Pelet, part 1
Di kota, mungkin ilmu pelet tradisional sudah punah, tergantikan oleh pelet-pelet Jepang dengan merk Toyota, Honda, Suzuki, bahkan mungkin pelet Eropa keluaran BMW, McLaren atau Lambhorgini. Tapi di kampung, ilmu pelet masih menjadi primadona.
Sebagai remaja kampung, Udin mungkin termasuk salah individu unik yang tak lagi mempercayai kesaktian pelet dan ajian-ajian sejenisnya. Ilmu dan ajian yang katanya diperoleh turun temurun dari para leluhur itu. Udin juga tetap tak percaya meskipun sebagian besar rekan-rekannya masih begitu sering mengamalkan bacaan-bacaan dan mantra-mantra aneh campuran antara bahasa jawa dan arab yang dipercayai memiliki manfaat untuk menarik lawan jenis itu.
“Si Fitri kemarin senyum ke arahku,” kata Agus bangga suatu ketika.
“Seriusan?” tanya rekan-rekan yang lainnya ke arah Agus.
“Iya,” jawab Agus cepat, “Makanya, mantra Semar Mesem dari Mbah Wongso ini yang paling ampuh. Aku baru praktekin semingguan, tapi Fitri langsung kesengsem,” lanjutnya.
“Aku minta Gus,” teriak remaja-remaja tanggung lainnya sambil mengerubungi Agus dan meminta mantra Semar Mesem miliknya.
Udin hanya terdiam saja dan memperhatikan dari pojokan. Bukan apa-apa, setahu Udin, setiap anak punya mantra Semar Mesem sendiri-sendiri yang berbeda rapalan atau mantranya, meski begitu, semua mengaku mendapatkan ajian itu dari Mbah yang berbeda-beda pula.
Lalu, mantra siapa yang asli dan beneran ampuh untuk memikat pujaan hati mereka?
=====
“Pak, pelet itu beneran ada atau nggak sih?” tanya Udin ke Bapak yang sedang sibuk menggunakan cangkulnya untuk menggali lubang di depannya. Bapak terdiam untuk beberapa saat lalu menolehkan kepalanya ke arah Udin tapi tak berkata apa-apa.
“Memangnya kenapa?” tanya Bapak ke arah Udin.
“Temen-temen Udin setiap hari ngomong soal pelet dan cerita kalau mereka mempraktekkannya untuk menarik perhatian gadis-gadis,” jawab Udin polos.
“Hahahahahahaha…” Bapak tertawa terbahak-bahak hingga bersandar ke dinding lubang dan berhenti menggali setelah mendengar kata-kata Udin.
“Udin, Udin…” gumam Bapak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah Udin setelah tertawanya reda.
“Kenapa Pak?” tanya Udin kebingungan.
Bapak menoleh ke arah Udin dan bertanya dengan nada setengah bercanda, “Kamu pikir, mengamalkan ilmu pelet semudah itu? Hanya dengan merapal mantra lalu menyebutkan nama gadis yang dituju? Atau mungkin dengan menggunakan foto mereka?”
Udin terdiam.
“Kalau memang semudah itu dan memang manjur, berapa banyak laki-laki kere seperti Bapakmu ini bakalan menikahi anak Pak Lurah atau Pak Carik,” lanjut Bapak.
“Iya juga ya?” gumam Udin pelan.
“Makanya itu. Udah nggak usah mengkhayal terlalu tinggi. Yang penting kamu sekolah yang pinter terus rajin bekerja. Masalah jodoh itu sudah ada yang ngatur,” nasihat Bapak sambil melanjutkan lagi pekerjaannya.
Udin pun beranjak pulang meninggalkan Bapak yang masih menggali lubang kuburan sendirian. Udin memang anak seorang penggali kubur.
=====
Waktu terus berjalan, Udin remaja semakin beranjak dewasa. Bapak juga semakin tua. Tubuhnya tak sekuat dulu lagi. Udin yang awalnya bekerja di selepan padi tak jauh dari rumahnya diminta oleh Bapak untuk menggantikan pekerjaannya menggali kubur.
“Nggak mau Pak. Kan Udin sudah bekerja di selepan padi,” jawab Udin.
“Kalau nggak ada yang nerusin, siapa lagi yang mau mengerjakan Din?” tanya Bapak.
“Kan bisa minta tolong ke Pak Modin, biar dicarikan orang baru,” tolak Udin lagi.
Bapak pun akhirnya menyerah dan tak memaksa Udin lagi untuk menjadi penggali kubur. Sesuai saran Udin, Bapak juga meminta tolong Pak Modin untuk mencarikan penggali kubur yang baru untuk menggantikan Bapak.
=====
Penggali kubur baru datang silih berganti tapi tak pernah ada yang bertahan lama. Selain pekerjaan yang membosankan dengan penghasilan yang memang kurang, banyak dari mereka mengaku sering mengalami kejadian mistis saat melakukan tugasnya, padahal Bapak selalu menemani mereka bekerja.
Udin lambat laun mulai merasa kasihan untuk Bapak. Berkali-kali mengajari orang baru tapi tak lama berselang mereka pergi dan berganti. Tapi, Udin masih gamang untuk menggantikan pekerjaan Bapaknya. Bukan apa-apa, Udin yang sekarang bekerja di selepan padi saja merasa kesusahan untuk mendapatkan pasangan hidup. Apalagi jika nanti dia berprofesi sebagai penggali kubur? Wanita mana yang mau menikah dengannya? Wanita mana yang mau menikah dengan orang yang sehari-harinya berurusan dengan mayat dan pemakamannya?
“Din, Bapak sudah benar-benar nggak kuat,” keluh Bapak suatu sore ke Udin.
“Udin tahu Pak. Tapi…” Udin terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan alasannya.
“Tapi apa Din?” tanya Bapak.
“Bapak tahu kan kalau kita ini keluarga miskin. Sekalipun sekarang Udin bekerja di selepan padi milik Haji Imron, tapi tetap saja ndak ada gadis yang mau sama Udin. Apalagi nanti kalau Udin nggantiin Bapak. Udin… Udin bakalan membujang sampai tua,” jawab Udin lirih.
Bapak terdiam dan menarik nafas panjang. Dia memalingkan kepalanya dan pandangan matanya menerawang jauh, seolah-seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat pelik.
Bapak lalu menghempaskan nafas panjang dan kembali memalingkan kepalanya ke arah Udin, “Kamu pernah kepikiran kenapa Ibumu pergi Din?” tanya Bapak.
Udin menggelengkan kepalanya. Ibu pergi dari rumah sejak Udin kecil. Udin bahkan sudah lupa seperti apa wajah Ibu kandungnya itu.
“Ibumu pergi bukan karena dia tak sanggup hidup kere bersama Bapak,” jawab Bapak.
Udin hanya diam dan mendengarkan saja.
“Ibumu pergi karena dia tak sanggup makan hati terus-terusan,” lanjut Bapak, “semua salah Bapak, Din.”
“Bapakmu ini dulu terlalu serakah. Sudah mendapatkan wanita sebaik Ibumu, tapi Bapak masih merasa kurang. Bapak masih mencari wanita lain dan membuat Ibumu sakit hati. Mungkin karena sudah tak kuat lagi, makanya dia memutuskan untuk pergi.”
Udin mengrenyitkan dahinya. Terasa ada sesuatu yang salah dari cerita Bapak barusan. Bapak kan cuma penggali kubur? Mana mungkin dia sepopuler itu dengan wanita?
“Bapak tahu, kamu mikir apa, Din,” gumam Bapak pelan.
“Waktu kamu masih kecil, kamu pernah nanya ke Bapak kan, apakah pelet itu ada?”
“Waktu itu Bapak cuma tertawa.”
“Karena yang mereka lakukan itu bukan pelet. Itu cuma sugesti ke diri sendiri agar lebih percaya diri saat berada di dekat gadis yang dia kejar.”
“Ilmu pelet itu, jauh lebih keji dan mengerikan dari sekedar mantra, kembang tujuh rupa dan foto gadis pujaan, Din.”