“Kakk?” Arfa menggoyang-goyang pundak Naya dengan pelan dan tetap menjaga selirih mungkun.
Mata Naya mengerjap, berusaha membuka mata di antara kantuknya. Melihat adiknya bersimpuh di sisi ranjang.
“Kak Noah.” Arfa menunjuk ponsel yang masih menyala di tangannya.
“Noah?” Naya terkesiap, kemudian menahan mulutnya dengan telapak tangan takut kesiap kagetnya sampai terdengar keluar kamar. Naya pun bangun terduduk dengan cepat menatap ponsel dalam genggaman Arfa. Mengambil ponsel tersebut dan menempelkannya di telinga.
“Hallo, Noah?”
Desah kelegaan terdengar dari seberang. “Ya, Naya. Ini aku Noah.”
“Maafkan aku, Noah. Aku ...”
“Arfa sudah menceritakan semuanya.”
Naya menoleh ke arah Arfa yang kini duduk di pinggiran ranjang. Adiknya mengangguk mengiyakan.
“Apa kau menginginkan pernikahan ini?”
“Tidak, Noah.”
“Apa kau mencintaiku, Naya?”
“Ya. Aku mencintaimu. Hanya kau yang kucintai.”
“Apa kauingin menikah denganku?”
Naya tertegun. Mencerna pertanyaan Noah sekali lagi dan memastikan tidak ada yang salah dengan pendengarannya.
“Jika kau setuju menikah denganku, besok aku akan menjemputmu.”
“Tapi ... mamaku?”
“Aku akan mengurusnya. Kau bisa percaya padaku. Tapi, apa kau setuju menikah denganku?”
“Tentu saja, Noah.”
“Baiklah. Sekarang tidurlah dan lakukan seperti apa yang mamamu perintah hingga aku datang menjemputnya. Apa kau mengerti?”
“Ya.”
“Aku mencintaimu, Naya.”
“Aku juga, Noah.”
“Bye.”
“Bye.”
Naya mengembalikan ponsel Arfa.
“Apa yang akan dilakukan Noah? Bisakah kau memberitahu kakak?”
Arfa menggeleng. “Arfa juga tidak tahu. Dia hanya menyuruh Arfa membantu bicara dengan kakak.”
“Kakak mengerti. Terima kasih, Arfa.”
“Apa pun itu, asalkan kakak bahagia.”
“Kembalilah ke kamarmu, sebelum kak Meisya dan mama memergokimu.”
“Ya, Kak.” Arfa berdiri dan keluar kamar.
Naya masih tertegun. Akhirnya, selama dua minggu. Malam itu ia bisa tidur dengan hati yang lega dan perasaan yang ringan. Ia masih memiliki harapan. Cintanya dan Noah masih memiliki harapan.
***
Pagi itu, perias yang dipesan Meisya datang sedikit terlambat, tapi berhasil melakukan pekerjaannya dengan baik membuat Naya tampak sangat cantik. Tampak sempurna cantik dengan make up yang soft dan natural sebagai pilihan yang ditunjuk Naya dengan asal. Gaun pengantin pilihan Banyu pun sudah disiapkan di kasurnya, dan Naya belum pernah menyentuhnya sejak Banyu memilihkannya lima hari yang lalu di butik dan di antar ke rumah sehari kemudian. Membiarkan gaun itu besar itu tetap di kotaknya di sudut kamarnya. Yang dikeluarkan kakaknya tadi pagi-pagi sekali ketika membangunkannya.
Meisya yang mengawasi adiknya dirias, merasakan cemburu yang luar biasa meski ia tetap terlihat baik-baik saja. Seharusnya ia yang duduk di kursi rias itu. Seharunya ia yang akan menggunakan gaun pengantin indah di sampingnya ini. Dan seharusnya ia yang akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini karena akan segera menjadi nyonya Atmadja.
Meskipun ia sangat ingin merusak acara acara pernikahan Banyu dan Naya, ia lebih tak suka jika harus hidup miskin. Jika tidak bisa mendapatkan Banyu, maka ia harus cukup lega hanya dengan harta pria itu.
Pintu kamar Naya terbuka, Devisha muncul dengan ponsel di tangan dan dengan riasan yang cukup tebal seperti Meisya. Menggunakan gaun indah berwarna biru gelap berlengan panjang dan rambut digelung ke atas. Penampilannya yang mewah membuat aura kecantikannya begitu memukau, kecantikan yang menurun pada putri keduanya.
“Apa semua sudah siap? Banyu sudah menelpon.” Devisha menatap penampilan Naya dengan puas melewati cermin.
Perias itu memeriksa polesan lipstik di bibir Naya, lalu berkata pada Devisha. “Make up sempurna.”
“Gaunnya,” pinta perias itu pada kaki tangannya yang berdiri di sisi kiri Naya. Yang langsung bergegas ke samping Meisya dan mengambil gaun itu dibantu dengan Meisya.
Naya hanya diam. Menatap gaun indah itu dari balik cermin dan masih tetap duduk di kursi tanpa bergerak sedikit pun meskin perias itu menyentuh pundaknya untuk berdiri.
Devisha yang menangkap kegelisahan dan keraguan di wajah Naya, segera memberi isyarat pada Meisya untuk mengambil alih.
“Biar aku yang membantunya,” kata Meisya pada perias itu. Menginstruksikan pada kedua orang itu untuk keluar.
Meisya memutar matanya, menarik lengan Naya dengan kasar agar adiknya itu berdiri. “Jangan membuang waktu, Naya. Semua hampir selesai. Hanya dalam waktu dua jam kau akan menjadi nyonya Atmadja.”
Naya hanya diam. Bertanya-tanya kenapa Noah belum datang? Apa yang direncanakan Noah? Waktu mereka sudah sangat sempit.
‘Sekarang tidurlah dan lakukan seperti apa yang mamamu perintah hingga aku datang menjemputnya.’
‘Jika kau setuju menikah denganku, besok aku akan menjemputmu.’
‘Aku akan mengurusnya. Kau bisa percaya padaku. Tapi, apa kau setuju menikah denganku?’
Kalimat Noah kembali terngiang di kepala. Ia harus memercayai Noah. Pria itu akan datang menjemputnya. Naya berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Saat Meisya dan Devisha berhasil memakaikan gaun pengantin itu di tubuh Naya, suara ketukan pintu terdengar dan wajah Arfa muncul.
“Ada apa?” tanya Devisha bertanya dengan datar pada Arfa.
Tatapan Arfa tertuju langsung ke arah Naya selama beberapa detik, kemudian menoleh pada mamanya. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mama.”
Devisha terdiam. Mengerutkan kening mengingat-ingat siapa orang yang membuat janji dengannya di hari penting seperti ini. “Siapa?”
Arfa menggeleng sebagai jawaban tak tahu. “Seorang laki-laki.”
Devisha melirik ke arah Meisya.
“Jaga kakakmu, kami akan keluar sebentar.”
Devisha dan Meisya keluar. Mengunci pintu kamar Naya dan membiarkan Arfa tetap di dalam.
Arfa langsung memeluk Naya. Tersenyum tipis untuk menenangkan kakaknya.
“Apa Noah sudah datang?”
Arfa mengangguk.
Seketika wajah Noah memucat. “Kenapa dia ingin bertemu dengan mama.”
Arfa hanya mengangkat bahu tak tahu. Ia sendiri cukup terkejut melihat Noah muncul di depan pintu rumahnya. Dengan penampilan yang 180 derajat berbeda pemuda berandalan dan berantakan yang ia temui kemarin.
Noah mengenakan setelan jas yang sangat rapi dan dengan potongan rambut yang lebih pendek. Meski ia tidak pernah melihat secara langsung setelan jas mahal yang hanya ada di film yang ia tonton, ia tahu jas yang dikenakan Noah pasti setelan jas khusus yang dijahit untuk tubuh Noah. Belum dengan jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan Noah, Arfa tahu itu bukan barang murahan dan tiruan dari barang mewah yang hanya dibuat hanya beberapa buah.
Entah apakah itu barang milik Noah sendiri atau milik seseorang yang dipinjam oleh Noah, Arfa tidak tahu apa yang direncanakan oleh Noah terhadap mama dan kakaknya.
“Bagaimana jika pembicaraan mereka tidak berhasil?”
“Kita harus percaya kak Noah.” Arfa menenangkan kakaknya meski dirinya sendiri tak yakin.
***
Devisha dan Meisya tampak tercengang dengan penampilan Noah dari atas sampai ke bawah. Setelah beberapa saat sebelum menyadari bahwa pemuda yang berdiri di hadapan mereka ini adalah pemuda yang sama yang mengenakan pakaian pelayan di restoran malam itu.
“Hanya dengan bungkus yang mahal, bukan berarti kau bisa menutupi jati dirimu yang sebenarnya, anak muda,” cibir Devisha.
“Tidak adil jika menilai seseorang dari penampilan. Terutama jika pakaian yang dikenakan memang ditujukan untuk menutupi jati diri yang sesungguhnya.” Noah mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku jasnya dan menyodorkan pada Devisha.
Devisha melirik kartu itu dengan enggan tapi tetap mengambilnya. Kemudian tersentak kaget melihat jabatan dan lambang Samudra Group yang tercetak jelas di kertas kecil itu.
Meisya yang menyadari keterkejutan mamanya bergegas mendekat penuh rasa keinginatahuan yang besar dan mengambil kartu itu dari genggaman mamanya. Matanya benar-benar akan terjatuh ke lantai saat membaca kartu nama di tangan Devisha. Menatap bergantian wajah Noah dan kartu itu beberapa kali penuh ketidakpercayaan.
“Noah Samudra yang itu,” pekik Meisya sambil membekap mulutnya yang hendak bersorak riang penuh kemenangan. Jika dibandingkan dengan Samudra, keluarga Banyu memang bukan apa-apa. Keserakahan seketika meluap-luap di seluruh wajah Meisya.
“Apakah sekarang aku memenuhi syarat untuk jadi menantumu, Nyonya Devisha?” Noah duduk memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan arogan. Seakan berdiri di atas angin melihat dengan puas akhirnya berhasil membuat Devisha bungkam.
“Apa yang bisa kauberikan pada kami? Karena sejujurnya, kami tak sampai hati membatalkan pernikahan ini untuk Banyu. Dia sangat menyukai Naya.” Meisya mengambil alih jawaban Noah karena mamanya hanya diam membatu.
“Apa pun. Rumah dan sejumlah uang bagi kalian untuk hidup mewah.” Noah menyodorkan selembat cek kosong ke meja.
Meisya langsung menyambar cek kosong itu. “Kami bisa menulisnya sesuka kami?”
Noah mengangkat bahunya tak masalah.
“Aku tak tahu adikku memiliki nilai setinggi harapan tertinggi kami.” Meisya mencium lembaran cek itu dengan girang. Kemudian mengelus-ngelus kertas putih itu dan memperlakukannya seperti barang yang rapuh dan sangat istimewa.
Noah sungguh ingin menampar mulut sialan itu karena telah merendahkan harga diri Naya. Bagaimana Nayanya yang begitu tulus memiliki saudara dan ibu serendah kedua makhluk tak punya hati seperti mereka.
Sekuat tenaga Noah menahan tangannya agar tak melayang. Karena jika Devisha dan Meisya tak seserakah ini, tentu akan mempersulitnya untuk mendapatkan Naya kembali. Setidaknya nominal itu akan menyelamatkan Naya dari cengkeraman kedua iblis ini.
“Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali,” bujuk Noah agar urusan ini cepat selesai. Ck, untuk apa mereka sok jual mahal jika jiwa mereka meronta penuh kerakusan yang tampak jelas di manik mereka.
“Aku akan mengurusnya.”
“Meisya!” hardik Devisha.
“Noah benar, Ma. Ini tiga kali lipat dari apa yang akan bisa Banyu berikan pada keluarga kita.”
Devisha membuang napas dengan keras. Kemudian kembali menatap Noah. “Bagaimana pewaris tunggal Samudra Group bisa berkeliaran di kota dan menyamar menjadi pelayan restoran? Kaupikir kami akan percaya begitu saja?”
“Keluarga kami memiliki sedikit masalah.”
“Aku hanya ingin memastikan Naya hidup dengan baik.
Noah mendecakkan lidah mencibir. “Apa kebahagiaan Naya akan membebani kalian?”
Kepucatan melintasi raut muka Devisha dengan sindiran Noah, ia sedikit tersinggung tapi akan pulih dengan cepat.
“Dan, kuharap ini terakhir kalinya kalian bertemu dengan Naya. Aku tak ingin kalian mencemari reputasi Naya di hadapan keluarga dan lingkungan sosial kami.” Noah mengucapkan kalimat itu dengan pandangan melekat erat di manik Devisha. Mengingatkan kembali kata-kata kasar yang diucapkan Devisha padanya.