2. Shoot!

1732 Words
2. Shoot! Tepat pukul enam malam, Lexi sudah berada di sebuah gedung tua seperti yang dikatakan pria itu. Sebenarnya, misinya hanya sampai menginterogasi pria tadi, tapi dia bersikeras untuk dapat bagian dalam situasi ini. Dia tentu saja belum mengatakan apa-apa tentang hal ini. Saat mentornya menelepon, Lexi hanya bilang, informasinya masih kurang dan dia menutup teleponnya cepat-cepat. Nathan adalah mentor Lexi. Pria itu adalah orang yang tegas dan keras kepala—seperti tipikal para orang tua yang sangat protektif terhadap anaknya. Tapi dengan perawakan Nathan yang lebih seperti superhot mentor, membuat Lexi menyukainya. Terlebih lagi, Nathan sudah menjadi mentornya sejak awal dia masuk ke akademi, kira-kira sekitar tiga tahun yang lalu. "Baiklah, ini akan menjadi hari terbaikmu, Lexi," ujarnya pada diri sendiri, berusaha menyemangati. Gedung-gedung tidak terpakai ini dulunya adalah pabrik sepatu yang sekarang sudah tidak digunakan lagi dan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Bentuknya yang menutupi seluruh sisi dan kosong di tengah-tengah menjadikannya terlihat seperti rumah sakit daripada bekas pabrik. Lexi terus-terusan bergerak tidak sabaran. Ini akibat baju yang dia kenakan dan menempel begitu lekat dengan kulit seperti kulit keduanya. Pakaiannya ini membuatnya tidak bebas bergerak. Ditambah lagi, dia mulai merasakan gatal. "Persetan dengan pakaian ini!" Sumpahnya. Dia berdiri di balik salah satu gedung dan mengamati setiap penjuru gedung dengan teropong yang dibawanya. Sebuah baretta  lengkap dengan peluru diselipkan Lexi di balik bajunya . Ada juga pisau lipat di sepatunya yang bisa keluar dengan sedikit memberikan tekanan lebih di bagian belakang sol. Hampir dua jam lebih dia menunggu dan seseorang muncul dari balik gedung di sisi kanan. Seorang pria yang dikawal dengan tiga orang berpakaian hitam yang membawa s*****a di setiap pinggangnya. Lexi memicingkan matanya dan mengamati lewat teropong jarak jauhnya. Lima orang lagi muncul dari sisi yang berlawanan dan salah satunya adalah seorang perempuan yang mengenakan pakaian berwarna merah muda. Perempuan itu mengenakan make up yang sudah berantakan di mana-mana, maskara yang luntur, lipstik yang sudah hampir tidak kelihatan, dan rambut yang berantakan, seperti tidak pernah disisir berhari-hari. Lexi bisa mendengar isakan perempuan itu sambil memohon. Kemudian salah satu pria mendorongnya untuk diserahkan pada pria yang satunya lagi. Sejumlah uang di koper diberikan kepada orang yang membawa perempuan itu. Uang, seorang perempuan yang memohon, dan pria mata keranjang. Pasti ini adalah perdagangan manusia, lebih tepatnya perdagangan perempuan. Perempuan itu menangis lagi. Lexi menyumpah. Dia tidak pernah suka melihat perempuan lemah seperti yang dilihatnya sekarang. Dulu, dia memang pernah merasakan seperti yang dirasakan perempuan di depannya, hingga Nathan yang menjadi mentornya sekarang, menolongnya. Saat itu, Lexi merengek untuk ikut bersama Nathan. Awalnya dia tidak mengizinkan Lexi mengikutinya, tapi karena melihat keadaan Lexi yang saat itu hampir terlihat seperti orang mati, pria itu mengizinkannya tinggal beberapa hari hingga dia mendapatkan tempat tinggal. Namun, Lexi bersikeras agar Nathan membawanya ke organisasi mata-mata tempat di mana pria itu bekerja; The Eye, mereka menyebutnya begitu. The Eye adalah sebuah organisasi mata-mata independen yang tidak terikat pada pemerintah. Namun, mereka tetap bekerja sama dengan organisasi pemerintahan seperti CIA dan FBI. The Eye berpusat di Langley, Virginia, Amerika Serikat, yang berdiri di atas lahan seluas dua ratus hektare dan biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan penting para petingginya. The Eye juga memiliki akademi sendiri yang digunakan untuk merekrut serta melatih para agen-agen muda mereka dan tersebar di berbagai wilayah Amerika, salah satunya di New York, tempat akademi Lexi berada. Setelah penuh dengan pertimbangan, Nathan memasukkan Lexi ke akademi, The Eye. Membuat Lexi menjadi seseorang yang tangguh, kuat, tidak seperti dirinya yang pertama kali Nathan kenal. Menjadi salah satu murid dengan nilai teratas di kelasnya. Sekarang, setelah hampir tiga tahun berguru pada organisasi mata-mata itu, Lexi mendapatkan kesempatan untuk terjun langsung ke lapangan. Memburu para mafia itu. Di saat beberapa orang lebih suka bekerja di belakang meja dan bersantai-santai, Lexi lebih suka berlari-lari ke sana kemari dan melesatkan peluru dari baretta kesukaannya. Walaupun risiko yang dia ambil sangatlah besar, dia tetap ingin menjadi seseorang yang tangguh dan berbeda dari dirinya yang dulu. Sekarang pikiran Lexi kembali pada perempuan di hadapannya yang sedang menangis. Membuat dia bergidik setiap melihat adegan seperti itu. Kemudian, pria yang membawanya tadi sudah pergi dan sekarang hanya tinggal pria yang membelinya dan pengawalnya yang sedang mengamati perempuan itu dengan garang dan nafsu yang sangat besar. "Tolong … terserah kau mau apakan aku, asal jangan bunuh aku.” Perempuan itu memohon. Pria yang berada di depannya tersenyum licik, kemudian menatap dengan penuh kebencian. "Kalian boleh melakukan apa pun pada perempuan ini, setelah itu bunuh dia dan tinggalkan mayatnya di sini," perintahnya. "Aku harus pergi, ada urusan yang lebih penting dari ini dan aku ingin kalian selesaikan dengan cepat. Aku butuh kalian satu jam lagi." Setelah mendengar perkataan tuannya dan memastikannya sudah pergi, mereka menatap perempuan itu lagi yang sekarang tangisannya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Lexi mengerjap beberapa kali dan menyumpah lagi. "s****n! Aku harus menolong perempuan itu," katanya. Pria-pria itu menatap jijik kepada si perempuan. "Tolong, jangan bunuh aku.” Perempuan itu memohon lagi. "Kami tidak akan membunuhmu sampai kau memuaskan kami," kata salah satu pria itu. Dan kemudian, dua orang memegangi tangan perempuan itu. Lexi menyumpah lagi, dia harus bertindak sekarang. Dengan cepat, dia meraba s*****a yang disembuyikannya di balik baju. Kemudian mulai membidik salah satu pria yang berada di tengah dan mulai menekan pelatuk baretta-nya. Suara tembakan memekakkan telinga. Pria itu terjatuh dengan peluru yang menembus kepala. Lexi tersenyum puas melihat bidikannya tepat mengenai sasaran. Latihan yang dia lakukakan tidak sia-sia selama ini dan dia merasa beruntung karenanya. Dua pria yang sedang memegangi perempuan itu langsung cepat-cepat menarik s*****a mereka yang berada di pinggang. Tapi Lexi lebih cepat beberapa detik dari mereka dan melesatkan pelurunya lagi. Satu orang tersungkur lagi, Lexi berhasil mengenai kakinya. Yang satunya lagi mengenai bahu. Kedua pria itu terkapar di tanah sambil menyumpah. Lexi keluar dari tempat persembuyiannya dan menghampiri perempuan itu yang menatapnya  terkejut sambil membelalakkan mata. "Tolong jangan bunuh aku," pinta perempuan itu lagi. "Bodoh! Kau kira saat seseorang datang sambil membawa s*****a dan menembakkan pelurunya pada pria yang hampir saja mau membunuhmu dia juga akan membunuhmu?" Lexi menatapnya kasihan sekaligus kesal. Sekarang dia berpaling dari perempuan itu dan menerjang salah satu pria yang kesakitan akibat tembakan yang dilesatkannya. "Beritahu padaku siapa bosmu!" perintah Lexi. "Enyah kau, Jalang!" teriak pria itu. Sambil masih mengacungkan senjatanya, Lexi terkekeh. "Well, kau bukan satu-satunya yang memanggilku ‘Jalang’," katanya sambil tertawa. "Berikan aku informasi dan aku akan mengampunimu." Lexi menatap kedua pria itu merendahkan. Matanya beralih pada sebuah tato di leher salah satu pria. Dan pikirannya tiba-tiba masuk ke dalam ingatan yang telah lama dia pendam. Sebuan tato di leher pria itu mengingatkan Lexi pada para penjahat yang membunuh kedua orang tuanya. Tato seperti barcode. Bedanya, pria yang membunuh Lexi memiliki tato ditangannya. "Bosku akan membayar semua ini padamu," sergahnya. “Dari mana kau mendapatkan tato ini?” tanya Lexi yang mulai merubah pertanyaannya. Pria itu terkekeh. “Kenapa kau jadi tertarik dengan tatoku, Jalang?” “Katakan dari mana kau mendapatkan tato ini!” Mereka diam. Sekarang Lexi mulai kesal dan tidak sabaran. Dia melesatkan peluru pada pria itu lagi, mengenai bahu kiri yang belum tertembak. "Katakan, cepat! Kalian membuang-buang waktuku, tahu!" Saat Lexi sedang teralihkan dengan salah satu pria, pria yang lainnya menendang kakinya hingga dia kehilangan keseimbangan dan berlutut di tanah. Lexi mengerang kesakitan, sambil menyumpah. "s****n!" Tentu saja, dua pria itu memanfaatkannya dengan mengambil s*****a mereka. Saat Lexi menoleh pada para penjahat itu, mereka berdua telah memegang s*****a di tangan masing-masing yang diacungkan padanya. Dia mentap datar kedua pria itu untuk berusaha tenang. Keadaannya tidak menguntungkan untuk Lexi, kedua pria itu juga tidak. Mereka hanya menodongkan pistol agar mereka selamat. Lexi bisa menembak mereka lagi, tapi setidaknya mereka juga bisa menembak dirinya dan mereka yakin Lexi tidak ingin mengambil risiko mati di tempat ini. Dia akhirnya mundur perlahan sambil menarik perempuan itu. Saat mereka berada di ujung gedung dan sudah sampai pada salah satu pintu keluar, Lexi menyuruh perempuan itu untuk membukanya. "Ini terlalu keras, aku tidak bisa membukanya." Perempuan itu mengaduh. "Pegang ini dan terus bidik mereka. Tekan pelatuknya jika mereka bergerak." Lexi berbalik dan mendorong pintu di belakangnya. Memang cukup keras, tapi dengan kekuatan penuh, akhirnya dia berhasil mendobrak pintu. Perempuan itu memberikan s*****a kembali padanya dan tiba-tiba peluru mulai melesat ke arah mereka. Hujan peluru menghantam mereka. Untungnya mereka bisa segera keluar sebelum mereka tertembak. Saat sampai di depan gedung, Lexi berlari menuju mobil yang diparkir sembarangan olehnya. Namun, tiba-tiba dia merosot ke tanah seperti orang lumpuh. "Kau tertembak!" Perempuan itu menjerit histeris. Kebiasaan seorang perempuan yang tidak pernah Lexi suka. Lexi terkapar. Dia membuka baju untuk memeriksa tubuhnya dan mendapati peluru tepat mengenai perutnya. "Bawa mobilku," ujarnya sambil memberikan kunci mobil. Perempuan itu mengambil kunci yang diserahkan Lexi dan membantunya hingga masuk ke dalam mobil. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Perempuan itu sudah menyalakan mesin mobil. "Jangan!" perintah Lexi. "Bawa aku pada Nathan, bawa aku padanya." Lexi terengah-engah saat mengatakannya. Sepertinya efek dari kehilangan banyak darah. "Siapa Nathan? Aku tidak tahu dia tinggal di mana." Perempuan itu menatap Lexi khawatir yang pakaiannya sudah penuh dengan darah. "Aku akan memberi tahu jalannya, dasar bodoh!" Lexi masih saja memarahi seseorang yang akan menolong dirinya. Sebenarnya Lexi yang menolong perempuan itu tadi, tapi sekarang dia yang terkena tembakan dan perempuan itu satu-satunya harapan untuknya pergi dari tempat terkutuk itu sebelum dia benar-benar kehilangan banyak darah dan pingsan atau lebih parah lagi, mati. Setelah memberikan petunjuk pada perempuan yang tidak dia kenali itu, Lexi sudah tidak bisa menahan rasa sakit dan kantuk yang datang secara tiba-tiba. "Tetaplah sadar," kata perempuan itu yang sekarang sudah berhenti pada sebuah rumah berukuran besar yang di sekelilingnya hanyalah pepohonan dan tanah yang ditumbuhi rerumputan liar setinggi mata kaki. Lexi sudah tidak sadarkan diri sekarang dan perempuan itu harus memapahnya hingga ke teras rumah. Ukuran tubuh Lexi memang lebih kecil dari perempuan itu, tapi dia memiliki bobot yang luar biasa berat. Ini pasti karena latihan kerasnya yang dia jalani selama ini. Perempuan itu menekan bel pintu, sambil berharap dia tidak perlu menekan untuk yang kedua kalinya. Seorang pria yang bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana olahraga, keluar sambil terkejut. "Ya, Tuhan! Apa yang terjadi padanya?" Pria itu langsung menopang Lexi yang seakan-akan tidak berat sama sekali. "Dia tertembak," kata perempuan itu berusaha menjelaskan. "Aku tahu, tapi apa yang dia lakukan sampai seperti ini?" tanya pria itu penasaran. "Dia menolongku agar mereka tidak membunuhku." Sekarang pria itu kelihatan sangat khawatir sekaligus marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD