Mandor selep tempat Udin bekerja namanya Basari. Sekalipun mereka berdua sama-sama bekerja untuk keluarga Haji Imron, tetap saja posisi Basari adalah bos Udin.
Setelah selama tujuh hari membantu di rumah keluarga Haji Imron untuk pelaksanaan ritual tahlilan, Udin akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja di selepan dengan syarat dia diperbolehkan ijin sewaktu-waktu dibutuhkan saat menggali kubur. Bu Haji menyetujui persyaratan Udin dan sejak hari itu, Udin kembali bekerja di selepan.
“Muat sekamnya ke truk pick up, Din!” perintah Basari ke arah Udin.
“Oke,” jawab Udin tanpa membantah. Dia lalu pergi ke sebelah luar gedung tempat gabah ditampung dalam sebuah kolam. Sekalipun sekam padi tak terlalu berat, tapi untuk memasukkan semua sekam itu ke dalam karung lalu menaikkannya satu per satu ke atas pick up adalah pekerjaan yang cukup melelahkan juga.
Sekam padi ini lalu akan dijual kembali kepada para pengrajin batu-bata, untuk campuran media tanam, atau untuk kegunaan lainnya. Padahal, semua sekam itu didapatkan gratis dari para petani yang menggilingkan padinya ke selepan milik Haji Imron.
“Din, suamiku mana?” tiba-tiba, Udin yang tengah asyik memasukkan sekam padi ke dalam karung dengan menggunakan sekop mendengar suara seorang wanita. Dari kalimatnya, Udin mengetahui siapa pemilik suara itu.
“Tadi ada di dalam selepan, Mbak Ida,” jawab Udin sesaat lalu kembali meneruskan pekerjaannya.
Wanita yang dipanggil Udin dengan nama Mbak Ida itu pun meninggalkan Udin yang berada di dalam kolam penampungan sekam dan berjalan menuju selepan. Udin sempat melirik sekilas ke arah wanita itu dan hanya bisa menelan ludahnya.
Sekalipun Ida tak secantik Bu Haji atau Lina, tapi tubuhnya luar biasa. Apalagi ketika hanya mengenakan daster seperti barusan, lekuk tubuh padat berisi miliknya benar-benar sungguh aduhai. Wajar saja, Basari adalah seorang mandor selep. Selain upah mingguan yang diterima dari Haji Imron, dia punya banyak peluang untuk mendapatkan uang sampingan dari selepan yang diawasinya. Bukan hal susah bagi Basari untuk memikat gadis secantik Ida dengan uang di tangannya.
Udin menarik napas panjang dan cuma bisa menerima nasibnya lalu kembali menyekop sekam dan memasukkannya ke dalam karung.
“Nggak ada di dalam Din,” tiba-tiba Ida sudah kembali berdiri di pinggiran kolam sekam padi.
“Lho? Tadi ada di dalam kok Mbak,” jawab Udin.
“Aku sudah nyari ke dalam, sudah teriak-teriak juga. Tapi Mas Basari nggak ada. Apa mungkin dia ke rumah Haji Imron ya?” tanya Ida sambil duduk berjongkok di tepian kolam.
Udin yang berada di dalam kolam sekam, tentu saja posisinya jauh lebih rendah dibandingkan Ida. Ketika Ida duduk berjongkok di pinggiran kolam dengan dasternya, sesuatu yang seharusnya tersembunyi kini terbuka lebar di depan mata Udin. Wajah Udin terasa panas terbakar ketika melihat isi daster Ida. Kelelakiannya langsung bereaksi seketika.
Ida yang awalnya sedikit bingung ketika melihat Udin terbengong, kini menyadari alasannya ketika melihat kemana arah mata laki-laki itu memandang. Spontan Ida langsung berdiri dan merapikan dasternya ke bawah.
“Kamu ngeliatin apa Din?” tegur Ida dengan muka memerah.
“Eh? Maaf Mbak, nggak sengaja,” jawab Udin cepat sambil meminta maaf.
“Nggak sengaja kok sampe melotot bengong gitu,” sungut Ida.
“Habisnya, indah banget sih,” celetuk Udin tanpa sadar dan membuat wajah Ida makin memerah.
“Kurang ajar kamu, ya?” tegur Ida dengan suara keras. Udin menundukkan kepalanya tanpa berani melihat ke arah Ida. Kalau wanita di depannya ini mengadu ke suaminya yang notabene adalah bos Udin, bisa panjang nanti urusannya.
“Ya udah, nanti kalau Mas Basari sudah balik ke selepan, kasih tahu suruh pulang secepatnya. Kipas angin di kamar mati, si Ayip rewel terus,” cerocos Ida lalu langsung pergi meninggalkan Udin dengan langkah cepat dan muka marah.