Pelet, part 7

1175 Words
“Tadi Mbak Ida pesen gitu Kang Bas,” kata Udin. “Iya. Tapi ini aku disuruh Bu Haji ngangkut perabot pake pick up dari toko meubel di kecamatan sana. Tak mungkin aku nolak perintah Bu Haji,” sungut Basari. “Terus karung-karung sekam yang sudah aku naikkan ke atas pick up?” tanya Udin. “Turunkan lagi semua!” perintah Basari. “Alamak,” keluh Udin sambil menepuk jidatnya sendiri. Melihat reaksi wajah Udin, Basari tersenyum kecil. Setidaknya, bukan hanya dia saja yang sengsara harus menjadi kacung sana sini. Setelah Udin selesai menurunkan semua karung sekam dari atas bak pick up, Basari yang sejak tadi sama sekali tak membantu dan duduk di belakang kemudi mengeluarkan kepalanya dari jendela pintu mobil, “Kamu tutup aja selepannya. Palingan aku baru pulang sore nanti. Kalau sempat, mampir ke rumah, kasih tahu Ida kalau aku disuruh Bu Haji ke kecamatan. Syukur-syukur kamu bisa bantuin betulin kipas anginnya biar anakku nggak rewel terus,” cerocos Basari dan tanpa menunggu jawaban anak buahnya, dia meninggalkan Udin seorang diri dengan menggunakan mobil pick upnya. ===== “Permisi…” teriak Udin dari depan pintu. Ini sudah ke sekian kalinya Udin berteriak di depan rumah Kang Basari tapi tak ada sahutan dari Ida. Udin akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pulang. “Ya... Sebentar…” Saat Udin hampir memutar badannya, suara jawaban terdengar dari dalam rumah dan membuat Udin mengurungkan langkahnya. Tak lama kemudian, pintu ruang tamu di depan Udin terbuka. Ida berdiri di sana dengan muka masam dan menatap marah ke arah Udin yang kebingungan. “Kamu ngapain teriak-teriak Din? Aku tu lagi nidurin si Ayip… Dah tahu lagi rewel karena kipas angin rusak, ini giliran dah hampir merem, malah kamu teriak-teriak,” cerocos Ida ke arah Udin. “Maaf Mbak, Aku nggak tahu kalau Mbak lagi…” jawab Udin dengan muka memelas. “Udah-udah… Mas Basari mana? Kok malah kamu yang ke sini?” potong Ida. “Kang Bas disuruh Bu Haji ngambil perabotan ke kecamatan, Mbak,” jawab Udin. Mendengar jawaban Udin, Ida mengrenyitkan dahinya dan terlihat berpikir, “Hmmm… Kemarin lusa alesan gitu, sekarang juga… Makin berani dia…” gumamnya. Udin yang mendengar kata-kata ibu muda di depannya tentu tak mengerti maksudnya. Tapi karena melihat gelagat marah Ida dan Udin juga takut dengan sikap judes istri mandornya itu, Udin tanpa berpikir langsung berpamitan karena dia tak mau berlama-lama di sini. “Ya udah Mbak, aku cuma nyampein pesen Kang Bas. Aku permisi dulu ya Mbak,” kata Udin cepat sambil memutar tubuhnya. Ida yang sedari tadi larut dalam pikirannya sambil bergumam tak jelas, menolehkan kepalanya ke arah Udin dan berkata ketus, “Eh… Kamu mau kemana? Kamu bisa betulin kipas angin kan?” Udin menghentikan langkahnya. Sedikit banyak mungkin dia bisa membetulkan kipas angin rusak, tapi dia tak tahan dengan sikap ketus istri mandor selep ini, jadi Udin memilih menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, “Aku nggak…” Kata-kata Udin terhenti. Entah kenapa, bayangan tadi siang saat Ida berjongkok di pinggir kolam sekam padi di selepan kini tergambar jelas di kepalanya. Udin yang tadinya ketakutan dan segera ingin kabur dari tempat ini, merasakan hawa hangat mulai menjalari tubuhnya ketika membayangkan mahkota yang ditumbuhi bulu halus milik Ida. Ida memang tak memakai celana dalam saat Udin tak sengaja melihat ke arahnya di selepan tadi. Itulah kenapa Udin sampai terbengong melongo di tempatnya. ===== “Kalau kamu ketemu wanita yang menjadi targetmu, rapal mantra ajian ini satu kali, lalu hembuskan ke telapak tanganmu.” “Setelah itu, usapkan ke wajahmu satu kali dan ke kemaluanmu satu kali.” Udin menganggukkan kepalanya ketika mendengarkan Bapak memberitahu cara mempraktekkan ilmu pelet yang Bapak ajarkan. Mungkin, karena saking takjubnya atau karena khayalannya mengembara entah kemana, Udin tak pernah bertanya bagaimana caranya mengetahui jika seorang wanita tersebut pernah berhubungan badan dengan calon korban peletnya atau adakah tanda-tanda khusus jika seorang wanita sudah terkena ilmu pelet yang dia praktekkan. ===== “Huft…” Udin menghempaskan nafasnya berkali-kali. Saat ini, dia benar-benar dihantui rasa bimbang dan resah. Jujur saja, Udin sudah panas dingin karena bayangan mahkota Ida tak juga hilang dari kepalanya. Ditambah lagi, wanita itu kini berada di depan Udin dan hanya mengenakan daster khas ibu-ibu muda yang membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas sempurna. Tapi di sisi lain, Udin tahu betapa judes dan ketusnya Ida, istri mandornya. Bukan tak mungkin, kalau Udin berbuat nekat atau kurang ajar sedikit saja, Ida bakalan mengadu ke suaminya atau langsung melaporkan ulah Udin ke keluarga Haji Imron. Bisa-bisa, Udin bakalan diusir dari Banyuanteng selamanya. “Ngapain malah bengong, kapan selesainya kalau bengong gitu??” tegur Ida mengagetkan Udin dari lamunannya. “Iya, Mbak… Maaf…” jawab Udin sedikit terbata sambil kembali membetulkan kipas angin di depannya. Ida mendengus kesal lalu berdiri meninggalkan Udin di ruang tamu rumahnya seorang diri. Ketika Ida sudah membalikkan badan, Udin baru berani mengangkat kepalanya dan tanpa sadar menelan ludahnya sendiri. p****t besar Ida yang hanya tertutupi daster bergoyang seksi saat dia berjalan menuju ke kamarnya. Sama sekali tak terlihat garis celana dalam di balik daster itu dan membuat tubuh Udin makin panas dingin. Udin meletakkan kipas dan obeng di tangannya. Dia mengusap keringat yang membasahi wajahnya dan membulatkan tekad. “Aku sudah bersusah payah melakukan ritual itu, tak ada salahnya mencoba, siapa tahu Ida juga pernah menjadi korban Haji Imron…” kata Udin dalam hati. Udin lalu nekat merapalkan mantra ilmu peletnya dengan mulut berkomat-kamit tanpa suara. “Niat Ingsun amatek aji… Ajiku…” Setelah itu, Udin meniupkan nafas ke arah telapak tangannya lalu mengusap wajah dan k*********a dari luar celana panjangnya. Tak berapa lama, Ida keluar dari kamarnya sambil menggendong Ayip dalam pelukannya. Rupanya si kecil terbangun barusan. Ida lalu kembali duduk di tempatnya semula di depan Udin. “Eh?” Udin sedikit kaget ketika mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Ida. “Kenapa?” tanya Ida, masih ketus seperti tadi tapi dengan suara tidak sekeras sebelumnya. Udin sedikit heran, tapi dia berpikir mungkin karena ada si kecil makanya suara Ida tak sekeras tadi. “Nggak Mbak… Anu… Ininya kok sedikit hitam?” tanya Udin sambil menunjuk ke arah bagian bawah matanya. Ida mengrenyitkan dahinya lalu berdiri dan berhenti di depan cermin yang ada di dinding ruang tamu rumahnya. Mungkin Basari sering berkaca di cermin itu sebelum berangkat kerja. “Mana?” tanya Ida sambil melihat ke arah cermin. Udin juga memperhatikan ke arah cermin di depan Ida dan terpana. Sama sekali tak ada tanda hitam menyerupai eyeshadow di sekeliling mata bayangan Ida dalam cermin. Tapi saat Udin melihat ke arah wajah Ida, dia masih tetap melihat tanda hitam itu. “Jangan-jangan…” Udin bergumam pelan tapi sesaat kemudian Udin terpaku kelu. “Kalau memang benar tanda hitam itu adalah tanda kalau ilmu peletku bekerja, itu artinya Mbak Ida pernah berhubungan dengan Haji Imron…” kata Udin dalam hati. Mau tak mau, sebersit rasa iba muncul dalam diri Udin ketika membayangkan nasib Basari, yang ternyata diselingkuhi istrinya sendiri. Tapi, rasa iba itu lenyap ditelan bumi sesaat kemudian ketika tatapan mata Udin tanpa sengaja turun ke arah bagian bawah perut Ida yang berdiri tak jauh di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD