5. Persiapan Malam Pertama

1827 Words
Kamar tamu menjadi kamar yang Arsy pilih selagi gadis desa itu mengabdi di kediaman Daven. Iya, Arsi akan mengabdi mengikuti sumpah yang telah diikatkan oleh kedua orang tuanya dan juga kedua orang tua Daven, kepadanya. Karena menurut sumpah, apa pun yang terjadi, Arsy harus menjadi istri Daven selain Arsy yang juga wajib menjadi menantu baik untuk orang tua Daven. Awalnya, Arsy diminta tinggal di kamar yang ada di sebelah kamar Daven. Kamar yang luasnya tak kalah luas dari kamar Daven dan telah menjadi kamar bersama Daven dengan Livy. Namun, Arsy sadar diri. Karena mendekati Daven dan Livy sama saja bunuh diri. Arsy tak mau melihat bahkan sekadar mendengar hal-hal yang hanya akan membuat mentalnya makin terluka. Karena di kehidupan yang orang-orang bilang akan terasa singkat bila bahagia tengah melanda, sementara waktu justru akan terasa berputar lebih lambat ketika luka tengah mendera, apa pun yang terjadi, Arsy ingin menjadi orang yang berguna, sukses. Di kamar tamu yang Arsy tempati, keadaan masih tergolong mewah. Ada sebuah nakas dengan tiga susun laci dan sebuah lampu meja di atasnya. Keberadaan nakas tersebut ada persis di sebelah kanan tempat tidur yang posisinya nyaris tepat di tengah-tengah ruangan. Selain sampai memiliki kamar mandi mungil di dalamnya, di sana juga ada sebuah lemari kayu berukuran kecil dan langsung menjadi tujuan Arsy membawa ranselnya. Arsy langsung merapikan segala sesuatunya termasuk menyusun barang-barangnya. Selain membawa seperangkat alat salat, ia hanya membawa tujuh setel pakaian lengkap dengan jilbab dan itu pun termasuk pakaian yang tengah dipakai. Sementara untuk urusan tas dan sandal, Arsy hanya membawa satu dan itu masih yang Arsy pakai. Selebihnya hanya satu kantong berisi keperluan mandi dan langsung Arsy taruh di kamar mandi, di wastafel yang ada di depan ruang mandi berpintu kaca tebal. Sudah tidak ada yang tersisa di ransel Arsy karena semacam keperluan rias wajah bahkan sekadar lotion tubuh, juga tidak ada. Padahal, semua itu ibarat senjata dan sudah selumrahnya dimiliki oleh seorang gadis apalagi bagi mereka yang baru menikah. Namun karena sejak awal Arsy juga dilarang mengenal semua itu oleh sang bapak, hidup Arsy memang menjadi sangat sederhana meski Arsy sangat sadar, sederet peraturan dalam hidupnya telah membuatnya menjadi manusia kuno. Ketika akhirnya Arsy hendak melipat ransel berwarna biru navy miliknya sebelum ia benar-benar menyimpannya, Arsy menemukan sebuah kantong plastik hitam yang diikat kencang, di kantong bagian depan ransel. Arsy merasa heran karena gadis itu yakin, plastik tersebut bukan miliknya. Ini punya siapa? Punya ibu enggak sengaja ketinggalan apa bagaimana? Pikir Arsy. Namun setelah dilihat, ternyata kantong hitam tersebut berisi segepok uang dan juga secarik kertas. Uang tersebut merupakan uang lima ribu, dua ribu, sepuluh ribu, dan juga dua puluh ribu. Semua uang terbilang lusuh tersebut tersusun sesuai nominal dan diikat dijadikan satu tumpuk menggunakan karet gelang. Bergegas Arsy meraih secarik kertas dari sana dan ternyata berisi tulisan tangan yang begitu rapi mirip kaligrafi dan Arsy ketahu sebagai tulisan tangan sang ibu. “Ini beneran punya ibu ...,” lirih Arsy yang menjadi menunduk murung. Arsy tak kuasa menahan kesedihan sekaligus air matanya. Sungguh tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain menangis, meratapi nasib hidupnya yang selalu dikekang. Karena setelah harus menjadi anak penurut yang tidak boleh mengenal dunia luar, ia juga harus menjadi orang ketiga sekaligus istri yang tak diharapkan. Arsy, maaf ... benar-benar hanya kata itu yang sangat ingin Ibu katakan kepadamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu lemah dan tak mampu menghentikan perjanjian perjodohanmu dengan Daven, hingga kamu harus memasuki neraka lebih awal bahkah sekalipun kamu belum merasakan kematian. Uang ini sengaja Ibu kumpulkan sejak lama karena ibu yakin, cepat atau lambat kamu akan membutuhkannya apalagi setelah akhirnya kamu benar-benar menjalani perjodohan dengan Daven. Bukan bermaksud mengharapkan hal-hal kurang baik, tapi Ibu sangat paham bagaimana rasanya ada di posisi kamu karena sampai sekarang pun, Ibu masih merasakannya. Perjodohan paksa dan menjadi istri yang tak diharapkan merupakan hal yang sampai detik ini membuat Ibu menghabiskan waktu dengan kepedihan. Apalagi bila Ibu dihadapkan dengan kamu, melihat nasib keji yang terus menimpa kamu membuat keinginan bunuh diri nyaris tak pernah bisa Ibu hindari. Rasanya Ibu ingin mati saja dan membawamu ikut serta. Dari dulu, sungguh dari dulu Ibu ingin melakukannya, tapi Ibu ragu apakah keputusan itu juga mampu membuatmu bahagia? Demi apa pun, Sy ... demi apa pun Ibu mohon, tolong maafkan Ibu karena telah membuatmu ada di titik ini. Tolong kuat, tolong jangan pernah berharap akan ada mukjizat dalam hidupmu. Termasuk dalam rumah tanggamu dan Daven, jangan sampai kamu berharap begitu karena terlalu berharap hanya akan membuatmu makin tersiksa. Kamu harus bisa jaga diri, cukup lari dan jangan biarkan dirimu memiliki anak agar tidak ada lagi wanita malang yang harus merasakan neraka abadi lebih dini, layaknya apa yang telah kita alami. Kuat yah, Sy ... kamu boleh lari. Lari dan pergilah. Jalani kehidupan bebas dan bahagialah tanpa kami. Namun untuk sementara waktu, tolong bertahan walau hanya sebentar. Sementara uang ini, pakailah dan gunakan untuk keperluan kamu. Jangan sampai kamu menahan haus dan lapar hanya karena kamu terlalu sungkan. Ibu sengaja menyiapkan uang ini karena firasat Ibu mengatakan, Daven sama sekali tidak peduli apalagi sampai memberimu materi. Arsy anakku, Ibu sudah merasakan apa yang kamu rasakan, semenjak Ibu dijodohkan dengan bapakmu. Bahkan mungkin karena itu juga, bapak tidak keberatan ketika syarat yang Daven minta merupakan pernikahannya dengan Livy. Sungguh, tidak hanya hati kamu yang remuk redam dengan keegoisan mereka karena Ibu nyaris gila menghadapi semua ini. Semangat ya, Sy ... tolong bertahan walau hanya sebentar. Namun bila kamu benar-benar sudah tidak sanggup, kamu boleh pergi. Pergi dan bahagialah! Ibu sangat menyayangimu. Restu dan doa terbaik Ibu akan selalu bersama kamu! Tinta berwarna hitam di kertas berisi surat dati Rianti tersebut sampai memudar karena basah terkena air mata Arsy. Berderai air mata, perlahan Arsy tersenyum getir sambil mengangguk-angguk. Iya, ... aku akan lari dan mengakhiri p********n ini dengan elegan. Aku akan diam dan membuat mereka menuai keegoisan yang mereka tuai! Batinnya. Bibirnya memang bungkam, tapi hatinya tak kunjung berhenti menangis layaknya air matanya yang tak kunjung berhenti berlinang. Sekitar setengah jam kemudian, tepat ketika Arsy keluar dari kamar mandi, Arsy yang memang baru selesai mandi dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang duduk menunggu di bibir tempat tidurnya. Sosok tersebut bukanlah Daven, melainkan Daryati. Daryati membawa satu paket seserahan berisi seperangkat alat salat yang dihias sedemikian rupa dalam bingkisan cantik warna emas. Bingkisan tersebut merupakan emas kawin untuk Arsy dari Daven, dan sempat menghiasi meja ijab kabul kemarin ketika Daven menikahi Arsy. Iya, Arsy masih ingat, hanya bingkisan tersebut yang menghiasi meja ijab kabulnya. Benar-benar tanpa seserahan lain termasuk itu sebuah cincin yang selalu menjadi simbol pengikat suatu hubungan terlebih pernikahan. Padahal hari itu, Arsy melihat banyak bingkisan seserahan di area ijab kabul, termasuk itu satu set perhiasan dan juga sepasang cincin mas polos. Namun sepertinya semua itu sengaja Daven siapkan sekaligus berikan kepada Livy. Sebab selepas pernikahan Daven dengan Livy dan memaksa Arsy untuk pergi, cincin yang sempat Arsy lihat telah menghiasi jari manis kanan tangan Daven dan juga tangan kanan Livy. “Mah ...?” Arsy menarik jilbabnya yang kali ini tidak menutup sempurna bagian kepalanya khususnya kepala bagian depan. Ia baru saja keramas demi meredam sembam di kedua matanya. Dan ia belum menutup kepalanya menggunakan jilbab dengan sempurna karena masih setengah basah. Selain itu, Arsy juga lupa mengunci pintu kamarnya. Sampai detik ini, Daryati masih menghiasi wajahnya dengan senyum tulus. Ia menatap Arsy yang tampak tak percaya diri bahkan malu hanya karena gadis yang memakai setelan panjang bermotif batik itu tidak menutup sempurna kepala bagian depannya. Arsy terus saja menunduk dan menatapnya dengan tatapan yang begitu sungkan. Selain kepala Arsy tampak masih basah, wajahnya juga terlihat sangat putih bersih sekalipun tidak dihiasi rias. “Sini, ini punya kamu, kan?” Daryati bertutur sarat perhatian. Tangan kanannya ia biarkan meninggalkan kaitan karton hitam berukuran besar. Tangan kanan tersebut berangsur menepuk-nepuk tempat tidur Arsy. Di ranjang warna putih gading, istri pertama dari putranya itu akan tinggal. Tak ada hal lain yang bisa Arsy lakukan selain menurut. Sekalipun Arsy merasa ragu bahkan takut, gadis itu duduk persis di sebelah Daryati mengikuti titah. Arsy duduk agak membungkuk sambil terus menunduk, sedangkan kedua tangannya saling remas di pangkuan. “Ini juga punya kamu. Ada pakaian, keperluan rias, tas, sandal. Kamu suka, kan? Semua ini dari Daven, tapi Daven masih malu buat kasih langsung ke kamu,” lanjut Daryati. Ia memang tersenyum, tapi makin lama, kedua matanya juga makin basah selain ia yang juga sampai ingusan akibat tangis dan kesedihan yang susah payah ia tahan. Perih, hati Arsy terasa teriris bersama kedua matanya yang mendadak basah, seolah ada yang sengaja menebar irisan bawang di bawah matanya. Daryati seolah sedang membujuk sekaligus menghibur Arsy. Namun Arsy tahu, apa yang Daryati berikan selain seperangkat emas kawin dari Daven, merupakan hadiah yang Daryati siapkan sendiri, bukan inisiatif dari Daven. Arsy tidak bermaksud terus berburuk sangka karena Arsy memang tanpa sengaja memergoki obrolan Daryati ketika di rumah sakit. Daryati memesan semua itu kepada kenalannya melalui sambungan telepon. Meski sesak bahkan ulu jantungnya juga mendadak terasa ngilu, Arsy tetap mengangguk santun. “Iya, Mah ... terima kasih banyak!” Ia melirik takut yang bersangkutan dan susah payah mengukir senyum di wajahnya untuk menyeimbangi senyum hangat di wajah Daryati dan sampai detik ini masih fokus kepadanya. “Aku akan menyimpannya lebih dulu. Aku enggak berani memakainya tanpa seizin Mas Daven. Malu juga karena enggak terbiasa pakai yang begituan.” “Lho, izin Daven bagaimana, Sy? Sebentar lagi saja, Daven akan ke sini karena malam ini, kalian memang tidur bersama, kan? Memangnya Daven belum cerita? Tadi saja setelah mengantar orang tua kamu, Daven cerita ke Mamah kalau malam ini, dia akan tidur sama kamu.” “HAH?” Apa yang baru saja Arsy dengar dari sang mamah mertua, membuat gadis ayu itu sulit untuk percaya. Arsy sampai menggigit kuat lidahnya dan celakanya ulahnya itu sukses membuat lidahnya kesakitan! Lantas, apa yang harus Arsy lakukan sementara seperti pesan dari sang ibu, lebih baik Arsy tidak pernah hamil ketimbang lahir Arsy-Arsy yang lain dan harus merasakan neraka lebih awal sebelum mereka menjalani kematian? “Ya sudah, yah ... sekarang kamu dandan yang cantik. Bentar lagi Daven pasti ke sini. Nih, ... gaun malamnya cocok buat kamu. Mamah sengaja siapkan gaun malam yang panjang, biar pas kamu keluar kamar, tetap bisa pakai. Cukup dilapisi sweter apa jaket, masih menutupi aurat karena potongannya masih terbilang syari!” Kali ini, Daryati sengaja menyemangati Arsy. Ia sampai mengelus gemas dagu runcing Arsy yang terlihat sangat natural sekaligus indah. Daryati sungguh pergi membiarkan Arsy sendiri dan ia harapkan segera menjalani persiapan malam pertama. Apakah aku harus lari sekarang juga? Pikir Arsy benar-benar tegang. Ketegangan yang makin lama tak mampu ia redam hingga melahirkan ketakutan yang sampai membuat tubuhnya seolah dipanggang. Di sebelahnya, posisi bekas Daryati duduk, gaun malam panjang yang terbilang transparan terkapar di sana. Ada juga keperluan rias selain dua bungkus pakaian lainnya. Malam pertama, dan aku harus siap-siap? Saking takut dan bingungnya, Arsy malah menangis. Ia sudah disumpah dan mau tak mau ia harus tetap menjalankan perannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD