satu lawan satu dengan tangan kosong. Membuatnya ingat betapa dia selalu tersesat saat awal masuk ke akademi. Dan lagi-lagi Brad yang membantunya menemukan setiap ruangan. Ruang latihan bertarung, tertulis di depan pintunya. Lexi membuka pintu itu sedikit dan menyembulkan kepala. Di ujung ruangan, dia bisa melihat Nathan yang sedang dikelilingi orang-orang. Lexi masuk ke ruangan dan berdiri mengamati Nathan yang sedang menginstruksi. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, tepatnya orang-orang yang sedang diajari oleh Nathan adalah murid-murid senior yang berumur 25 sampai 30 tahun. Rata-rata murid Nathan yang dimentorinya berumur sekitar 25 tahunan, tapi Lexi berumur di bawah 25. Tadinya, Lexi memang akan dilatih oleh orang lain. Tapi dia menolak jika bukan Nathan. Dan saat itu Nathan juga mengiakan, dia bilang bertanggung jawab atas Lexi karena dia yang membawanya. Dan sampai saat ini, Nathan-lah yang mementorinya. Lexi menatap Nathan lekat-lekat. Pria itu benar-benar terlihat tampan dengan kaus hitam yang dia kenakan. Dengan cepat, Lexi mengambil telepon genggamnya dan mengambil posisi untuk mengambil gambar Nathan. Dia memang tidak memiliki foto Nathan, pasalnya pria itu tidak suka difoto. Alasannya karena dia seorang mata-mata. Bagi Lexi itu masuk akal, tapi dia hanya akan menyimpan gambar itu di galeri teleponnya, jadi baginya tidak akan jadi masalah. Namun, dia tidak ingin terlihat sedang mengambil gambar Nathan, jadi seolah-olah dia sedang ber-selfie. Beberapa kali Lexi memotret Nathan untuk mendapatkan gambar terbaik. Beberapa kali juga Nathan melihat ke arahnya dan dia hanya terseyum seolah-olah sedang selfie. Beberapa menit kemudian kelas selesai. Orang-orang mulai meninggalkan ruangan. Nathan masih berdiri di ujung ruangan, pria itu melirik Lexi sesaat dan kemudian berjalan kearahnya. "Berikan telepon genggammu!" Perintah Nathan. Lexi mengerutkan dahinya, seolah-olah bingung. "Untuk apa?" tanyanya kemudian. "Berikan saja, aku tahu apa yang kaulakukan." "Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa pun!" bantah Lexi. "Kau memotretku, kan?" Nathan menyodorkan tangannya untuk mengambil telepon genggam Lexi. "Tidak, memangnya kau tidak lihat aku sedang selfie?" Lexi berbohong. Nathan mengangkat satu alisnya. "Apakah seseorang yang selfie membutuhkan flash kamera belakangnya?" tanya Nathan. Lexi mengerjap, dia merasa sangat bodoh. Kemudian memberikan telepon genggamnya pada Nathan. Setelah menghapus semua foto dirinya, pria itu mengembalikan telepon genggam Lexi dan berjalan keluar ruangan sambil tersenyum. Tentu saja Nathan tersenyum tanpa terlihat oleh Lexi. Lexi masih berdiri di dalam ruangan sambil memanyunkan bibir. "s**l! Kenapa flash-nya menyala, sih!" katanya dengan kesal. Lagi-lagi dia gagal untuk mendapatkan foto pria yang disukainya. Kemudian, dia mencoba apakah benar yang dikatakan Nathan. Saat Lexi menekan tombol kameranya dan benar saja, flash kamera belakangnya masih menyala. Sekarang, Lexi merasa sangat bodoh, benar-benar bodoh. Bagaimana bisa dia tidak memeriksa apakah flash-nya menyala atau tidak. Pasalnya dia memotret di tempat yang terang, karena itu dia tidak menyadari flash-nya menyala. "Dasar flash, s****n!" sumpahnya. Kemudian keluar ruangan mengikuti Nathan. Pria itu sudah tidak ada saat Lexi keluar ruangan. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Mengira-ngira ke mana Nathan pergi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke kiri. Gedung akademi di New York terdiri dari 45 lantai yang kebanyakan lantainya digunakan untuk ruang latihan. Tapi karena memiliki halaman yang sangat luas dan ruang bawah tanah yang tidak kalah luasnya, kadang latihan dipindahkan ke luar ruangan atau ke bawah tanah. Lantai 1 sampai 10 merupakan kamar asrama para agen-agen muda. Lantai 11 sampai 25 adalah ruang latihan. Sedangkan lantai 26 sampai 44 merupakan ruang kantor untuk para pekerja. Dan lantai paling atas, lantai 45, digunakan untuk para tamu penting yang berkunjung. Lexi masih berjalan mengikuti arah lorong hingga akhirnya dia tahu tujuannya. Ruangan kerja Nathan, dia menuju ke sana. Tempat yang selalu diingatnya, berada di lantai 40 ruangan 55A. Dengan cepat dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai 40. Pintu terbuka saat di lantai 35 dan seorang perempuan dengan pakaian ala sekretaris masuk ke dalam lift sambil memegang map berisi kertas. Lexi bersandar di pojok lift dengan santai sambil memandangi perempuan itu dari atas hingga bawah. Dia sempat berpikir bagaimana jika menggunakan pakaian seperti itu dan menunjukkannya pada Nathan. Lexi tertawa dalam hati, membayangkan hal itu. Memakai flat shoes saja tidak pernah apalagi mengenakan sepatu heels. Lexi menggeleng-geleng sambil tersenyum lebar. Perempuan di depannya melihat tingkah Lexi yang sedikit aneh dari pantulan di pintu lift. Kemudian perempuan itu menoleh padanya dan memasang tatapan yang tidak bisa dijelaskan oleh Lexi. "Apa yang kau tertawakan?" tanya perempuan itu. Lexi menatap perempuan itu santai. "Aku tidak tertawa, aku tersenyum dan itu berbeda." Dia mengulas senyum sinisnya. Pandangan perempuan itu kembali ke depan dan menghiraukan Lexi. Lift berhenti, lampu mati dan semuanya benar-benar tidak terlihat. "Apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?" tanya perempuan itu menuduh Lexi yang menyebabkan semua ini. "Aku tidak melakukan apa-apa, kau kira aku yang melakukannya!" Lexi masih dalam posisi santai sambil bersandar. Perempuan itu sedang berusaha menggedor-gedor pintu lift yang jelas saja membuat Lexi tertawa karena itu sia-sia saja. Tiba-tiba sesuatu dari atap lift terdengar decitan karet yang bergesek. Kali ini Lexi berada dalam posisi siaga. Dia sering melihat adegan seperti ini di film action—walaupun dalam film tidak benar-benar seperti yang digambarkan—dan saatnya bersiap pada posisi bertarung. "Hei, kau, cepat berdiri ke belakangku!" perintah Lexi pelan pada perempuan itu. Perempuan itu segera mengikuti perintah Lexi, dia juga tahu bahwa ada sesuatu yang aneh dan Lexi terlatih dalam situasi seperti ini. Pandangan mereka sangat terbatas di sini. "Tetap di sini dan biarkan telepon genggammu menyala!" perintah Lexi lagi. Perempuan itu mengikuti perintah Lexi lagi, kemudian dia berjalan ke sisi berlawanan dari tempat perempuan itu. Beberapa detik kemudian seseorang turun melalui atap lift dan menerjang perempuan itu. Dia memakan umpan yang kuberikan, sangat bagus, batin Lexi. Dengan satu gerakan pasti, Lexi balik menyerang orang yang menerjang perempuan itu. Kemudian melingkarkan tangannya pada leher orang itu. Dia yakin bahwa lawannya adalah seorang pria, karena postur tubuhnya yang tinggi Lexi jadi sedikit susah menjangkaunya. Dan Lexi merasakan sesuatu yang familiar. Aroma sabun yang bercampur aroma jeruk dan lemon, dia sangat mengenali aroma ini. Aroma dari Nathan dan dia sangat yakin itu. Lexi memang bisa membedakan aroma dari setiap orang dan mengingatnya, seperti bau khas setiap orang. "Nyalakan listriknya," pinta Lexi tiba-tiba sambil berbisik pada telinga orang yang dia sergap. Pria itu mendengkus pelan. "Bagaimana kalau kita bertarung saja?" tanyanya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD