Bab 2. Guru Cantik Di Sekolah Dan Anak Bermasalah 2

1662 Words
# Ethan Atmadikara tampak kebingungan mencari putranya. Ini adalah hari pertama Noah Atmadikara, putra Ethan satu-satunya masuk sekolah yang baru dan karena Ethan tahu bahwa hari pertama selalu menjadi hari yang sulit untuk Noah sehingga dia berusaha menyisihkan waktu di antara kesibukannya untuk bisa menemani putranya Noah di hari pertama masuk ke sekolah TK ini. Sebenarnya Noah sendiri bukanlah anak yang memiliki gangguan kepribadian, bukan juga anak yang senang membuat masalah seperti yang selalu disimpulkan oleh orang-orang. Hanya saja Noah adalah anak yang terlalu sensitif sehingga dia akan menolak untuk dekat dengan orang yang tidak disukainya. Yang terjadi, guru-guru maupun teman-teman Noah di TK sebelumnya selalu memaksa untuk dekat dengan Noah saat tahu kalau nama belakang Noah adalah Atmadikara dan itu yang membuat Noah akhirnya berontak. Sebagai seorang ayah, tentu saja Ethan sangat mengenal karakter putranya itu. Karena itu Ethan tidak pernah menyalahkan Noah. Karena Ethan tahu kalau Noah memang lebih suka menjaga jarak dengan orang lain dan bersikap introvert dalam pergaulannya. Meskipun sebagai akibat dari tingkah Noah yang sulit untuk dekat dengan orang lain selain orang-orang yang memang benar-benar dekat dengannya tersebut itulah sehingga Ethan harus beberapa kali memindahkan sekolah Noah. Padahal Noah baru saja mulai bersekolah di usianya yang akan menginjak lima tahun ini. Tadi Ethan sesungguhnya hanya sebentar saja meninggalkan Noah karena dia harus ke toilet. Namun begitu dia keluar, Noah sudah tidak berada di tempat di mana dia meninggalkannya sebelumnya sehingga sekarang Ethan akhirnya harus kebingungan mencari Noah. Untung saja dari arah lapangan, Noah berlari ke arahnya dengan menyeberang lapangan dan Ethan dengan cepat langsung menyambut putranya tersebut. "Papa sudah bilang sebelumnya kalau dirimu tidak boleh ke mana-mana dan tunggu papa di tempat tadi. Papa hanya pergi sebentar tapi saat Papa keluar dari dalam toilet, kau sudah tidak ada di sana. Apa yang terjadi Noah? Kenapa kau tidak mendengarkan Papa?" tanya Ethan pada putranya. Nada suaranya terdengar lembut meskipun kalimatnya jelas mencerminkan kekhawatiran. Noah memilin jarinya sebentar sebelum akhirnya memeluk leher ayahnya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah. "Aku melihat orang jahat. Pria yang jahat," jawab Noah. Ethan menarik nafas panjang. Mendengar Noah yang mengatakan laki-laki jahat atau pria jahat, wanita jahat atau perempuan jahat, nenek yang jahat atau bahkan anak yang jahat sudah merupakan sesuatu yang terlalu biasa di telinga Ethan. Noah sepertinya memakai penyebutan itu untuk mengungkapkan rasa tidak suka serta rasa tidak nyamannya berada di dekat seseorang atau ketika melihat seseorang yang entah kenapa bisa membuat Noah merasa tidak suka. Beberapa kali bahkan Ethan harus menjelaskan dan meminta maaf pada orang yang secara tidak langsung merasa telah dikatai oleh putranya dengan sebutan-sebutan di atas. "Dengar Noah, kau tidak bisa menyebut seseorang jahat secara terang-terangan kecuali dirimu memiliki bukti bahwa dia berbuat jahat. Tanpa bukti kata-katamu hanya akan dianggap sebagai sebuah kebohongan dan menuduh seseorang tanpa bukti itu adalah sebuah kesalahan besar," Ethan mencoba menjelaskan pada putranya untuk ke sekian kali. Noah hanya mengangguk pelan, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali ayahnya memberinya nasehat. Bukannya dia mengabaikan nasehat ayahnya tapi ada beberapa kondisi di mana Noah tidak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang dia rasakan pada sang ayah. Noah kemudian melepaskan pelukannya di leher Ethan dan menatap wajah ayahnya itu dengan sungguh-sungguh. "Aku mau sekolah di sini," ujar Noah kemudian. Ethan cukup terkejut mendengar pernyataan dari putranya itu. Terlebih Noah mengatakannya tanpa dorongan atau bujukan siapa pun dan juga dengan wajah yang benar-benar serius. Sebelum-sebelumnya, Noah tidak pernah mau bersekolah. Kejadian buruk di TK pertamanya membuat Noah sepertinya merasa tidak nyaman di luar rumah, apalagi ketika harus berbaur. Bahkan Noah cenderung menolak setiap kali diantar ke TK. Itulah sebabnya Ethan menemaninya hingga ke dalam sekolah hari ini dengan izin khusus dari Kepala Sekolah. Ucapan Noah yang menyatakan kalau dirinya ingin sekolah di sekolah tersebut membuat Ethan akhirnya mengangguk senang. "Kau memiliki teman bermain baru rupanya. Syukurlah kalau begitu, Papa ikut senang. Apa tadi kau menolong temanmu dari pria yang kau sebut jahat itu?” tanya Ethan. Noah mengangguk cepat tanpa menjawab. Ethan tersenyum. “Apa kau mau mengenalkan temanmu pada Papa?" tanya Ethan. Dia kemudian menurunkan Noah dari gendongannya. Noah lalu menatap wajah ayahnya sambil mendongak. "Akan aku kenalkan pada Papa nanti. Karena dia orang yang sangat baik dan dia sangat mirip dengan Papa, aku jadi menyukainya," ujar Noah. Ethan mengurutkan dahinya sejenak saat mendengar ucapan Noah. Sebelumnya Noah pernah mengatakan padanya kalau dirinya adalah satu-satunya orang baik di dunia ini yang pernah dia temui. Mendengar Noah mengatakan kalau ada orang lain yang mirip dengannya, membuat Ethan dalam hatinya menjadi penasaran. Kira-kira anak laki-laki seperti apa yang dibilang mirip dengannya oleh Noah. Seakan mengetahui apa yang dipikirkan oleh ayahnya, Noah kemudian mendekat dan menyentuh d**a Ethan tepat di tengah. Menekannya pelan dengan tangan mungilnya. "Bukan. Papa salah. Bukan wajahnya yang seperti Papa, tapi ini yang seperti Papa. Sangat mirip," ujar Noah. Maksud Noah adalah orang itu memiliki hati yang sebaik Ethan. Terkadang Ethan sendiri ada di masa di mana dia kadang kala tidak bisa benar-benar memahami maksud dari perkataan putranya yang terdengar misterius. Mungkin karena memang Noah juga masih terlalu kecil sehingga dia kurang bisa menggambarkan maksudnya dengan tepat lewat kalimat. Bel kemudian berbunyi sebagai tanda kalau sekarang anak-anak harus berbaris di lapangan sesuai dengan kelas yang sudah ditentukan saat mereka mendaftar. Para guru yang masih berusia muda tampak membimbing anak-anak yang berseragam TK untuk berbaris. Mendengar nama kelasnya dipanggil, Noah dengan bersemangat langsung ikut berbaur untuk berbaris. Namun kemudian anak itu terlihat ragu dan mengerutkan dahinya. "Aku tidak mau di kelas ini!" protes Noah terang-terangan. Dilla yang menjadi wali kelas Noah kemudian melangkah mendekati Noah. "Sayang, kalau ingin belajar kau harus mendengarkan perintah Bu guru dan harus berbaris dengan rapi seperti teman-temanmu," bujuk Dila setelah sebelumnya melemparkan tatapan penuh arti ke arah Prisha yang saat ini juga sedang mengatur anak-anak kelasnya. Noah yang tadinya sudah berada di dalam barisan, memilih keluar dari barisannya dan berdiri di tengah lapangan. Tatapannya tertuju ke arah ayahnya yang ada di pinggir lapangan. Umumnya orang tua sudah tidak diizinkan untuk mengantar anak-anak hingga ke dalam area sekolah. Semua harus menunggu di luar gerbang sekolah. Tapi untuk kasus Noah yang sedikit istimewa, Kepala sekolah akhirnya mengizinkan Ethan untuk mengantar Noah di hari pertama untuk membantu Noah agar lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. "Papa aku tidak mau di kelas itu! Aku benar-benar tidak mau," teriak Noah ke arah ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Melihat itu, Ethan dengan segera berlari menuju ke arah Noah. Namun langkah Ethan dicegah oleh Prisha. Bagaimanapun, di mata Prisha saat ini, rekannya Dilla sedang berusaha menenangkan Noah dan kondisi Noah sekarang belum di tahap membutuhkan campur tangan orang tua. "Pak, kalau Anda ikut campur sekarang, anak Anda tidak akan pernah bisa mandiri dan pada akhirnya Anda harus kembali memindahkan sekolahnya. Biarkan kami guru-guru yang mencoba membujuknya," ucap Prisha menjelaskan dengan nada yang datar dan ekspresi wajahnya yang terlihat tetap tenang. Ethan menatap Prisha dingin. Dia merasa kesal dengan guru muda di depannya yang terlihat tenang padahal di tengah lapangan, putranya Noah sudah terlihat ingin menangis. "Saya tidak akan turun tangan kalau kalian para guru bisa melakukan pekerjaan kalian dengan becus. Kalau putra saya tidak ingin berada di kelas itu maka dia tidak perlu berada di kelas tersebut. Saya membayar mahal dan menyumbang ke sekolah ini bukan untuk melihat guru-guru yang bahkan tidak bisa menangani anak usia TK!" sindir Ethan kesal. Tatapan datar Prisha entah kenapa membuatnya merasa terprovokasi. "Saya dan rekan-rekan saya akan berusaha untuk membantu anak bapak. Sekarang pun rekan saya yang merupakan wali kelas anak bapak sedang berusaha dengan sungguh-sungguh, tapi untuk sekarang sebaiknya Bapak kembali ke pinggir lapangan. Jika kami memang gagal, maka Bapak bisa melakukan apa pun yang Bapak inginkan," balas Prisha. Dia sama sekali tidak terlihat gentar dengan Ethan yang saat ini menatapnya tajam. Dilla yang melihat hal itu bergegas mendekati Prisha setelah menitipkan Noah pada rekan gurunya yang lain. "Maafkan kami Pak," ujar Dilla buru-buru sambil membungkuk meminta maaf. Tapi Prisha meliriknya. "Kau tidak harus minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanmu. Jika tidak diberi kesempatan, kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya menjadi masalah anak dari Bapak ini sehingga menolak untuk berbaris di kelasmu," ucap Prisha sambil. "Please, sudah Sha. Dia ini Ethab Atmadikara. Bukan orang sembarangan. Memangnya kau tidak pernah mendengar namanya di TV? Sebaiknya kau juga meminta maaf karena telah menentangnya," bisik Dilla dengan nada khawatir. Prisha mengerutkan dahinya mendengar ucapan Dilla. Dia memang tidak tahu siapa Ethan Atmadikara meski nama itu terdengar tidak asing di telinganya. Namun bagi Prisha, siapa pun Ethan, tetap harus mematuhi aturan sekolah. Dengan Ethan yang tetap berada di dalam lingkungan sekolah di saat proses belajar mengajar akan dimulai saja sudah melanggar salah satu aturan sekolah. Hanya saja sebelum Prisha mengemukakan apa yang ada di pikirannya, dia merasakan seseorang seakan tengah menarik ujung pakaian yang dia kenakan. Saat dia berbalik dilihatnya Noah Tengah menarik ujung roknya pelan. "Tolong jangan marah pada Papaku. Papa hanya khawatir kepadaku," pinta Noah pada Prisha dengan mata berkaca-kaca seakan memahami kalau Prisha memang lemah pada tatapan anak kecil. Di sisi lain, Prisha sendiri sudah menyadari kalau anak pria di depannya itu adalah anak yang sama dengan yang sebelumnya menghancurkan s**u cokelat pemberian N kemudian mengalikan tatapannya ke arah etan. "Papa jangan marah pada temanku. Aku cuma ingin sekelas dengan temanku," ujar Noah kemudian. Ethan menatap putranya dengan tatapan tidak percaya. Tidak mungkin kan teman yang putranya bilang mirip dirinya itu adalah guru wanita di depannya. “Baiklah, di kelas mana temanmu itu berada? Anak laki-laki atau perempuan?” tanya Ethan. Tapi tatapan Noah yang kini hanya terpaku pada Prisha membuat Ethan akhirnya mengerti. "Ini teman yang kau bilang mirip dengan Papa?" tanya Ethan. Dan Noah mengangguk cepat. Tapi Ethan bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut di sini. Bahkan Prisha dan Dilla sendiri terkejut dengan pernyataan Noah. Dilla bahkan kembali mendekat ke arah Prisha dan berbisik. "Sekarang aku percaya kalau kau benar-benar adalah pawang anak kecil," ujar Dilla dengan nada pelan. Meski begitu, ucapan Dilla tetap bisa terdengar oleh orang lain, termasuk Ethan yang berdiri di hadapan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD