“Noah?” Naya langsung menghambur dalam pelukan Noah begitu pintu kamarnya terbuka dan muncul sosok Noah. “Kau datang?”
“Ya, aku sudah berjanji padamu, kan?” Noah mencium ujung kepala Naya dan semakin mengetatkan pelukannya. Seakan semua ini hanya mimpi, Naya telah kembali pada pelukannya.
“Aku mencintaimu, Noah.”
“Aku juga mencintaimu, Naya.”
Pernyataan cinta mereka kemudian diakhiri dengan pernikahan yang begitu cepat dan sederhana. Noah mengupas jati diri pria itu yang sebenarnya pada Naya, dan Naya sendiri yang sudah mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan untuk mendampingin hidup Noah tak berkata apa pun. Mungkin saat itu yang ada di pikirannya hanya lepas dari cengkeraman mama dan kakaknya sehingga tak perlu terjebak dengan Banyu dalam sebuah pernikahan. Awal pernikahan mereka sangat membahagiakan, pun dengan sosok sang mertua yang ternyata tak seramah yang Naya pikirkan dan menganggap dirinya sebagai penguras harta keluarga mereka. Dan ia tahu, di balik kebencian mertuanya terhadap dirinya, Eva Samudra selalu berusaha menampilkan sosok Ralia yang seharusnya berada di posisinya.
“Aku tahu apa yang terjadi padaku dan Noah tidak seharusnya terjadi. Tapi aku merasa lega kalian bisa mengatasi masalah kalian.”
“Aku tak akan pernah meminta maaf padanya.”
“Dialah yang seharusnya meminta maaf padamu. Pada kita.”
Kemudian suara Ralia dan Noah saling bersahut-sahutan membelah kepalanya. Naya memegang kepalanya dengan kedua tangan. Keresahan kembali mewarnai setiap adegan yang muncul di pikirannya bersamaan napas keras yang keluar dari bibir dan hidungnya. Kepedihan, pengkhianatan, dan kekecewaan. Berjumbal jadi satu membentuk teror dan menggantung di udara di atas kepalanya seperti kematian.
Kebencian mama Noah pada dirinya, bagaimana mama Noah memperlakukan dirinya seperti simpanan Noah, bagaimana mama Noah begitu mengagumi Ralia dan Noah yang saling bersanding di depan umum. Lalu, ingatannya melompat saat ia memberitahu kabar tentang kehamilannya dan sikap dingin Noah yang masih ia maklumi. Dengan dinginnya hubungan mereka, tentu kehadiran anak hanya akan membuat beban mereka semakin berat. Hingga puncaknya, ia tak lagi mampu memaafkan pengkhianatan Noah. Saat seseorang mengiriminya foto mesra Noah dan Ralia. Foto yang sama yang kini berhamburan di lantai di hadapannya. Kemudian ia memutuskan mengikuti desakan mama Noah yang memang selalu diam-diam mengharapkan perceraiannya dan Noah di belakang Noah. Ia tak lagi sanggup berjuang sendirian dalam hubungan yang sudah berada di ujung tanduk. Keretakan yang ada dalam rumah tangga mereka kini tak bisa diselamatkan lagi. Ia tak punya pegangan lagi untuk berpijak di atas es tipis pernikahan mereka.
Selama ini, Noahlah yang membuatnya bertahan menghadapi segala macam cobaan dalam rumah tangga mereka. Cinta Noahlah yang membuatnya bersabar menerima semua perlakuan buruk mama Noah, meski terkadang ia merasa lelah dan ingin berhenti. Ia selalu mengalah dan bersabar, berpikir bahwa suatu saat kebaikannya akan membuat mama Noah luluh dan menerima dirinya sebagai seorang menantu. Namun, jika Noah sudah berpaling dari dirinya dan tidak ada lagi cinta yang ia miliki dari pria itu. Jika Noah sudah melepaskan pegangan tangan darinya. Jika Noah sudah mendapatkan pegangan yang lebih kokoh darinya. Maka tidak ada lagi yang harus ia genggam dalam pernikahan mereka. Maka biarlah ia tenggelam dalam kehancuran seorang diri.
“Aku ingin bercerai.”
“Aku tidak tahan kau menatapku dengan kekecewaan seperti itu meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya.”
