Part 24

1344 Words
Pagi itu, setelah mandi di kamar tamu, Noah membawa nampan makan pagi untuk Naya ke kamar mereka sekaligus mengambil pakaian kerjanya. Suasana kamar masih sunyi, gorden di dinding masih tertutup rapat seperti tadi malam saat ia meninggalkan ruangan ini. Bahkan fotonya dan Ralia masih berserakan di lantai. Dan Naya, wanita itu berbaring di kasur, memunggunginya dengan selimut yang masih tertata rapi di bawah tubuh mungil itu. Dress dengan bahan setipis itu dan AC ruangan, Naya pasti sengaja membiarkan tubuhnya kedingian semalaman. Sekali lagi hati Noah terasa disayat habis-habisan, terutama dengan jejak-jejak air mata yang membekas di pipi dan pinggiran mata Naya. Cukup lama, Noah berdiri di pinggiran ranjang mengamati wajah Naya tanpa berani mengulurkan tangan menyentuh tubuh itu meski memiliki keinginan yang sangat kuat. Lalu, Noah meletakkan nampan di genggamannya dan segera bergerak ke walk in closed untuk segera mengganti jubah mandinya dengan setelan kerjanya. Saat ia sudah rapi, ia melihat Naya sudah terbangun dan duduk di pinggir ranjang. Seolah memang menunggu dirinya. “Apa yang kauinginkan, Noah?” Suara lemah Naya terasa menyayat hati Noah lagi. Noah menguatkan diri. Meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini untuk kebaikan mereka berdua. Noah menjawab setelah diam sejenak, sambil melintasi tengah ruangan untuk duduk di sisi ranjang dan memakai kaos kaki serta sepatunya. “Kau tahu apa yang kuinginkan, Naya. Tetaplah di sisiku. Kita berjanji untuk saling memperjuangkan hubungan ini, bukan.” “Kau membohongiku.” Suara Naya berubah keras. Noah tak menjawab hingga ia benar-benar selesai memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu. Menghela napas lalu berdiri dan berkata, “Aku memperjuangkan dirimu.” “Dengan cara kotor seperti ini?” “Apa pun akan kulakukan demi kita berdua.” Naya tertawa sinis. “Kita berdua? Kau mengkhianatiku, Noah. Tidak ada apa pun yang tersisa dalam pernikahan kita.” “Foto itu bukan yang sebenarnya terjadi.” Noah menunjuk ke arah meja rias. Naya tertawa. Menertawakan dirinya sendiri jika ia percaya bualan Noah. “Aku sedang mabuk. Saat itu, aku begitu marah pada kata-kata mamaku dan sikap diammu semakin membuatku frustrasi.” “Kau memang selalu marah dan bersikap dingin padaku. Ingat?” sengit Naya dengan kejam. Bahkan hatinya masih berdenyut mengingat kembali sikap Noah padanya. “Aku punya alasanku. Dan sungguh aku menyesal tak pernah menyaring semua cerita yang disampaikan padaku tanpa bertanya padamu.” “Jangan katakan apa pun lagi, Noah!” potong Naya dengan keras. “Bagiku semua itu terdengar seperti omong kosong.” Noah berang. Omong kosong wanita itu bilang? Dengan langkah besar-besarnya, Noah mendekati Naya dan berdiri menjulang di hadapan wanita itu. “Kau berpikir, akulah yang berbohong? Kau pun sama sekali tak mengkonfirmasi tuduhan-tuduhan yang ada di kepalaku. Kau memilih diam dan membiarkan pernikahan kita hancur dengan perlahan-lahan. Bukan aku saja yang menghancurkan pernikahan kita, Naya. Kau pun ikut andil dalam kerusakan ini.” “Apa sekarang kau menyalahkanku?” tanya Naya semakin tak percaya atas tuduhan yang dilemparkan Noah. “Kau merasa bahwa dirimulah yang paling berjuang untuk pernikahan ini? Apa kau juga tahu apa yang telah kuperjuangkan untuk tetap mempertahankan pernikahan ini?” “Hentikan, Noah!” Naya berteriak. Menutup kedua telinganya dan terduduk di sisi ranjang. Wajahnya tertunduk dan ia benar-benar merasa muak. Pada Noah, pada masa lalu mereka. Pada rasa sakit yang mendekam di dadanya. Noah mengatur napasnya. Ia masih ingin membeberkan kesalahan-kesalahan Naya lebih jauh lagi, tapi keterpurukan Naya membuatnya berhenti. Ia tak akan menyakiti Naya lebih jauh lagi. Ia akan memaafkan semua kesalahan Naya, tapi dengan bayaran bahwa wanita itu akan tetap berada di sisinya. “Aku harus pergi ke kantor.” Naya menurunkan tangan dan mengangkat kepalanya dengan cepat. Berlari mengejar Noah yang berjalan menuju pintu kamar dengan buliran air mata. Menangkap lengan Noah dan menghentikan langkah pria itu tepat di depan pintu. “Kau tidak bisa mengurungku di kamar ini, Noah!” Noah berhenti. “Kau bisa keluar kamar, tapi kau tidak akan keluar apartemen ataupun bertemu dengan adikmu,” katanya dengan datar. Naya menghempaskan lengan Noah. Marah, muak, dan putus asa, lalu memukul lengan Noah dengan kepalan tangannya. “Aku ingin keluar.” “Kenapa kau lakukan ini padaku?!” Noah menangkap kedua tangan Naya dengan keras. Menahan rontaan wanita itu dengan mudah. “Aku mungkin akan membiarkanmu keluar jika dokter sudah mengkonfirmasi kehamilanmu. Tapi bercerai, sebaiknya buang jauh-jauh harapan konyolmu itu. Kau tak akan keluar dari kehidupan begitu saja. Setelah semua hal yang kita lalui untuk sampai di titik ini.” Seketika rontaaan Naya berhenti. Wajahnya yang sepucat mayat semakin memucat. “Aa ... apa maksudmu?” Senyuman sinis tergaris di bibir Noah. “Ya, mungkin ini terdengar gila, tapi aku memang segila ini jika untuk membuatmu tetap di sisiku.” Naya masih tercekat dengan kata-kata Noah, tubuhnya masih mematung bahkan setelah Noah keluar dari kamar. Bertanya-tanya tentang mengonfirmasi kehamilan yang dimaksud Noah. Apa pria itu sudah gila? Tidak cukupkah satu luka untuk menghancurkan dirinya. Noah malah berniat mencabik-cabik hatinya demi mempertahankan kehancuran yang tengah mereka genggam dalam cincin pernikahan. Naya melepas cincin yang melingkari jari manisnya dan melemparkanya ke lantai sebelum tubuhnya ambruk dan menangis tersedu lagi di lantai yang dingin.   ***   Sepulang kerja, Noah disambut pelayan yang menyerahkan cincin Naya yang ditemukan ketika membersihkan kamar mereka. Tercenung cukup lama memandang cincin tersebut. Cincin yang ia sematkan di jari Naya di hari pernikahan mereka. Teringat kebahagiaan-kebahagiaan mereka berdua saat itu. “Apa istriku sudah makan?” tanya Noah kemudian sambil menyelipkan cincin milik Naya di jari kelingkingnya. Saat wanita itu mengajukan perceraian, dan bahkan setelah kecelakaan, cincin itu masih melingkar di jari manis Naya. Memberinya sedikit kepercayaan diri untuk merebut Naya kembali ketika wanita itu berlari ke arah Banyu. Cinta mereka tentu tak akan semudah itu untuk Naya lupakan. Pelayan tersebut menggeleng setelah sejenak meragu. Takut jika jawabannya membuang sang Tuan murka. Namun, ia menghela napas lega ketika Noah berlalu begitu saja melewatinya. Naya masih meringkuk di ranjang dengan nampan di nakas yang berisi entah makan siang atau malam yang tak tersentuh sama sekali. Melempas jas dan tasnya ke sofa, Noah bergegas memutari ranjang dan berdiri di samping Naya. Menarik lengan Naya dengan lembut sekaligus kuat agar wanita itu duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Wanita itu tak menolak, membuat Noah bisa bebas mengamati dengan sedih kelopak mata Naya yang bengkak karena terlalu banyak menangis dan bibir yang pucat karena tak membiarkan setetes pun air masuk ke mulut. “Kau harus makan, Naya.” Noah mengambil segelas air putih di nakas. Dengan sikap dinginnya, Naya membuang wajah dari tatapan Noah. Mendorong nampan di nakas hingga semua isinya berhamburan di lantai. Noah menghela napas dengan kesabarannya. Emosi yang dibalas dengan emosi tak akan memperbaiki hubungan retakan-retakan yang semakin mengarah ke  kehancuran. “Kau harus makan atau kau akan membunuh anakmu untuk kedua kalinya.” Naya terpaku sedetik, lalu mendongak mencari kebenaran di wajah Noah. “Aku tidak mungkin hamil. Tidak akan secepat itu, Noah. ” “Selama ini, kita menjalani program kehamilan khusus setelah keguguranmu. Aku tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun. Kali ini aku yakin kemungkinan berhasil sangat besar, jadi jangan bertindak gegabah dan membahayakan anakku untuk kedua kalinya. Aku akan memastikan anakku tercukupi kebutuhan gizinya. Meskipun harus memaksa atau menggunakan cara yang keras padamu.” “Kenapa?” Seakan belum cukup, air mata Naya kembali bercucuran. “Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Noah?” “Apakah kau masih mempertanyakan pertanyaan yang sudah sangat kaupahami jawabannya?” “Kau mengkhianatiku, kau membuangku, lalu kenapa kau membawaku kembali ke sisimu dan menyiksaku? Memaksaku untuk mengandung anak lagi? Apa kaupikir ini akan menyelesaikan masalah kita?” “Lalu, kaupikir kata maaf akan mengembalikan semua seperti semula? Apakah kata maaf cukup untuk membuatmu memandangku seperti saat kita begitu saling tergila-gila antara satu dengan yang lainnya?” Naya menggeleng. Sakit hatinya tak akan sembuh hanya dengan kata maaf dari Noah. Hatinya sudah terlanjur hancur dan ia sudah memilih meninggalkan Noah sebagai satu-satunya jalan demi kewarasan otak dan luka di hati yang sudah semakin melepuh. Noah diam sejenak. Menatap air mata yang meleleh di pipi Naya. “Dan mengkhianatimu? Kau berpikir aku mengkhianatimu dan kau langsung menandatangani surat perceraian, melenggang pergi tanpa tahu kerusakan yang kau limpahkan padaku. Apakah hanya sebatas ini cinta yang kaumiliki untukku, Naya? Kau bahkan tak mengkonfirmasi kebenarannya padaku.”   “Apa yang harus kupertahankan jika cintamu saja sudah tak bisa kumiliki, Noah?” Suara Noah lemah dan berlumur keputus-asaan. Tubuhnya meluruh ke punggung ranjang.   “Kepercayaan. Bukankah itu yang kaukatakan padaku?”   “Kepercayaan macam apa yang harus kupertahankan setelah foto-foto sialan itu tertampang jelas di mataku? Apa aku harus memercayaimu seperti orang t***l?!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD