Kebingungan Arsy tak hanya karena fakta mengenai Daven yang akan tidur dengannya, tetapi juga mengenai seperangkat rias yang menghiasi meja rias Arsy dan beberapa saat lalu, baru ibu Daryati berikan kepadanya.
Arsy belum pandai, dan memang tidak bisa berias karena sebelumnya pun, Arsy tidak pernah melakukannya. Karena pada kenyataannya, hidup Arsy benar-benar dikekang bagaikan burung dalam sangkar. Jangankan hal yang berbau senang-senang bahkan itu pendidikan selaku penunjang mimpi seseorang, sekadar keluar rumah saja, Arsy selalu dikawal oleh Parman. Termasuk itu mengenai jendela kamar Arsy yang sampai dihiasi benteng khusus berupa lapisan pecahan beling dan kawat besi. Semua itu Parman lakukan demi menjaga dan menjadikan Arsy sebagai istri yang baik untuk Daven. Istri yang kesuciannya benar-benar terjaga khususnya dari laki-laki. Meski belum apa-apa, proses dan hasilnya sudah Arsy rasa begitu pahit.
Tak paham dengan cara memakai perlengkapan riasnya, Arsy memutuskan untuk tidak memakainya. Takut salah dan memang malu karena tidak terbiasa. Iya kalau Daven menyikapinya dengan manis, melihatnya saja, pria itu tidak sudi dan malah seolah ingin menghabisinya detik itu juga. Tak terbayang andai ia sampai salah berias dan parahnya, kesalahannya sampai fatal. Yang ada, Daven pasti makin muak kepadanya.
Jujur, Arsy takut bahkan sangat takut pada Daven. Apalagi di setiap pria itu menatapnya. Selain tatapan Daven sangat tajam penuh kebencian, bersamaan dengan itu, kedua tangan Daven pasti selalu mengepal dan seolah akan menjadi bom waktu kapan pun pria itu tak bisa mengontrol emosi. Bisa Arsy pastikan, hanya dalam sekali hantaman Daven, tubuhnya pasti langsung tumbang dan tak menutup kemungkinan, tulangnya juga akan remuk. Termasuk itu mengenai pemberontakan yang Arsy lakukan, sebenarnya juga bagian dari cara Arsy dalam menutupi rasa takutnya kepada Daven.
Kini Arsy berpikir makin keras, benarkah ia harus menjalani malam pertama dengan Daven dan menerima takdirnya sebagai istri Daven? Atau, ia memang harus kabur sebelum semuanya makin terlambat? Bagaimana bila ia sampai hamil dan sungguh lahir Arsy-Arsy, yang lain?
Dia enggak mungkin datang. Dia enggak mungkin tega ke Mbak Livy karena andaipun dia berani ke sini, dia pasti terpaksa dan hanya akan menghina bahkan menyakitiku lagi. Ya Alloh, hamba mohon, berikan yang terbaik. Tolong lindungi hamba karena hanya pada Engkau, hamba berlindung. Setelah berpikir demikian, Arsy memutuskan untuk tidur tanpa memikirkan apalagi menunggu Daven.
Arsy sungguh berusaha melupakan jadwal tidur bersamanya dengan Daven yang harusnya terjadi malam ini. Namun belum genap lima menit ia melakukannya, wanita bermata lebar itu kembali membuka matanya karena teringat wajah berharap ibu Daryati. Mamah mertuanya itu sudah memperjuangkan posisi sekaligus hak Arsy, dan andai Arsy sampai mengecewakan ibu Daryati, wanita itu pasti tak hanya terluka, melainkan juga kecewa.
“Ya sudah, enggak apa-apa. Mulai sekarang aku akan belajar menerima takdirku, menjadi istri mas Daven sepenuhnya dan mewujudkan harapan orang tua kami. Namun andai mas Daven berani ingkar, ... aku enggak akan diam. Ya Alloh, tolong bimbing hamba,” lirih Arsy yang kemudian berangsur duduk. Tatapannya tertuju pada seperangkat rias yang masih ada di kotak putih, di meja rias yang ada di hadapannya.
“Aku enggak bisa rias. Aku wudu saja biar wajahku kelihatan lebih segar,” lirih Arsy yang kemudian menunaikan keputusannya.
Arsy wudu di kamar mandinya, kemudian mengambil gaun malam pemberian sang mamah mertua yang Arsy simpan di lemari. Sekitar sepuluh menit kemudian, setelah Arsy memakai gaun malam yang memang masih syari, wanita itu memutuskan keluar dari kamar untuk memastikan keberadaan Daven yang tak kunjung datang. Arsy melakukannya sambil terus melafalkan basmalah.
Asrsy mengamati suasana rumah yang sudah temaram dan sangat sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana selain dirinya. Ia dapati, waktu yang menunjukkan pukul sebelas malam di jam dinding klasik yang menghiasi sudut ruang keluarga keberadaannya. Arsy berpikir, alasan rumah sepi karena semua orang termasuk Daven, sudah tidur. Buktinya, pintu kamar Daven yang ada di lantai atas dan Arsy longok dari anak tangga paling bawah, dalam keadaan tertutup rapat.
Kok aku kesannya kayak pengemis yang minta belas kasih, ya? Rasa ngilu itu menguasai d**a Arsy yang juga langsung bergemuruh. Arsy tidak ingin menangis, tapi rasa nelangsa yang mendadak menghantamnya, membuatnya merasa sangat bersedih dan kesulitan untuk menghalaunya. Arsy berpikir, apa yang akan terjadi padanya, bila hari-harinya dipenuhi gejolak batin dan ia harus tetap menerima sekaligus pura-pura bahagia?
Sambil mengelap air matanya menggunakan ujung jilbabnya, Arsy memutuskan untuk kembali ke kamar. Arsy berpikir lebih baik ia tidur sekaligus meyakinkan dirinya, bahwa semuanya baik-baik saja, demi menjaga kewarasannya agar ia tidak sampai bunuh diri. Namun ketika akan balik badan kembali ke kamarnya, pandangan Arsy tak sengaja memergoki Daven di dapur. Pria bertubuh tinggi dan berdada bidang itu melangkah dari dalam dapur. Tampak Daven berangsur membuka lemari es yang keberadaannya di sudut ruang dapur depan pintu. Pintu dapur dalam keadaan terbuka sempurna, tapi suasana di sana terbilang temaram dan hanya dihiasi sorot lampu dari dalam kulkas yang baru saja Daven buka. Bergegas Arsy ke sana untuk memastikan, sementara Daven terlihat baru saja mengambil sebotol air minum dari kulkas.
Tapi Mas Daven cuma pakai boxer sependek dan seketat itu, mas Daven enggaj pakai baju, ... aku malu, apalagi ini bukan di kamar. Rasa malu Arsy juga dibarengi dengan jantungnya yang menjadi berdegup lebih kencang sekaligus cepat. Kedua kaki Arsy mendadak mogok melangkah hanya karena ia tidak sanggup menghadapi Daven dalam keadaan sekarang. Kok aku jadi segugup ini, ya? Mungkin karena ini kali pertama aku melihat laki-laki dewasa dalam keadaan seperti itu, selain aku yang sadar, dia suamiku. Ya, ... dia suamiku, meski dia juga suami wanita lain. Arsy yang masih berbicara dalam hati, susah payah mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Daven. Namun pada kenyataannya, kedua kakinya kaku dan sama sekali tidak bisa bergerak. Termasuk tatapannya yang sekadar melirik punggung berotot Daven dan benar-benar polos tanpa pelindung, juga menjadi tidak sanggup. Arsy sampai panas dingin. Arsy berpikir, rasa yang tengah ia rasakan merupakan bagian dari sisi kedewasaan sekaligus berahinya.
Ketika Arsy baru saja berhasil mengangkat kaki kanannya dan siap melangkah seiring peluh yang seketika terjatuh dari kedua dahinya, sesosok wanita memakai gaun malam di atas lutut warna merah, mendadak mendekap Daven dari belakang dengan sangat mesra. Daven yang tengah minum langsung dari botol sambil berdiri, menggunakan tangan kirinya untuk membelai rambut panjang si wanita yang tergerai dan terbilang berantakan. Itu Livy, tentu saja.
Dengan tidak sabar, Daven yang terlihat dikuasai nafsu, menarik Livy ke dalam dekapannya. Masih dengan buru-buru, tangan kanannya yang awalnya memegang botol minuman, segera meletakan botol tersebut secara asal di atas kulkas. Kedua tangan Daven membingkai wajah Livy dengan gerakan tak sabar. Daven berusaha memudahkan bibirnya yang sudah sibuk melumat rakus bibir Livy. Terlebih, Livy juga sudah langsung menyambutnya dengan tak kalah buas sekaligus bernafsu menyeimbangi setiap gerakannya.
Berbanding terbalik dengan kedua sejoli yang tengah dikuasai nafsu berahi di depan kulkas sana, Arsy yang memergoki kenyataan tersebut, justru langsung syok. Bak disambar petir di siang bolong, Arsy juga langsung membeku di tengah keteguhan hatinya yang porak-poranda dan hanya menyisakan puing-puing. Arsy sampai tidak bisa berkata-kata walau itu hanya dalam hati. Gadis desa itu terlalu syok dan memang belum siap melihat adegan semacam kini, terlebih pelakunya merupakan suaminya sendiri dengan wanita lain yang sangat dicintai.
Air mata Arsy memang refleks mengalir deras tak kalah deras dari hujan yang mendadak mengguyur di luar sana, tapi wanita itu benar-benar mematung. Nyawa Arsy seolah dicabut paksa tanpa sisa, oleh guntur yang menyambar tiada henti. Kendati demikian, dunia Arsy juga mendadak hening. Barulah, ketika kedua tangan Livy dengan begitu nakal meraba bahkan tak segan masuk boxer bagian depan milik Daven, Arsy seolah mendapatkan kekuatan untuk belok dan memasuki ruang cuci yang ada di depan sebelah dapur.
“Kita lakukan di sini?” itu suara Livy yang terdengar sangat tidak sabar sekaligus gemetaran. Livy tak hentinya mendesah, seolah menahan kenikmatan yang begitu wanita itu damba hingga rasa tidak sabar juga tak terelakan.
“Y-ya! C-cepat jongkok! ... ahhh!” Baru saja, itu suara Daven dan sukses membuat kewanitaan Arsy bergetar sekaligus memanas. Tak beda dengan Livy, Daven juga sibuk mendesah daj terdengar sangat tidak sabar.
“Ahh! Faster, Dav, faster! Sssst! T-tapi, bagaimana kalau papah mamah kamu ke sini, Dav? Apalagi yang mereka tahu, harusnya malam ini kamu tidur dengan si Arsy.”
“Ayolah, ngapain bahas yang lain, dan kenapa juga kamu membahas wanita desa itu padahal kamu tahu aku hanya mencintai kamu!”
“Tapi dia juga istri kamu, Sayang. Dia bahkan istri pertama kamu. Dia masih sangat muda dan juga cantik. Aku bahkan takut, kamu juga cinta kepadanya.”
“Enggak mungkin ... sampai kapan pun aku enggak mungkin mencintainya. Dan sampai kapan pun, aku enggak akan pernah menyentuhnya. Itu hukuman untuknya yang telah berani memasuki hubungan kita!”
“Dav ...?”
“Aku bersumpah, aku enggak akan pernah menyentuhnya karena aku hanya mencintaimu!”
“Aku benar-benar mencintaimu, Dav!”
Desahan dan erangan penuh kenikmatan sekaligus tidak sabar yang terdengar makin keras tak mau kalah dari guntur yang masih sibuk menggelegar, benar-benar menyiksa Arsy. Di balik pintu ruang cuci yang tak sepenuhnya tertutup, air mata Arsy sudah mengering. Perasaan Arsy sungguh campur aduk. Hati Arsy remuk redam, merasakan patah hati karena apa yang Arsy dengar dan itu sumpah Daven, menegaskan bahwa sampai kapan pun, Arsy akan menghabiskan waktunya sebagai istri yang tak diinginkan. Istri yang harus menerima hukuman lahir batin karena telah berani memasuki hubungan Daven dan Livy.
Padahal alasanku mau menjalani perjodohan karena memang mas Daven juga mau. Aku berani bersumpah, aku baru mengetahui hubungan mas Daven dan Livy setelah kami menikah. Aku mengetahui hubungan mereka tepat di hari pernikahan kami, yang juga menjadi hari pernikahan mereka. Selebihnya, aku benar-benar enggak tahu karena mas Daven maupun orang tuanya juga enggak pernah bilang. Arsy menyeringai, merasakan rasa nyeri luar biasa yang terus berputar-putar di dalam dadanya. Rasa sakit yang terus bertambah dan enggan pergi dari sana.
“Bersyukurlah, Sy. Karena dengan kenyataan tadi, dengan Daven yang bersumpah tidak akan pernah menyentuhmu, dengan kata lain sungguh tidak akan ada Arsy-Arsy yang lain.” Sisi lain dalam diri Arsy berbisik, mencoba menenangkan Arsy yang merasa sangat hancur karena harus merasakan hukuman dari tudingan tak beralasan yang Daven sangkakan kepadanya. Dengan kata lain, Arsy sungguh sudah memasuki neraka sebelum ia merasakan apa itu yang dinamakan dengan kematian.
Jika hidup merupakan pilihan, apakah mati juga menjadi bagian dari pilihan itu? Sebab, untuk apa Arsy tetap hidup, jika Arsy hanya membuat Daven makin banyak menimbun dosa dengan sibuk melukainya? Juga, untuk apa hidup jika hidupnya hanya membuat orang merasa terluka hanya karena kehadirannya?
“Kuat, Sy ... kuat. Kasihan ibumu! Kamu dilahirkan bukan untuk bunuh diri. Ibumu ingin melihat kamu bahagia. Ibumu ingin melihat kamu jadi orang sukses! Bisa jadi, ini jawaban dari Alloh agar tidak terlahir Arsy-Arsy yang lain! Ini jawaban untuk doa-doamu, Sy. Alloh sayang banget ke kamu, makanya Alloh enggak rela kamu jatuh dalam pelukan Daven yang enggak pernah mengharapkan apalagi menginginkan kamu!” Hati kecil Arsy makin sibuk menasihati, tapi sampai detik ini, pikiran Arsy masih kacau. Arsy benar-benar bingung. Bersamaan dengan itu, pandangan Arsy perlahan menjadi gelap disusul tubuh Arsy yang terjatuh meringkuk di lantai dan membuat pintu ruang cuci, menutup sempurna.