“Lalu bagaimana dengan anak kita?” Suara Noah seperti ribuan jarum yang menusuk telinganya.
“Aku sudah menggugurkannya. Kau tak perlu merasa cemas dengan ikatan yang akan menjeratmu seumur hidupmu.”
Anak?
Naya menyentuh perutnya dengan tangannya yang gemetar oleh ketakutan. Tak ada lagi getaran hangat yang menjalari hatinya ketika ia menyentuh perutnya. Tak ada lagi kehidupan kecil di dalam sana yang menggantungkan hidup pada dirinya. Hanya ada rasa dingin dan getir. Hanya ada duka dalam kegelapan. Naya semakin terisak. Dadanya tak mampu lagi bernapas dan air mata yang membanjiri wajahnya sudah tak terkendali.
Kecelakaan itu, kecelakaan itu melenyapkan anaknya. Mencabut satu-satunya kehidupan kecil yang tersisa. Dan Noahlah yang telah membunuh anaknya. Merampas satu-satunya harapan hidupnya. Air mata jatuh berhamburan membasahi wajahnya lebih deras. Hatinya hancur. Menenggelamkan dirinya dalam pengkhianatan. Noah telah mengkhianatinya untuk kedua kalinya, dan rasa sakit itu terasa mencabik-cabik hatinya hingga ia tak lagi sanggup menahannya.
***
Noah merasakan hawa yang menyesakkan d**a berderak di udara ketika ia membuka pintu kamarnya yang sunyi. Kepalanya bergerak perlahan mengeliling sudut kamarnya dengan sikap was-was. Ia tahu ada yang berbeda. Ia bisa merasakan kepedihan bercampur kemurkaan menyelimuti udara di sekitarnya. Kini dunia sudah berbalik menyerangnya. Merampas apa pun yang tersisa dalam genggaman tangannya. Kesempatannya telah hilang.
Tatapan Noah berhenti pada tubuh ringkih yang meringkuk di pinggiran kasur seperti bola. Dengan langkah sepelan mungkin, Noah mendekati tubuh Naya. Di setiap langkah kakinya seperti berjalan di atas pecahan kaca yang memberinya luka. Tapi ia tetap melangkah dan menerima setiap kesakitan itu dengan rela. Agar mereka tak kembali berjalan mundur.
“Naya?” Noah tahu ingatan Naya sudah kembali saat melihat foto-foto sialannya dengan Ralia yang berceceran di lantai tak jauh dari mereka. Entah perbuatan mamanya atau Ralia hingga foto-foto itu kembali pada kehidupan baru mereka, Noah akan mencari tahu nanti.
Wajah Naya tenggelam di lengan wanita itu yang terlipat. Bahu Naya yang bergetar pelan menunjukkan bahwa wanita itu tengah terisak pelan. Pedih dan menyayat hatinya juga.
“Apa yang terjadi?” Noah mengangkat tangannya hendak menyentuh pundak Naya. Merasa pertanyaan itu terdengar t***l di telinganya sendiri.
“Jangan menyentuhku.” Desisan Naya pelan dan sangat dingin. Lalu dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya yang basah. Maniknya berkilat penuh kebencian pada sosok yang ada di hadapannya saat ini.
Noah belum siap jika sewaktu-waktu ingatan Naya kembali, dan ia tak akan pernah siap. Baginya, selama Naya ada di sisinya, hidupnya akan baik-baik saja. Pernikahannya akan terselamatkan. Namun, ternyata Tuhan tidak semurah hati itu. Terutama untuk dosa-dosa yang telah ia lakukan. Ia tahu, sekaranglah saatnya ia membayar semua perbuatan buruknya pada Naya.
“Kau membohongiku!” Naya mendorong d**a Noah hingga pria itu tersungkur di lantai. “Aku membencimu, Noah!” teriaknya begitu lantang.
Noah tak tahan mendengar ungkapan kebencian Naya yang menusuk hatinya dengan sangat keras. Tetapi, ia akan memaklumi, Naya masih dikuasai amarah, wanita itu masih kehilangan alur pikirannya. Masih terlalu bingunng menghubungkan benang kusut di kepala dan belum menjernihkan perasaan cinta yang masih keruh. “Aku berusaha memperbaiki kesalahanku,” lirih Noah penuh derita.
“Kau membohongiku dan membunuh anakku. Bagaimana bisa tanpa tahu malu kau membawaku kembali ke pernikahan yang sudah kauhancurkan dengan tanganmu sendiri?” Tangisan Naya bercampur amarahnya yang meluap tak terkendali.
Noah tercengang. Kata-kata Naya seperti lembaran dosa yang dihadapkan di depan matanya. Terpampang begitu jelas dan ia benci menghadapi fakta tersebut. Ia tak tahu bayi itu masih ada di perut Naya. Jika ia tahu, ia tak akan seceroboh itu menyetir saat ia dikendalikan oleh amarah.
‘Katakan itu pada dirimu sendiri, berengsek!’ Suara lantang seperti suaranya berdengung di telinganya. Ia bahkan meragukan apakah itu bayinya atau bayi dari laki-laki lain. Cintanya pada Naya membutakannya hingga sampai pada tahap ia tak bisa melihat ketulusan wanita itu lagi. Bagaimana mungkin ia membalas ketulusan Naya dengan sikap berengseknya.
“Kenapa kau membawaku ke neraka ini, Noah?” Naya menghapus air matanya dengan kasar dan menatap Noah penuh kebencian.
“Karena aku tidak bisa kehilanganmu.” Noah menjawab dengan suara keringnya yang lantang dan kelemahan di manik matanya begitu kentara. Kepalanya menggeleng dengan keras. Menghentak benaknya dari rasa bersalah. Tidak, ia tak akan kehilangan Naya untuk kedua kalinya. “Aku tidak bisa, aku tidak ingin, dan aku tidak akan pernah kehilanganmu.”
“Aku tidak sudi tinggal dalam satu atap dengan pembunuh!” teriak Naya lagi. Semakin dipenuhi kebencian dengan keegoisan Noah. Bagaimana Noah mengatakan tak ingin kehilangan dirinya setelah semua pengkhianatan yang telah pria itu lakukan dengan sangat pedih.
Noah terkesiap. Pernyataan Naya melukai hatinya, tapi ia akan memaafkan Naya. Ia selalu memaafkan Naya. Sebesar apa pun kesalahan wanita itu dan sebesar apa pun rasa sakit yang diberikan wanita itu untuknya. “Kau akan tinggal bersamaku, di rumah ini, di kamar ini. Selamanya.”
Naya terperangah. Lalu menjadi panik ketika Noah beranjak dari hadapannya, berjalan mengelilingi ranjang, dan mengambil kunci kamar di laci nakas. Naya menggeleng, pandangannya mengikuti Noah yang berjalan keluar, dan memegang handle pintu. “Tidak!” Naya berdiri dan berlari mengikuti Noah, tapi terlambat. Noah sudah mengunci pintu dari luar sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu tersebut.
Rasa takut mencekiknya dengan sangat kejam. Ia takut, hidupnya terenggut seketika Noah mengakhiri kalimat yang pria itu ucapkan. Kegilaan Noah tak pernah main-main jika itu berhubungan dengan perasaan cinta yang negatif yang terlampau melebihi batas untuknya. Perasaan yang tergambar jelas di manik biru Noah hingga membutakan pria itu dan berada di luar nalar Naya.
Tubuh Naya merosot di lantai. Selamanya, ia akan terkurung di balik pintu ini. Seperti yang Noah titahkan.
“Buka pintunya, Noah!” Naya menggedor-gedor pintu dengan keras. Berteriak sekuat mungkin demi memastikan pria itu mendengar suaranya dari luar.
“Pastikan tidak ada yang membuka pintu ini kecuali aku.” Noah memberitahu pengurus rumah tangga yang kebetulan akan mengantarkan kopinya ke kamar.
Pengurus rumah tangga itu mengangguk paham. Berusaha mengabaikan teriakan dan gedoran di pintu. “Kopinya, Tuan.”
“Bawa kembali ke bawah.” Noah berpaling dan berjalan ke arah ruang kerjanya. Malam ini ia tahu tak akan bisa tidur dan godaan minum alkohol hanya akan memperburuk pertengkarannya dengan Naya.
***