3. Bleeding

1283 Words
3. Bleeding Nathan membaringkan tubuh Lexi di sofa miliknya, yang tentu saja akan dipenuhi darah setelahnya. Tapi, Nathan sudah tidak peduli, yang dia pentingkan sekarang adalah Lexi. Bahkan dia lupa belum mengenakan bajunya. Nathan mengambil beberapa alat untuk membedah beserta barang lain yang dia butuhkan. Kemudian beralih melihat perempuan yang tadi membawa Lexi sedang berdiri di ambang pintu penuh kebingungan. "Bantu aku dan jangan diam saja di sana!" Nathan memerintah. Dengan cepat perempuan itu menghampiri Nathan yang sedang membersihkan darah di tubuh Lexi dan membuka pakaian untuk mulai mengambil peluru yang tertinggal di tubuhnya. "Tunggu! Apa yang akan kaulakukan padanya?" Perempuan itu menyentak tangan Nathan. "Seharusnya itu dilakukan oleh dokter!" Perempuan itu mulai berteriak lagi. "Aku seorang dokter, jadi biarkan aku menyelesaikan tugasku atau dia mati," kata Nathan berbohong untuk membungkam perempuan itu dan tidak mengintrupsinya lagi. Perempuan itu hanya diam sambil mulai membantu Nathan dengan mengambilkan barang-barang yang dibutuhkannya. Hampir setengah jam lebih, Nathan menyelesaikan tugasnya. Mengambil peluru yang bersarang di tubuh Lexi sampai menjahit lukanya. Dia sekarang sudah mengenakan pakaian dan duduk di sofa dengan sisi yang berlawan dengan Lexi. Perempuan yang membantunya tadi juga duduk di sampingnya. "Jadi kau seorang dokter?" tanya perempuan itu kemudian. "Hmmm," gumam Nathan. "Maaf, hanya saja kau tidak terlihat seperti seorang dokter." Perempuan itu menunduk malu. "Omong-Omong, namaku Marline." Nathan hanya diam. Pria itu memang memiliki sifat yang sangat dingin, kaku, dan tidak peduli. Bahkan, dia jarang sekali kedatangan tamu di rumahnya. Mungkin hanya beberapa orang yang pernah memasuki rumah Nathan—ia memang sangat menjaga privasinya. Tapi, kali ini dia memberikan pengecualian pada Lexi dan Marline. "Bisakah aku tahu namamu?" tanya Marline, dia berusaha mencairkan suasana yang benar-benar canggung. Lagi-lagi Nathan hanya diam. "Jika boleh tahu, kau siapanya perempuan ini?" tanya Marline lagi. "Bisakah kaudiam untuk sesaat! Kepalaku sakit sekali mendengarmu bicara," ujar Nathan yang tiba-tiba bangkit dari sofa dan pergi meninggalkan Marline menuju kamar. Mata Marline mengekor hingga Nathan masuk ke kamarnya. Rupanya, Marline belum pernah bertemu seseorang yang sangat dingin tapi baik hati. Kalau tidak, pria itu mungkin tidak akan membiarkan Marline masuk ke rumahnya dan menolong Lexi yang hampir sekarat. Marline bersandar pada sofa di belakangnya dan membaringkan kepala. Sudah beberapa hari belakangan ini, Marline tidak tidur dan tidak mandi dengan layak. Bahkan pakaiannya belum diganti selama tiga hari. Marline menguap kemudian memandang Lexi sebentar dan menutup matanya. *** "Cepat masuk ke ruang bawah tanah!" perintah ayahnya. "Mom, apa yang terjadi?" tanya Lexi dengan kebingungan. "Dengarkan perintah Dad dan jangan keluar! Jika kami tidak selamat kau harus segera pergi lewat pintu rahasia di bawah tanah." Ibunya mengecup kening Lexi sesaat sebelum meninggalkannya. Lexi menuruti perintah orang tuanya dan menunggu di ruang bawah tanah. Hingga suara tembakan terdengar dari ruangan di atasnya. Dia segera berlari keluar dan mencari sumber suara tersebut. Darah berceceran di setiap sudut ruangan. Lexi menutup mulutnya, berusaha agar tidak menjerit. Namun, dia sudah meneteskan air mata. Kemudian dia mengikuti jejak darah yang berakhir menuju ruang dapur. Ibunya sudah tergeletak dengan mata terbuka dan tidak bernyawa, terlihat dia sangat kesakitan. Di sisi yang berlainan, Lexi melihat ayahnya yang sudah tersungkur di bawah sambil menatapnya. Ayahnya memelototkan mata padanya untuk mengisyaratkan pergi. Ada dua orang pria yang memegang s*****a. Yang satunya, berdiri dekat mayat ibunya dengan sebuah tato barcode menghiasi punggung tangannya dan yang satunya lagi sedang menodongkan s*****a pada ayahnya. Lexi menutup mulut agar tidak berteriak. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain menangis dan suara tembakan memekikkan telinganya. Ayahnya tertembak tepat di kepala. Lexi menjerit saat melihat hal itu. Kedua pria itu menoleh ke arah sumber jeritan Kemudian, pria yang berdiri dekat mayat ibunya langsung mengacungkan s*****a pada Lexi. Dia terdiam di tempat tanpa bisa melakukan apa pun. Kakinya sudah terasa lemas dan dia akan pingsan. Saat pria itu menekan pelatuknya, Lexi sudah pasrah dan yakin bahwa dia akan mati saat ini juga. Namun, ternyata peluru pria itu habis, membuatnya mengambil kesempatan untuk berlari menjauhi pria itu dengan cepat. Pria itu mengejar Lexi dan berhasil mendapatkan lengannya. Dia meronta-ronta agar terlepas. Tapi tenaga pria itu lebih kuat dan lebih besar darinya. Lexi menendang-nendang pria itu dan berhasil melepaskan lengannya dari jeratan pria itu. Sekali lagi pria itu mencapainya dan menarik kakinya. Lexi terjatuh dan kepalanya tersungkur ke lantai. Bayangannya kabur sesaat dan kepalanya terasa sangat pusing. Darah mulai mengalir dari dahi dan dia bisa melihat pria itu memegang benda untuk memukul dirinya. Sekarang, Lexi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Suara tembakan lagi, entah sudah berapa kali Lexi mendengar suara tembakan dan terus membuat telinganya berdengung. Dia mengira dirinya telah mati, tapi pria itu tidak memegang s*****a. Tiba-tiba pria itu terjatuh dan sebuah lubang peluru menghiasi jantungnya. *** Lexi terbangun dengan tenggorokkan yang terasa sangat kering serta perutnya yang terasa perih. Sebuah perban menghiasi perutnya yang terlihat ramping. Dia bangkit dari sofa dan memandang sekeliling. Dia berada di sebuah rumah, yang sebelumnya dia belum pernah masuki. Lexi mengingat kalimat terakhirnya untuk membawa dirinya pada Nathan. Tapi, tidak mungkin Nathan membiarkannya masuk. Pria itu sangat jarang membiarkan orang lain masuk ke rumahnya. Namun, jika dia benar berada di rumah Nathan, maka dia akan sangat senang sekali. Lexi berjalan sambil memegangi perutnya yang perih sembari pergi menuju dapur. dia baru saja bermimpi buruk lagi, mimpi yang selalu menghantuinya selama tiga tahun ini. Hari di mana ayah dan ibunya dibunuh secara kejam di depan matanya sendiri. Hampir selama satu tahun Lexi mengalami gangguan mental dan tidak bisa tidur. Karena, setiap dia menutup mata, bayangan kedua orang tuanya yang dibunuh selalu terbayang dan dia benar-benar merasa trauma akan hal itu. "Jadi namanya Lexi," kata sebuah suara dari dapur. "Ya, orang tuanya dibunuh tiga tahun lalu dan itu sebabnya Lexi membenci orang-orang yang memperjual-belikan perempuan," jelas sebuah suara dari dapur juga. Lexi mengenali suara bariton itu. Nathan dan seorang perempuan duduk berdampingan di meja makan. Lexi berdeham saat berada diambang pintu. Perempuan itu dan Nathan menoleh. "Kau sudah bangun? Ya ampun, sebaiknya kautiduran saja, lukamu belum sembuh." Marline berdiri dari tempatnya dan menghampiri Lexi. "Kalau aku menunggu sampai lukaku sembuh, aku akan mati kehausan." Lexi berjalan menuju lemari pendingin milik Nathan. "Dia hanya mengkhawatirkanmu," ujar Nathan tiba-tiba. "Ah, ya, ini semua karena aku menolongnya dan jujur, aku tidak meminta imbalan untuk itu," kata Lexi sinis. Sebenarnya dia tidak ingin bersikap sinis seperti itu, tapi entah mengapa mulutnya berbicara begitu. "Kalau begitu aku akan membuatkanmu bubur, kau pasti lapar." Perempuan itu menatap Lexi yang sedang meneguk air dingin dari botolnya langsung. Kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh seorang perempuan. "Tidak perlu, aku akan pulang." Lagi-lagi Lexi berkata sinis. Dia ingin sekali menutup mulut terkutuknya yang seenaknya berbicara. "Biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan. Kau sangat bodoh!" Nathan memarahi Lexi. "Kalau aku bodoh, maka aku tidak dapat nilai sempurna di setiap kelas di akademi." Lexi memelototkan mata pada Nathan. Lexi benar-benar marah, entah karena Nathan mengatainya bodoh atau hal lainnya. Tapi itu hal biasa bagi dirinya, kalau Nathan mengomel. Pria itu adalah mentor Lexi dan dia sedang dalam masa percobaan untuk tugas di lapangan. "Ah, ya, kau memang pintar sampai-sampai membahayakan dirimu sendiri dan berbohong padaku." Nathan mulai menyindir. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Lexi berjalan ke luar ruangan dan mengambil sisa barangnya yang tertinggal di meja dekat sofa. Perempuan itu mengenakan jaketnya yang lusuh dan membanting pintu dibelakangnya. "s**l! Kenapa aku jadi semarah ini? Apa penyebabnya?" Lexi menyumpah di depan mobilnya—bukan, melainkan mobil yang dipinjamnya dari akademi. Dia memiliki sebuah motor, tapi karena dia sedang menyamar, dia tidak ingin motornya tergores sedikit pun. Padahal Lexi sudah susah payah untuk bisa masuk ke rumah Nathan dan dia membuangnya sia-sia dengan marah-marah tidak jelas. Tentu saja dia gengsi untuk masuk lagi. Dengan sedikit penyesalan dan kekesalan, dia menyalakan mesin mobil dan melesat menjauhi rumah Nathan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD