Bab 4. Mau Jadi Mamaku? 2

1238 Words
# Saat jam makan siang akhirnya tiba, apa yang terjadi di kantor Ibu Kepala akhirnya menjadi bahan gosip yang renyah di bahas di kafetaria. Bahkan saat Prisha melangkah, menuju tempat duduk yang kosong, dia bisa merasakan tatapan orang-orang yang jelas-jelas tertuju ke arahnya. Seakan belum cukup dia dimusuhi oleh sebagian besar guru wanita di sekolah itu sekarang dirinya juga menjadi bahan gosip panas mereka. “Ehm, Sha,” panggil Dilla pelan. Meski sudah tahu apa yang akan dilakukan Dilla, entah kenapa Prisha malah mengangkat wajahnya dan menatap Dilla saat dipanggil. “Apa?” tanya Sha. Dilla langsung meraih tangan Prisha dan menirukan ekspresi wajah Noah sebelumnya. “Maukah menjadi Mamaku? Buahahaha!” Lagi-lagi Dilla menirukan gaya bicara Noah kemudian tertawa keras. Prisha menarik napas panjang. “Terus saja tertawa dan aku akan bilang pada Bu Kepala supaya Noah tetap di kelasmu,” ujar Prisha dengan nada datar. “Uhuk.” Dilla tersedak air liurnya sendiri saat mendengar ancaman Prisha. Meski kesal, Prisha tetap saja mengangsurkan air mineral yang ada di dekatnya ke arah Dilla saat melihat Dilla terbatuk parah. “Terima kasih, you’re the best,” ujar Dilla. Prisha hanya diam tidak menanggapi Dilla dan kembali melanjutkan aktivitas makannya. Dilla pada akhirnya merasa bersalah saat melihat ekspresi datar di wajah Prisha. “Aku hanya bercanda. Kau tidak benar-benar marah karena hal seperti itu bukan?” tanya Dilla. Dia mulai mengambil gorengan dan menambahkannya ke atas piringnya. “Tidak,” jawab Prisha, masih dengan nada datar yang sama. Dilla juga tidak lupa mengambil lauk dari bekal yang tengah di makan oleh Prisha tanpa izin dan Prisha yang melihat itu malah membiarkannya begitu saja seakan itu sama sekali bukan hal besar. “Hem, enak. Seperti biasa, kau memang pintar memasak. Tipe-tipe istri dan calon ibu yang cocok untuk pria-pria pendamba wanita yang bisa jadi istri merangkap ART,” ucap Dilla. Orang yang mendengar ucapan Dilla pasti mengira kalau Dilla dengan sengaja tengah menyindir Prisha. Untungnya Prisha sama sekali tidak pernah merasa demikian. Dia tahu kalau mulut Dilla memang terkadang bisa membuat orang lain tersinggung karena pemilihan katanya, meski kenyataannya Dilla sebenarnya tidak bermaksud menyindir atau menyinggung siapa pun. “Kalau aku jadi dirimu tadi, sudah pasti aku akan buru-buru menjawab iya. Padahal Papanya Noah itu bentukannya seganteng itu. Ganteng, kaya, duda pula,” ujar Dilla dengan pandangan menerawang. “Dia punya anak,” timpal Prisha. “Eh, bukannya kau suka anak-anak?” tanya Dilla dengan tatapan tidak percaya mendengar ucapan Prisha. Prisha menggeleng pelan. “Maksudku itu dirimu. Aku ragu kalau kau akan segera mengatakan iya kalau misalnya yang dilamar oleh Noah adalah dirimu dan bukan aku. Kau kan tidak suka dengan anaknya, makanya kau setuju saat Noah dipindahkan ke kelasku,” jawab Prisha. Dilla tertawa. “Kau benar. Itu kalau aku, sejujurnya aku tidak mengerti dengan dirimu. Kalau mau, kau bisa memilih siapa yang akan menjadi pendampingmu dari deretan pengagum rahasiamu di setiap ruang guru sekolah ini, yang sebenarnya bukan rahasia-rahasia amat juga sih. Tapi kenapa tidak ada satu pun yang kau beri peluang?” tanya Dilla lagi. “Karena aku tidak ingin,” jawab Prisha enteng. Bagaimana mungkin dia bisa menjalin hubungan baru dengan semua kenangan masa lalu serta rasa bersalahnya atas kematian Bima yang masih terus menghantui? Jadi meski nada suara Prisha terdengar enteng, namun tidak demikian dengan perasaannya yang sesungguhnya. Dan bahkan meski sudah lewat beberapa tahun, Prisha masih belum bisa melupakan Bima dan apa yang menimpa Bima dulu. Bahkan kapan hari, bukannya ada orang tua murid yang juga duda melamarmu terang-terangan dengan mengirimimu bunga lewat anaknya? Lalu menunggumu di depan sekolah untuk menyatakan cinta?” tanya Dilla. “Maksudmu bunga yang Sha bagikan ke seluruh guru itu? Tentu saja aku ingat.” Bukan Prisha yang menjawab melainkan Gilang. Entah dari mana datangnya, Gilang tiba-tiba saja sudah berada di samping Prisha dan meletakkan piringnya yang masih penuh di samping Prisha. “Hai Sha. Katanya kau tidak akan ke kantin. Tapi kau datang juga. Aku jadi senang,” ucap Gilang sambil terus melirik ke arah Prisha. “Hei, tidak lihat kalau kami sudah mau selesai makan? Kenapa kau tidak duduk saja dengan teman-temanmu sesama guru SD itu sih? Gara-gara dirimu, guru SD dan SMP jadi bersikap jutek pada Sha.” Belum sempat Prisha menanggapi pertanyaan Gilang, malah Dilla yang sudah lebih dulu menyindir Gilang. Tapi Gilang tidak peduli. Dia hanya terus-terusan memperhatikan Prisha. “Bagaimana s**u cokelatnya? Sudah kau minum?” tanya Gilang lagi. Dilla memutar matanya menatap Gilang. “Sudah di rampas dan dibuang bocah yang sekarang jadi muridnya Sha. Sayang sekali, susumu sudah meresap ke inti bumi.” Lagi-lagi Dilla yang berbicara. Gilang terlihat kecewa namun sebaliknya Prisha malah menutup tempat bekalnya yang memang sudah kosong. “Aku sudah selesai makan. Kalian silakan meneruskan makan siangnya sampai selesai. Aku akan kembali ke kelas lebih dulu,” ujar Prisha. Tapi Gilang dengan cepat menarik tangan Prisha, bermaksud untuk menahannya. “Aghh!” Prisha memekik saat merasakan tarikan pada lengannya. Saat dia sadar, semua mata sudah kembali tertuju ke arahnya sementara Gilang dan Dilla menatapnya bingung. “Aku hanya ingin berbicara denganmu sedikit lebih lama Sha,” ujar Gilang. Dia tidak menyangka kalau Prisha akan bereaksi seperti itu kepadanya. Wajah Prisha terlihat pucat selama beberapa saat. “Maaf,” ujar Prisha sebelumnya dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Prisha menyadari kalau trauma yang dirasakannya selama lima tahun hidup dalam rumah tangga dengan mantan suaminya menyisakan trauma yang dalam bagi dirinya. Salah satunya, dia akan bereaksi seperti tadi saat seseorang tiba-tiba menyentuhnya. Terlebih jika itu lawan jenis yang berusia dewasa. Seakan tubuhnya sudah terlalu biasa mengantisipasi kekerasan yang dulu sering dia terima dari mantan suaminya dan juga keluarga mantan suaminya tersebut. “Semua sudah berlalu. Dia tidak bisa menggangguku lagi sekarang,” ujar Prisha dalam hati. Dia kemudian menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. Hanya dengan demikian perasaannya menjadi sedikit tenang. Baru saja Prisha akan melangkah menuju ke kelas tempatnya harus mengajar, seorang petugas keamanan sekolah tampak berlari kecil sambil memanggil-manggil namanya. “Bu Sha, maaf mengganggu tapi ada paket untuk ibu di pos sekuriti,” ujar Satpam sekolah tersebut. Prisha mengerutkan dahinya bingung. “Kenapa paketnya tidak langsung dibawa ke sini Pak?” tanya Prisha. “Itu dia Bu, Kurirnya bilang kalau paketnya harus diserahkan langsung pada Ibu,” jawab Satpam sekolah. Prisha tampak berpikir sejenak. Perasaannya terasa tidak enak tapi dia buru-buru menepis hal itu. Pada akhirnya Prisha mengikuti Satpam sekolah ke pos depan gerbang dan saat itu sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Hanya sebuah paket yang tergeletak di meja sekuriti. “Lho, mana orangnya?” Satpam sekolah terlihat bingung. Tidak ada nama pengirim di paket tersebut. Hanya nama lengkapnya yang ditulis dengan spidol di bagian luar sebagai penerima. Prisha kemudian menyerahkan kembali paket itu pada Satpam sekolah tanpa membukanya. “Ini bukan untuk saya, Pak,” ucap Prisha. Dia mengedarkan pandangannya dan melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang di parkir di pinggir jalan. Selama beberapa saat, dia terus menatap ke arah mobil tersebut meski jelas-jelas dia tidak akan bisa melihat menembus kaca berwarna gelap mobil itu. Saat Prisha mendekat untuk melihat nomor Polisi mobil tersebut, mendadak mobil itu malah bergerak pergi. Namun Prisha menarik napas lega saat akhirnya dia berhasil melihat nomor Polisi mobil itu. Dia tidak mengenal nomornya dan itu berarti mobil itu bukan suruhan keluarga Rakesha. “Bapak boleh membuka paketnya kalau memang tidak ada yang mengambil paket itu sampai beberapa hari ke depan,” ujar Prisha sambil berlalu pergi dari situ.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD