Bab 3. Mau Jadi Mamaku? 1

1420 Words
# Banyu menarik napas panjang setalah kakinya menapak turun dari pesawat yang membawanya kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun lamanya dia harus menetap di luar negeri begitu keluar dari penjara. Beberapa tahun lalu, Banyu dipenjara dengan tuduhan penganiayaan dan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa dari putranya sendiri, Bima. Tentu saja, untuk keluarga Banyu yang termasuk terpandang dan disegani karena Kakeknya yang mantan pejabat. Koneksi membuat Banyu hanya menjalani hukuman ringan beberapa bulan saja. Satu-satunya yang membuat Banyu terpaksa melarikan diri ke luar negeri selama beberapa waktu adalah karena kemarahan publik atas tewasnya Bima Rakesha, putranya sendiri. Bukan berarti Banyu tidak merasa bersalah atas kematian putranya sendiri. Akan tetapi Banyu merasa kalau itu adalah kecelakaan yang tidak bisa dihindari. Saat itu, Banyu hanya ingin memberi pelajaran pada istrinya, Prisha. Pada akhirnya, Banyu tidak hanya kehilangan anak semata wayangnya, Bima yang meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit tapi juga kehilangan istrinya Prisha yang saat itu ikut menuntutnya dengan pasal kekerasan dalam rumah tangga serta meminta perceraian. Meski dia berhasil menghindari tuntutan hukum dari Prisha, namun Banyu pada akhirnya kehilangan Prisha karena hakim mengabulkan keinginan Prisha untuk bercerai darinya dan juga dirinya dilarang mendekati Prisha selama waktu tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh Banyu. Banyu melangkah keluar dari bandara dan melihat mobil jemputan yang sudah menunggunya. "Aku akan membawa mobilnya sendiri, Pak Kirman boleh pulang naik taksi," ujar Banyu pada sopir keluarganya. "Tapi Den, saya diminta Nyonya untuk tidak memberikan kunci mobil pada Den Banyu. Maafkan saya Den." Pak Kirman tampak takut saat berbicara dengan Banyu. "Mama bilang begitu?!" tanya Banyu. Dia tidak percaya kalau ibunya akan membatasi dirinya sekarang. "Nuhun Den, maafkan saya sekali lagi. Tapi Nyonya bilang kalau Den Banyu harus ingat bahwa masih ada beberapa bulan larangan bagi Den Banyu untuk berada di sekitar mantan Nyonya. Kalau sampai ada yang tahu, tidak hanya nama baik keluarga Rakesha yang akan terancam tapi juga bisa saja masa pembatasannya diperpanjang oleh pengadilan kalau Nyonya Prisha menuntut," ucap Pak Kirman mengingatkan. "Sha lagi! Sebegitu inginnya dia menghapus diriku dari hidupnya! Dia pikir segampang itu!" Banyu membanting pintu mobil dengan penuh amarah. Dengan terpaksa dia masuk ke kursi penumpang dan duduk di sana sementara Pak Kirman memasukkan kopernya ke bagasi. Di dalam mobil Banyu memainkan ponselnya mencoba mencari berita tentang beberapa tahun lalu. Namun ternyata semua berita itu sudah dihapus dari internet. Banyu tersenyum tipis. Dia tahu kalau keluarganya pasti akan melakukan berbagai cara untuk membuat berita itu menghilang. "Bawa aku ke tempat Sha berada," perintah Banyu pada Pak Kirman begitu melihat pria paruh baya itu sudah berada di belakang kemudi. Pak Kirman tampak terkejut mendengar perintah Banyu. "Tapi Den Banyu, kata Nyonya Besar ...." "Mama tidak akan tahu kalau kau diam saja. Aku juga tidak bermaksud menampakkan diri di hadapan Sha. Aku merindukannya, jadi aku hanya ingin melihatnya dari jauh. Memangnya salah kalau seorang suami merindukan istrinya sendiri? Lagi pula, kau pasti tahu kan dimana Sha berada? Kau adalah teman baik orang tua Sha dan kau juga orang yang termasuk dekat dengannya, jadi tidak mungkin kalau kau tidak tahu apa-apa," Banyu mulai terlihat kesal. Dia dengan sengaja menekan Pak Kirman. Pak Kirman tahu kalau dia tidak memiliki banyak pilihan di hadapan majikannya yang arogan ini. Jika dia masih menolak, dia tahu kalau wajahnya mungkin saja akan babak belur atau yang paling buruk, dia dipecat dari keluarga Rakesha. "Baik Den Banyu," ucap Pak Kirman menurut. Dalam hati Pak Kirman hanya bisa berharap kalau Banyu benar-benar memenuhi janjinya untuk tidak membuat kekacauan. Dia tidak tega pada Prisha sekaligus terlalu takut akan kehilangan pekerjaannya. Seluruh keluarganya bekerja pada keluarga Rakesha. Jika dirinya dipecat, bukan tidak mungkin kalau seluruh keluarganya juga akan kehilangan pekerjaan dan Pak Kirman sangat takut kalau hal itu sampai terjadi. Tidak memiliki banyak pilihan, Pak Kirman akhirnya melajukan mobilnya menuju sekolah tempat Prisha bekerja saat ini. # Akibat kehebohan yang terjadi, sekarang Prisha, Ethan, Noah hingga Dilla akhirnya harus masuk ke kantor Kepala Sekolah TK. Ibu Kepala menatap Prisha yang sekarang duduk dengan tenang di hadapan seorang Ethan Atmadikara seakan nama besar keluarga Atmadikara sama sekali tidak berpengaruh bagi Prisha. Di sisi lain, Ibu Kepala juga tahu kalau Prisha memang seorang yang sedikit kaku kalau masalah peraturan dan sikapnya yang menegur Ethan karena mengantar Noah serta menunggui Noah di dalam sekolah membuat Ethan sendiri yang merasa sudah mendapat izin malah jadi merasa tersinggung. "Bu Prisha, biar saya perjelas lagi. Pak Ethan sudah mendapat izin dari saya untuk masuk dan mengawasi Noah untuk hari ini. Itu dikarenakan Noah adalah murid yang sedikit istimewa," ucap Bu Kepala. "Iya Bu Kepala, saya mengerti tapi bukankah izin yang dimiliki oleh hanya mengawasi bukan ikut campur. Bagaimanapun saat berada di sekolah, maka anak adalah tanggung jawab guru. Kalau orang tua ikut campur maka akan sulit untuk membuat mendidik dan mengatur anak-anak," ucap Prisha. "Aku bukannya ikut campur karena tidak ada yang terjadi. Jelas-jelas Noah menangis, jadi saya tidak mungkin tidak ikut campur. Kalau saja kalian bisa mengatasinya, maka saya tidak mungkin ikut campur," timpal Ethan kesal. "Anda langsung ikut campur tanpa memberi rekan saya yang harusnya adalah guru wali kelasnya untuk mengambil tindakan. Itu sama saja salah," balas Prisha. "Prisha, biar saya yang menjelaskan pada Pak Ethan." Bu Kepala mencoba menengahi. "Kalau itu adalah anakmu, apa aku bisa diam saja dan tidak ikut campur saat anakmu berteriak memanggilmu?!" Nada suara Ethan mulai meninggi. "Pak Ethan, yang dimaksud oleh Bu Prisha di sini adalah ...." "Kau belum memiliki keluarga, apalagi anak, makanya kau tidak akan paham walau aku menjelaskan!" Ethan memotong kalimat Bu Kepala dan mulai menyerang Prisha. Prisha terdiam. Kalimat Ethan yang tanpa sengaja menyinggung tentang anak membuat Prisha kembali teringat pada almarhum putranya. Meski dari luar dia terlihat tenang namun tidak dengan hatinya. "Maafkan saya Pak Ethan, tapi tidak sepantasnya Anda melabeli saya tanpa tahu apa-apa sama sekali," ujar Prisha. Dia mengangkat wajahnya yang semula hanya tertuju pada Ibu Kepala untuk menatap Ethan secara langsung kini. "Kenapa? Kau tidak terima?! Aku kira semua guru yang bekerja di sini adalah guru yang kredibel tapi melihatmu, aku jadi berpikir kalau ..." "Papa berhenti." Kali ini Noah yang memotong ucapan ayahnya. Di saat Bu Kepala dan Dilla sudah mulai kehilangan akal untuk menghentikan perdebatan di antara Ethan dan Prisha, mereka akhirnya bernapas lega karena Noah. "Noah, ini urusan orang tua," bujuk Ethan. Suaranya berubah lembut saat berbicara dengan Noah. "Tapi Papa menyakiti temanku! Papa tidak perlu marah-marah pada temanku," ujar Noah sengit. Ethan terdiam melihat putranya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Noah akan bersikap seperti sekarang. Noah kemudian melangkah mendekati Prisha. Saat dia sudah berdiri di depan Prisha, dia mengambil tangan Prisha. Prisha sendiri hanya bisa menatap Noah dengan tatapan bingung. "Aku menyelamatkan Tante dari orang jahat. Aku juga membantu Tante yang dimarahi oleh Papaku. Itu artinya, aku dan Tante sekarang sudah menjadi sahabat dan bukan sekedar teman bukan?" tanya Noah. Semua orang kini menatap bingung ke arah Ethan dan Prisha. Bahkan Prisha sendiri terlihat kebingungan. Dia saja baru tahu kalau nama anak laki-laki di depannya adalah Noah. Meski begitu Prisha paham kalau terkadang anak-anak memang memiliki pola pikir yang akan sulit untuk dipahami dengan pola pikir orang dewasa. Jadi Prisha menatap Noah lembut, menunjukkan kalau dia benar-benar memberi perhatian pada apa yang dikatakan dan di inginkan oleh anak itu. "Noah, pertama kau tidak bisa memanggil Bu Guru dengan sebutan Tante di dalam sekolah. Kau harus memanggil Bu Guru, sama seperti murid yang lainnya. Itu syarat pertama bagi kita untuk menjadi sahabat," ujar Prisha. "Memanggil Bu Guru sama seperti yang lainnya? Tapi itu artinya kita tidak dekat. Aku ingin dekat," ujar Noah terus terang. "Kau tetap bisa memanggilku dengan panggilan yang kau suka saat di luar sekolah. Tidak jadi masalah," balas Prisha. Wajah Noah tampak bersemu merah mendengar ucapan Prisha. "Aku mengerti. Aku akan memanggil Tante dengan panggilan Bu Guru kalau di dalam sekolah," ujar Noah. Semua orang terlihat kaget melihat Noah yang sangat menurut pada Prisha. "Pintar." Prisha mengelus puncak kepala Noah. Noah masih tidak melepaskan tangan Prisha yang satu lagi. Dia lalu menatap Prisha dengan tatapan sungguh-sungguh. "Kalau begitu, karena kita sudah bersahabat, Bu Guru, maukah menjadi Mamaku?" tanya Noah dengan raut wajah serius. Mendadak semua orang yang ada di ruangan itu melongo tidak percaya mendengar ucapan Noah. Bahkan Bu Kepala, Ethan dan Dilla membatu di tempat masing-masing. "Aku serius. Jadilah Mamaku. Banyak orang jahat di sekitar Bu Guru dan Papaku bisa melindungi Bu Guru. Kalau Bu Guru menikah dengan Papaku dan jadi Mamaku, maka aku dan Papa akan melindungi Bu Guru. Papaku kuat dan banyak uangnya. Bu Guru akan bahagia kalau jadi Mamaku," ucap Ethan dengan lancar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD