Sepi. Tak ada suara lain selain detak jantung yang masih belum bisa Arsy redam. Detak jantung yang begitu berisik, benar-benar kacau dan seolah sulit untuk kembali bekerja dengan normal semenjak Daven menjadikan pernikahannya dan Livy, sebagai syarat. Apalagi kini, Arsy yang tengah kerepotan menenteng ransel dan juga beberapa kantong berisi barang-barang orang tuanya, justru memergoki Daven dan Livy tengah berciuman.
Di depan lift yang ada di lorong sebelah keberadaan kamar Parman dirawat, bibir kedua sejoli itu masih bertautan dengan gerakan yang begitu pelan layaknya adegan slow motion drama India. Keduanya begitu menikmati ciuman lembut yang tengah dilakukan hingga baik Livy bahkan Daven, tidak menyadari ada orang lain di sana, selain keduanya.
Sakit, iya, Arsy merasakan itu. Namun rasa sakit Arsy tidak ada apa-apanya, dari rasa malu yang gadis itu rasa karena harus memergoki orang sedang berciuman di tempat umum tanpa peduli siapa mereka.
Di tempat umum saja mereka semesra ini, apalagi di tempat sepi bahkan rumah pribadi? Batin Arsy. Sesak sekaligus sakit, Arsy sungguh merasakan itu meski Arsy juga tidak akan membiarkan dirinya mencintai Daven, bahkan walau pria itu memang suaminya.
Apa yang Daven dan Livy lakukan sukses membuat sendi-sendi di tubuh Arsy menjadi melemah karena rasa ngilu yang mendadak menyerang. Kedua kaki Arsy nyaris tak mampu berdiri dengan tegap dan memang sudah sampai gemetaran. Ini baru ciuman dan itu dilakukan di tempat umum, apa kabar setelah mereka tinggal satu atap?
Sesakit ini, ... mungkin karena tubuh ini juga sudah mengetahui bahwa pria yang sedang berciuman dan b******u mesra dengan wanita lain di depan sana merupakan suamiku, batin Arsy yang kemudian berdeham keras.
Arsy kembali berdeham dan sengaja sambil menatap tegas kedua sejoli di hadapannya. Jarak Arsy dengan kedua sejoli itu hanya sekitar tiga meter. Arsy berpura-pura tegar, seolah semuanya baik-baik saja termasuk hati dan juga mentalnya. Gadis bersahaja yang langsung dinilai pura-pura alim oleh Daven itu tak mau terlihat sedih apalagi lemah karena Arsy yakin, andai itu terjadi, itu akan menjadi kebahagiaan Daven maupun Livy.
Bak maling yang tertangkap basah, Daven apalagi Livy langsung kebingungan. Keduanya buru-buru mengakhiri adegan ciuman mereka setelah mereka menyadari ada Arsy di sana. Kendati demikian, Livy langsung berhasil menguasai diri dan tak segan menyapa Arsy dengan sapaan lembut bahkan manis, seolah semuanya baik-baik saja. Seolah ciuman mereka yang dipergoki Arsy bukan hal yang harus dipermasalahkan bahkan sekadar membuat mereka malu apalagi dirinya dan Daven sudah menikah.
"Bawaan kamu banyak banget, ... sini aku bantu." Livy sudah langsung menghampiri Arsy setelah sebelumnya memberikan tas tangannya pada Daven yang juga langsung menerima.
Arsy melirik Daven dengan lirikan sengit, tapi pria itu benar-benar cuek. Jangankan memasang wajah bersalah apalagi sampai meminta maaf, sekadar meliriknya saja, tidak Daven lakukan. Begini, pria yang sudah dididik menjadi suami terbaik bahkan idaman untukku versi keluarga kami? Pikir Arsy.
"Paling tidak kalian tahu tempat untuk meluapkan nafsu, sekalipun kalian sudah menikah." Arsy berucap tegas tanpa sedikit pun melirik kedua sejoli di hadapannya. Selain itu, ia juga sengaja menghindari Livy. Arsy melangkah begitu saja dan memilih tangga darurat di sebelah kirinya ketimbang lift yang ada di belakang Daven.
***
Malamnya, di acara makan malam kini, Arsy baru mengetahui pekerjaan Daven maupun Livy. Ternyata orang tua Daven memiliki toko plastik. Sudah ada dua cabang meski keduanya masih sama-sama berlokasi di Jakarta dan otomatis Daven juga yang mengendalikan semuanya. Sementara Livy yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Daven, ternyata seorang desainer dan sudah memiliki butik di Jakarta. Papah Livy merupakan salah satu direktur di salah satu bank swasta, sedangkan mamah Livy merupakan seorang guru SMA di salah satu SMA favorit yang ada di Jakarta. Kini giliran Arsy dan orang tuanya yang diwajibkan untuk mengenalkan diri termasuk itu mengenai pendidikan dan juga pekerjaan.
"Omong-omong, Arsy usia berapa, ya? Kelihatannya masih muda banget mirip ABG seangkatan anak SMA yang saya didik. Atau memang Arsy terlalu awet muda? Jangan bikin iri kamu, Sy!" Fifin bertanya dengan sangat hati-hati. Ia mempertahankan senyum hangatnya sambil menunggu balasan Arsy yang kali ini duduk di sebelah Daven berseberangan dengan Livy. Senyum yang juga sama dengan senyum Livy, hangat tapi terasa sangat menusuk dan sampai ke hati Arsy bahkan Rianti.
Tanpa Daven maupun Livy sadari, keduanya refleks tersenyum geli hanya karena mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan Fifin. Lain halnya dengan orang tua Daven dan juga orang tua Arsy. Baik Parman, Teguh, apalagi Rianti dan Daryati, langsung terlihat tidak nyaman dan memang berharap obrolan yang tengah berlangsung tidak pernah terjadi.
“Namun sepertinya kehidupan di perkampungan memang kejam sih, ya. Masih kecil dijodohin, dipaksa nikah, dan akhirnya masih muda sudah jadi janda. Ujung-ujungnya, anak juga harus jadi korban. Dititipin ke orang tua, sementara dia merantau ke kota atau malah keluar negeri demi menyambung kebutuhan hidup. Mbak-mbak di rumah sama di butik juga gitu, Mah. Kasihan,” ucap Livy sambil menatap prihatin wajah Arsy.
Arsy mengangguk sambil susah payah mengurai senyum terbaik, meski cerita Livy sudah langsung membuat hatinya menangis. Biar bagaimanapun, apa yang Livy katakan memang menjadi warna dari kehidupan di perkampungan karena Arsy pun tengah mengalaminya. Terlepas dari apa maksud Livy berucap seperti tadi, Arsy sungguh tidak peduli karena apa pun yang terjadi bahkan meski Arsy membela diri, yang ada Arsy akan makin babak belur. Arsy akan b****k di mata semuanya tanpa terkecuali, di mata Parman.
“Orang tua saya memiliki pola pikir yang sangat kolot hingga mereka membatasi gerak saya. Jangankan semacam mengenal kecanggihan teknologi dan mengenal dunia luar sekadar berbaur dengan teman sebaya, sekolah saja saya hanya lulus SMP dan itu pun benar-benar penuh drama. Semuanya selalu serba dibatasi hanya karena perjodohan saya dengan Mas Daven. Bapak begitu menjaga saya dengan pola pikir kunonya, seolah-olah Mas Daven itu Tuhan dan wajib disembah. Ya ... memang seperti yang baru saja Mbak Livy ceritakan. Semiris itu." Arsy belum selesai menjelaskan, tapi Parman sudah memanggilnya. Panggilan yang meski terbilang lirih tapi sangat tegas, benar-benar penuh peringatan.
"Sebentar, Pak. Karena saya memang harus menyelesaikan semuanya," ucap Arsy masih sangat tegas sekaligus sarat pengertian. Ia menatap Parman yang duduk di sebelahnya. Mereka hanya dipisahkan oleh keberadaan Rianti yang duduk di antara mereka.
"Arsy, jangan dilanjutkan!" lirih Daven yang menatap Arsy penuh peringatan. Kedua tangannya yang memegang garpu dan sendok menjadi makin menekan piring berisi menu makanannya. Daven benar-benar marah karena mulut Arsy sangat berisik sekaligus lancang. Dan kemarahan Daven makin sulit pria itu tahan karena bukannya meminta maaf atau setidaknya menunduk, wanita berhijab hijau gelap itu malah menepis tatapannya dengan sinis.
"Mas Parman dan Mbak Rianti begitu menjaga Arsy. Terbukti dari tutur katanya yang tegas dan tertata padahal dia hanya lulusan SMP." Daryati angkat bicara dan sengaja memuji Arsy. “Arsy wanita yang kritis. Meski masih muda, dia tidak manja bahkan sekadar meminta diperhatikan.” Daryati menghela napas dalam. “Terima kasih karena sudah mewakili kami, kaum wanita. Jujur, dari dulu Mamah ingin seperti kamu, tetapi Mamah sungguh tidak memiliki keberanian.” Daryati mengakhiri ucapannya dengan tatapan yang begitu hangat kepada Arsy. Ia dapati, mata Arsy yang menjadi merah sekaligus basah. Menantunya itu menunduk dan tak lagi menatap tegas wajah-wajah di sekitar. Arsy terlihat sangat terluka, wanita itu hanya berusaha tegar sekaligus menjalani tugasnya sebagai anak, istri, menantu, sekaligus rekan dari sang madu.
Kedua tangan Arsy yang masih menahan sendok dan garpu menjadi gemetaran. Apa yang Daryati lakukan membuatnya bertanya-tanya, apakah Daryati tulus kepadanya, atau malah sama saja dengan Daven? Apalagi, Daryati gagal mencegah Daven melakukan poligami. Tak ada yang bisa menghalangi niat Daven berpoligami bahkan itu Daryati sebagai wanita yang telah melahirkannya.
Tanggapan sekaligus penilaian Daryati barusan, sukses mengukir kecemburuan dalam diri Livy apalagi Fifin.
Mamah Daryati kelihatan sayang banget ke Arsy daripada ke aku, batin Livy menunduk murung dan sesekali melirik Daryati yang duduk di sebelah Teguh.
Daryati mengangguk-angguk, menyadari dirinya sudah langsung menjadi fokus perhatian di sana dan otomatis, ia harus segera melanjutkan kisahnya tentang Arsy. "Saya mendengar banyak keluhan karena semua lamaran pada Arsy ditolak. Termasuk dari aparat desa dan orang-orang berpengaruh di kampung, ... mereka sampai dendam ke Mas Parman dan Mbak Riyanti karena sekadar ketemu Arsy saja sampai dibatasi." Daryati mendadak menahan tawa hingga wajah-wajah di sekitarnya menjadi menatapnya dengan tatapan bingung. "Lucunya mereka juga bilang, kalaupun mereka bisa bertemu Arsy, Arsy langsung kabur atau malah memarahi mereka. Arsy cantik-cantik tapi galak katanya."
Rianti langsung mesem, ia mendapatkan kebahagiaan yang sedikit mengobati luka di hatinya karena nasib Arsy yang mendadak dipoligami.
Arsy ..., batin Livy yang langsung diam-diam mengamati Arsy. Arsy memiliki kulit kuning langsat yang begitu bersih sekaligus lembut. Setidaknya untuk Arsy yang orang kampung, kulit sebersih itu memang ibarat keistimewaan tersendiri. Selain itu, meski tak memakai rias bahkan sekadar bedak dan lipstik tipis, Arsy tetap terlihat cantik, terlepas dari Arsy yang Livy yakini memang jauh lebih muda darinya. Masih membuat Livy sibuk mengamati, Arsy juga memiliki alis tebal dan sudah indah tanpa harus susah payah dibentuk, beda dengan alis Livy yang harus disulap sedemikian rupa. Termasuk hidung Arsy yang mancung dan begitu mirip dengan hidung Parman, juga menjadi keistimewaan tersendiri bagi kecantikan Arsy. Dan yang makin membuat Livy iri, adalah kenyataan Arsy yang memiliki bulu mata lebat sekaligus lentik tanpa harus didukung oleh make up. Semua itu membuat Livy merasa wajar sampai banyak yang mengejar Arsy karena Arsy memang sangat cantik. Karena jangankan yang cantik, di kampung, yang lumayan saja sudah langsung diburu untuk dijadikan istri tanpa kenal usia bahkan latar belakangnya.
***
Selepas makan malam, sekitar pukul sembilan malam, Arsy harus menelan pil pahit karena ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Dengan kata lain, meski ia telah lepas dari penjara orang tuanya yang begitu menjaganya karena perjodohannya dan Daven, kini Arsy harus merasakan neraka nyata yang lebih penuh siksa. Karena baru Arsy sadari, menjalani pernikahan dengan orang yang tidak mencintainya dan memang tidak pernah menginginkannya, sama saja memasuki neraka lebih awal sebelum ia merasakan kematian.
Tidak apa-apa, ... aku siap mati dan perlahan membunuh hatiku sendiri agar aku terbiasa menjalani semua ini, batin Arsy memilih menunduk. Namun sisi lain dalam diri Arsy menegaskan, andai Arsy sampai melakukannya, bukankah itu sangat sia-sia?
Kini Daven ada di sebelah Arsy karena mereka memang tengah menjadi fokus perhatian orang tua mereka. Benar-benar hanya mereka tanpa ada Livy apalagi orang tuanya. Di depan gerbang kediaman orang tua Daven, kebersamaan tersebut terjadi. Sementara di sebelah, mobil travel yang akan membawa orang tua Arsy sudah menunggu dengan mesin yang masih menyala.
"Nak Daven, tolong tepati janji Nak Daven karena andai Nak Daven sampai ingkar, semuanya akan kembali pada Nak Daven. Percaya tidak percaya, istri termasuk itu Arsy, merupakan pintu rezeki sekaligus sumber kebahagiaan Nak Daven. Namun setelah apa yang Nak Daven lakukan, Ibu hanya mampu berdoa. Semoga, ... semoga Nak Daven kuat karena ada dua hati yang akan terluka di waktu yang sama, di setiap keputusan Nak Daven. Meski Ibu juga sadar, pernikahan ini akan Nak Daven jalani hanya untuk melukai Arsy!" Rianti tak kuasa menahan air matanya. Ia mengangguk-angguk sambil terus menatap Daven yang menjadi kebingungan menatapnya. "Tidak ada yang lebih baik dari doa orang tua terlebih doa seorang ibu untuk anak-anaknya, ... Ibu percaya itu. Ibu menyerahkan semuanya pada Tuhan karena hanya itulah yang bisa Ibu lakukan." Di depan pintu masuk bagian tengah mobil elf warna silver yang akan membawanya, Rianti mengambil alih ranselnya dari Daven.
Di dalam mobil, Parman sudah duduk menunggu Rianti selaku satu-satunya penumpang yang belum masuk. Sementara di halaman depan rumah orang tua Daven, Arsy berdiri tegar dalam dekapan Daryati. Bersama Teguh yang ada di sebelah Arsy, ketiganya melepas kepergian Rianti dan Parman. Sedangkan di balkon atas sana, Livy yang sudah memakai piama kimono lengan panjang warna putih, kerap menunduk dan menatap sedih kebersamaan Arsy dan kedua orang tua Daven. Terlepas dari semuanya, tak ada yang mendengar obrolan Rianti dan Daven secara pasti bahkan itu Parman.
Gelegar petir yang tiba-tiba menyapa berhias embusan angin kencang, membuat seorang Daven yang merasa sangat tertampar dengan pesan-pesan Rianti, membantu wanita tua berhijab warna cokelat itu masuk ke mobil. Mobil elf berwarna silver itu akhirnya pergi disertai suara klakson sebagai salam perpisahan dan sukses membuat hati Arsy tersayat tanpa disertai darah.
Arsy mengikuti tuntunan Daryati yang masih merangkulnya. Namun melalui lirikannya, di belakang sana, ia mendapati raut wajah Daven makin terlihat masam, seolah pria itu memang mendapatkan hal yang tak diinginkan. Arsy yakin, kenyataan tersebut masih berkaitan dengan obrolan Daven dengan Rianti. Entah apa yang keduanya obrolkan, tetapi Arsy yakin, Rianti telah memberi semacam wanti-wanti kepada Daven agar memegang sekaligus menepati janji dan tidak pernah menyia-nyiakan Arsy. Kurang lebih pasti seperti itu!