Prolog
Si pria menarik paksa lengan wanita itu. Melintasi lobi yang sepi. Bahkan petugas keamanan yang berjaga tak jauh dari mereka tak berani bergerak sedikit pun mengenali wajah si pria. Terlalu pengecut untuk ikut campur dalam permasalahan mereka berdua.
“Lepaskan aku.” Si wanita meronta. Satu tangannya berusaha melonggarkan cekalan keras pria itu. Berusaha membebaskan tangan yang satunya. Tak peduli jika rontaannya hanya memberikan rasa sakit yang lebih. Air mata yang membanjir di wajahnya sama sekali tak menyurutkan sikap kasar dan menimbulkan rasa iba di hati si pria. “Semua sudah berakhir. Seperti yang kauinginkan, bukan?”
“Tidak,” desis si pria. Mata birunya menggelap tertutup badai dan wajahnya memerah oleh kemarahan yang sangat besar. “Ini tidak akan berakhir mudah seperti yang kauinginkan.”
Si pria memberi isyarat pada sopir untuk membuka pintu mobil bagian depan. Lalu mendorong wanita itu untuk duduk. “Aku yang akan menyetir.”
Wanita itu berniat membuka kembali pintu mobil ketika si pria berjalan memutari mobil. Namun, sopir yang berdiri di samping mobil, ternyata dibayar sangat mahal oleh si pria.
“Pasang sabuk pengamanmu!”
Wanita itu terisak semakin dalam. Telapak tangan yang tertangkup di wajah sama sekali tak menghentikan air mata yang turun dengan deras.
Si pria terpaksa memiringkan badan dan menarik sabuk pengaman wanita itu. Mengabaikan tangisan yang semakin tak terkendali. Lalu memutar kunci dan mengemudikan mobil menuju jalanan yang lengang. Sambil melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher dan membuatnya susah bernapas.
“Apa lagi yang kauinginkan, Noah?”
Noah menoleh. Menjawab dengan setengah berteriak. “Kau. Hanya kaulah yang kuinginkan, Naya. Tidak ada yang lain.”
“Kau sudah meninggalkanku. Kaulah yang menyingkirkanku dari kehidupanmu!” teriak Naya di antara tangisannya yang masih tersisa.
Amarah meledak. Wajah Noah semakin gelap dan kedua tangannya mencengkeram setir begitu erat. Ingatan dan penyesalan yang berkelit di pikiran Noah membuat kepalanya terasa berat seperti tertindih beban seberat seribu ton. Ia telah menghancurkan semuanya. Sekali lagi, ia telah menghancurkan kehidupan bahagianya.
“Aku membencimu, Noah. Sangat membencimu hingga bernapas di dekatmu saja terasa sangat menyiksaku.”
Mobil melaju dengan kencang bersamaan dengan emosi Noah yang semakin meluap dan tak terkendali.
Naya merasa ngeri dengan kecepatan mobil yang tak terkendali. Mereka berada dalam bahaya. Ia berada dalam bahaya.
“Turunkan aku!!!” Naya berteriak nyaring sambil melepas sabuk pengamannya. Saat itulah bunyi klakson yang sangat keras memecah udara tegang dan panas di antara mereka. Semuanya terjadi sebelum mereka sempat menyadari apa yang tengah menghantam mobil bagian depan mereka.
Tubuh Naya terhentak kuat ke arah depan, kepalanya membentur kaca depan mobil hingga pecahannya menyebar ke segala arah dan tubuhnya terpelanting keluar.
Sedangkan tubuh Noah yang tertahan sabuk pengaman, tetap terpaut dengan jok. Tangannya terangkat menggapai tubuh Naya yang melayang keluar menembus kaca mobil dengan sia-sia. Kepalanya yang menghantam airbag tak membuatnya lolos dari pecahan kaca dan hentakan kuat dari tabrakan tersebut. Tubuhnya tak mampu bergerak sekeras dan sebanyak apa pun keinginannya. Berperang melawan kegelapan yang mulai menyerang, matanya berusaha melihat tubuh Naya yang tak bergerak. Darah merembes dari kepala dan membasahi wajah wanita itu. Bercampur air mata yang masih tersisa.
“Naya,” lirih Noah di antara desis mesin dan airbag yang mengempis. Kesadaran perlahan terenggut paksa darinya. Lalu kegelapan memberinya tidur yang lelap dan ketenangan yang tak pernah ia dapatkan seminggu belakangan ini.
***